Senin, 26 April 2010

Mengapa Tidak Berhukum Dengan Al Qur’an dan Sunnah Merupakan Kafir Akbar?

Telah menjadi ijma' ulama bahwa menetapkan undang-undang selain hukum Alloh dan berhukum kepada undang-undang tersebut merupakan kafir akbar yang mengeluarkan dari milah (agama Islam). Ibnu Katsir berkata setelah menukil perkataan imam Al Juwaini tentang Ilyasiq yang menjadi undang-undang bangsa Tatar :

"Barang siapa meninggalkan syari’at yang telah muhkam yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdillah penutup seluruh nabi dan berhukum kepada syari’at-syari’at lainnya yang telah mansukh (dihapus oleh Islam), maka ia telah kafir. Lantas bagaimana dengan orang yang berhukum kepada Alyasiq dan mendahulukannya atas syariat Alloh? Siapa melakukan hal itu berarti telah kafir menurut ijma' kaum muslimin."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Sudah menjadi pengetahuan bersama dari dien kaum muslimin dan menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa orang yang memperbolehkan mengikuti selain dienul Islam atau mengikuti syari’at (perundang -undangan) selain syari’at nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa salam maka ia telah kafir seperti kafirnya orang yang beriman dengan sebagian Al Kitab dan mengkafiri sebagian lainnya. Sebagaimana firman Alloh Ta'ala, "Sesungguhnya orang-orang yang kafir dengan Alloh dan para Rasul-Nya dan bermaskud membeda-bedakan antara (keimanan) kepada
Alloh dan para rasul-Nya ..." {QS. An Nisa' :150}.

Beliau juga mengatakan dalam Majmu' Fatawa," Manusia kapan saja menghalalkan hal yang telah disepakati keharamannya atau mengharamkan hal yang telah disepakati kehalalannya atau merubah syari’at Alloh yang telah disepakati maka ia kafir murtad berdasar kesepakatan ulama."

Berapa banyak para penguasa kita menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati? Berapa banyak mereka mengharamkan hal yang kehalalannya telah disepakati? Orang yang melihat kondisi mereka akan mengerti betul akan hal ini. Insya Alloh.

Syaikh Syinqithi (Guru Syaikh Al-'Utsaimin) dalam Kitab Adhwaul Bayan dalam menafsirkan firman Alloh, "Jika kalian mentaati mereka maka kalian telah berbuat syirik." Ini adalah sumpah Alloh Ta'ala, Ia bersumpah bahwa setiap orang yang mengikuti setan dalam menghalalkan bangkai, dirinya telah musyrik dengan kesyirirkan yang mengeluarkan dirinya dari milah menurut ijma' kaum muslimin."

Syaikh Abdul Qadir Audah mengatakan, "Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama Mujtahidin, baik secara perkataan maupun keyakinan, bahwa tidak ada ketaatan atas makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta dan bahwasanya menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati seperti zina, minuman keras, membolehkan meniadakan hukum hudud, meniadakan hukum-hukum Islam dan menetapkan undang-undang yang tidak diizinkan Alloh berarti telah kafir dan murtad, dan hukum keluar dari penguasa muslim yang murtad adalah wajib atas diri kaum muslimin ".

Demikianlah…nash-nash Al Qur'an yang tegas ini disertai ijma' yang telah disebutkan penjelasan dengan penjelasan yang paling gamblang bahwa menetapkan undang-undang selain hukum Alloh dan berhukum kepada selain syari’at Alloh adalah kafir akbar yang mengeluarkan dari millah(ajaran). Kapan hal itu terjadi maka uraian Ibnu Abbas bahwa berhukum dengan selain hukum Alloh adalah kafir duna kafir (kafir asghar) tidak berlaku atas masalah ini.

Penjelasan Ibnu Abbas berlaku untuk masalah al qadha' (menetapkan vonis atas sebuah kasus), jadi kafir asghar terjadi pada menyelewengnya sebagian penguasa dan hakim dan sikap mereka mengikuti hawa nafsu dalam keputusan hukum yang mereka jatuhkan dengan tetap mengakui kesalahan mereka tersebut dan tidak mengutamakan selain hukum Alloh atas syari’at Alloh dan tidak ada hukum yang berlaku atas mereka selain syari’at Islam.

Fatwa para ulama kontemporer

1.Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam risalah beliau Tahkimul Qawanin, "Sesungguhnya termasuk kafir akbar yang sudah nyata adalah memposisikan
undang-undang positif yang terlaknat kepada posisi apa yang dibawa oleh ruhul amien (Jibril) kepada hati Muhammad supaya menjadi peringatan dengan
bahasa arab yang jelas dalam memutuskan perkara di antara manusia dan mengembalikan perselisihan kepadanya, karena telah menentang firman Alloh :

"…Maka jika kalian berselisih dalam suatu, kembalikanlah kepada Alloh dan Rasul-Nya jika kalian beriman kepada Alloh dan hari akhir…" [Risalatu Tahkimil Qawanin hal. 5].

Beliau juga mengatakan dalam risalah yang sama, "Pengadilan-pengadilan tandingan ini ekarang ini banyak sekali terdapat di negara-negara Islam, terbuka dan bebas untuk siapa aja. Masyarakat bergantian saling berhukum kepadanya. Para hakim memutuskan perkara mereka dengan hukum yang menyelisihi hukum Al-Qur'an dan As-Sunah, dengan berpegangan kepada undang-undang positif tersebut. Bahkan para hakim ini mewajibkan dan mengharuskan masyarakat (untuk menyelesaikan segala kasus dengan undang-undang tersebut) serta mereka mengakui keabsahan undang-undang tersebut. Adakah kekufuran yang lebih besar dari hal ini? Penentangan mana lagi terhadap Al-Qur'an dan As-Sunnah yang lebih berat dari penentangan mereka seperti ini dan pembatal syahadat "Muhammad adalah utusan Alloh" mana lagi yang lebih besar dari hal ini?"

2.Syaikh Ahmad Syakir mengomentari perkataan Ibnu Katsir tentang IlYasiq yang menjadi hukum bangsa Tartar sebagaimana telah dinukil di depan, "Apakah kalian tidak melihat pensifatan yang uat dari Al Hafidz Ibnu Katsir pada abad kedelapan hijriyah terhadap undang-undang postif yang ditetapkan oleh musuh Islam Jengish Khan? Bukankah kalian melihatnya mensifati kondisi umat islam pada abad empat belas hijriyah? Kecuali satu perbedaan saja yang kami nyatakan tadi ; hukum ilyasiq hanya terjadi pada sebuah generasi penguasa yang menyelusup dalam umat Islam dan segera hilang pengaruhnya. Namun kondisi kaum muslimin saat ini lebih buruk dan lebih dzalim dari mereka karena kebanyakan umat Islam hari ini telah masuk dalam hukum yang menyelisihi syariah Islam ini, sebuah hukum yang paling menyerupai Ilyasiq yang ditetapkan oleh seorang laki-laki kafir yang telah jelas kekafirannya….Sesungguhnya urusan hukum positif ini telah jelas layaknya matahari di siang bolong, yaitu kufur yang nyata tak ada yang tersembunyi di dalamnya dan tak ada yang membingungkan. Tidak ada udzur bagi siapa pun yang mengaku dirinya muslim dalam berbuat dengannya, atau tunduk kepadanya
atau mengakuinya. Maka berhati-hatilah, setiap individu menjadi pengawas atas dirinya sendiri."

Beliau juga mengatakan :

“ UUD yang ditetapkan musuh-musuh Islam dan mereka wajibkan atas kaum muslimin..ada hakekatnya tak lain adalah agama baru, mereka membuatnya sebagai ganti dari agama kaum muslimin yang bersih dan mulia, karena mereka telah mewajibkan kaum muslimin mentaati UUD tersebut, mereka menanamkan dalam hati kaum muslimin rasa cinta kepada UU tersebut, mensakralkannya dan fanatisme dengannya sampai akhirnya terbiasa dikatakan melalui lisan dan tulisan kalimat-kalimat " Pensakralan UUD", Kewibawaan lembaga peradilan " dan kalimat-kalimat semisal. Lalu mereka menyebut UD dan aturan-aturan ini dengan kata "fiqih dan faqih" "tasyri' dan musyari' " dan kalimat-kalimat semisal yang dipakai ulama Islam untuk syariah Islam dan para ulama
syariah."

3.Syaikh Muhammad Amien Asy Syinqithi dalam tafsirnya ketika menafsirkan firman Alloh, Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Alloh dalam menetapkan keputusan." QS. Al Kahfi :26] dan setelah menyebutkan beberapa ayat yang menunjukkan bahwa menetapkan ndang-undang bagi selain Alloh adalah kekafiran, beliau berkata, "Dengan nash-nash samawi yang kami sebutkan ini sangat jelas bahwa orang-orang yang mengikuti hukum-hukum positif yang ditetapkan oleh setan melalui lisan wali-wali-Nya, menyelisihi apa yang Alloh syari’atkan melalui lisan Rasul-Nya. Tak ada seorangpun yang meragukan kekafiran dan kesyirikannya, kecuali orang-orang yang telah Alloh hapuskan bashirahnya dan Alloh padamkan cahaya wahyu atas diri mereka."

Syaikh Al Syinqithi juga berkata :

" Berbuat syirik kepada Alloh dalam masalah hukum dan berbuat syirik dalam masalah beribadah itu maknanya sama, sama sekali tak ada perbedaan antara keduanya. Orang yang mengikuti UU selain UU Alloh dan tasyri' selain tasyri' Alloh adalah seperti orang yang menyembah berhala dan sujud kepada berhala, antara keduanya sama sekali tidak ada perbedaan dari satu sisi sekalipun. Keduanya satu (sama saja) dan keduanya musyrik kepada Alloh."

4.Syaikh Shalih bin Ibrahim Al Bulaihi dalam hasyiyah beliau atas Zadul Mustaqni', yang terkenal dengan nama Al Salsabil fi Ma'rifati Dalil, mengatakan, "…Berhukum dengan hukum-hukum positif yang menyelisihi syari’at Islam adalah sebuah penyelewengan, kekafiran, kerusakan dan kedzaliman bagi para hamba. Tak akan ada keamanan dan hak-hak yang terlindungi, kecuali dengan dipraktekkanmya syariah Islam secara keseluruhannya ; aqidahnya, ibadahnya, hukum-hukumnya, akhlaknya dan aturan-aturannya.

Berhukum dengan selain hukum Alloh berarti berhukum dengan hukum buatan manusia untuk manusia sepertinya, berarti berhukum dengan hukum-hukum thaghut…tak ada bedanya antara ahwal sakhsiah masalah nikah, cerai, ruju'--pent) dengan hukum-hukum bagi individu dan bersama… barang siapa membeda-bedakan hukum antara ketiga hal ini, berarti ia seorang atheis, zindiq dan kafir kepada Alloh Yang Maha Agung ".

5.Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam risalah beliau "Naqdu Al Qaumiyah Al 'Arabiyah " Kritik atas nasionalisme Arab) mengatakan, "Alasan keempat yang menegaskan batilnya seruan nasionalisme arab : seruan kepada nasionalisme arab dan bergabung di sekitar bendera nasionalisme arab pasti akan mengakibatkan masyarakat menolak hukum Al Qur'an. Sebabnya karena orang-orang nasionalis non muslim tidak akan pernah ridha bila Al Qur'an dijadikan undang-undang. Hal ini memaksa para pemimpin nasionalisme untuk menetapkan hukum-hukum positif yang menyelisihi hukum Al Qur'an. Hukum positif tersebut menyamakan kedudukan seluruh anggota masyarakat nasionalis di hadapan hukum. Hal ini telah sering ditegaskan oleh mereka. Ini adalah kerusakan yang besar, kekafiran yang nyata dan jelas-jelas murtad."


6.Syaikh Abdullah bin Humaid mengatakan, "Siapa menetapkan undang-undang umum yang diwajibkan atas rakyat, yang bertentangan dengan hukum Alloh ; berarti telah keluar dari millah dan kafir."

7.Syaikh Muhammad Hamid Al Faqi dalam komentar beliau atas Fathul Majid mengatakan, "Kesimpulan yang diambil dari perkataan ulama salaf bahwa thaghut adalah setiap hal yang memalingkan hamba dan menghalanginya dari beribadah kepada Alloh, memurnikan dien dan ketaatan kepada Alloh dan Rasul-Nya…
Tidak diragukan lagi, termasuk dalam kategori thaghut adalah berhukum dengan hukum-hukum asing di luar syari’at Islam, dan hukum-hukum positif lainnya yang ditetapkan oleh manusia untuk mengatur masalah darah, kemaluan dan harta, untuk menihilkan syari’at Alloh berupa penegakan hudud, pengharaman riba, zina, minuman keras dan lain sebagainya. Hukum-hukum positif ini menghalalkannya dan mempergunakan kekuatannya untuk mempraktekkannya. Hukum dan undang-undang positif ini sendiri adalah thaghut, sebagaimana orang-orang yang menetapkan dan melariskannya juga merupakan thaghut…"

Beliau juga menyatakan dalam Fathul Majid saat mengomentari perkataan Ibnu katsir tentang Ilyasiq, "Yang seperti ini dan bahkan lebih buruk lagi adalah orang yang menjadikan hukum Perancis sebagai hukum yang mengatur darah, kemaluan dan harta manusia, mendahulukannya atas kitabulloh dan sunnah Rasululloh. Tak diragukan lagi, orang ini telah kafir dan murtad jika terus berbuat seperti itu dan tidak kembali kepada hukum yang diturunkan Alloh. Nama apapun yang ia sandang dan amalan lahir apapun yang ia kerjakan baik itu sholat, shiyam dan sebagainya, sama sekali tak bermanfaat ba-ginya…".

8.Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan, "Barang siapa tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Alloh karena menganggap hukum Alloh itu sepele, atau meremehkannya, atau meyakini bahwa selain hukum Alloh lebih baik dan bermanfaat bagi manusia, maka ia telah kafir dengan kekafiran yang mengeluarkan dari millah. Termasuk dalam golongan ini adalah mereka yang menetapkan untuk rakyatnya perundang-undangan yang menyelisihi syari’at Islam, supaya menjadi sistem perundang-undangan negara. Mereka tidak menetapkan perundang-unda-ngan yang menyelisihi syari’at Islam kecuali karena mereka meyakini bahwa perundang-undangan tersebut lebih baik dan bermanfaat bagi rakyat. Sudah menjadi askioma akal dan pembawaan fitrah, manusia tak akan berpaling dari sebuah sistem kepada sistem lain kecuali karena ia meyakini kelebihan sistem yang ia anut dan kelemahan sistem yang ia tinggalkan."

9.Syaikh Abu Shuhaib Abdul Aziz bin Shuhaib Al Maliki sendiri telah mengumpulkan fatwa lebih dari 200 ulama salaf dan kontemporer yang menyatakan murtadnya pemerintahan yang menetapkan undang-undang positif sebagai pengganti dari syariah Islam, dalam buku beliau Aqwaalu Aimmah wa Du’at fi Bayaani Riddati Man Baddala Syariah Ninal Hukkam Ath Thughat.

Sumber : Indonesiaku Sayang, Indonesiaku Malang, Buku 1, Usyaqul Huur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar