Senin, 17 Mei 2010

Maria Eva, Demokrasi Posmo dan Tauhid

E-mail Print PDF
Umat Islam harus jeli melihat banyaknya permainan kata-kata yang dilontarkan kaum postmo

Oleh: Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi

Hidayatullah.com--Hawa lumpur panas, nampaknya tak hanya terjadi di Sidoarjo. Di beberapa kota, beberapa bulan ini ikut kena getah hawa panasnya pula. Tentu, ini bukan hawa panas imbas luapan lumpur Porong, Sidoarjo. Namun akibat isu panas maraknya artis-artis erotis dan artis porno masuk sebagai salah satu bakal calon (balon) di pemilihan kepala daerah.

Sebut saja bintang panas Ayu Azhari, penyanyi berpakaian seronok Julia Perez, mantan video “porno” Maria Eva, penyanyi dangdut Inul, dan terakhir bekas “ratu ekstasi” Zarima Mirafsur.

Maria Eva misalnya, artis yang ramai dalam kasus skandal seks dengan salah satu mantan politisi Golkar ini, membenarkan dirinya siap maju dalam pilkada. Dia mengaku sudah dilamar partai politik. Salah satunya adalah partai berlambang banteng gemuk dengan background merah.

Karir politik Maria Eva memang bukan seumur jagung. Ia berbeda dengan Julia Perez atau Inul Daratista. Maria memang sedikit lebih “terdidik” dengan tampilan gelar master di ekor namanya. Karier politiknya pun tidak disulap cepat seperti ayu Azahari. Setidaknya Maria sudah pernah ikut dalam pusara pemilihan legislatif pada basis konstituennya di Malang medio 2004 silam. Sayangnya, urutan nomor sepatu belum mengizinkannya melenggang ke Senayan.

Peraturan Mendagri

Isu naiknya Maria Eva sontak menimbulkan pro kontra. Artis yang familiar dengan goyangan dangdut vulgar itu, digadang-gadang akan merusak basis akhlak dan moral masyarakat. Terlebih Jawa Timur dan Sidoarjo adalah sendimentasi basis santri yang lekat pada dinamika kultural kedaerahan.

Menurut khalayak, Maria tidak hanya dinilai cacat moral, namun stigma seksis akan terus melekat padanya. Ini bukan dogma atau sekedar stigma sepihak, namun setidaknya lakon artis panas memang masih kerap diumbar olehnya saat pesta-pesta musik dangdut yang sering dibawakan dengan tampilan panas. Jadi alangkah wajar apabila rakyat Sidoarjo, terlebih Indonesia amat geram melihat Maria Eva sendiri yang belum ada niatan pensiun dari wilayah remang-remang itu.

Menangkap gelagat tidak baik ini dan berpihak pada kegelisahan masyarakat atas pelbagai kasus seksis pada kontestasi Politik Daerah, Mendagri Gamawan Fauzi kemudian mengusulkan penambahan syarat tidak cacat moral pada ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Tidak hanya itu, selain usulan tidak cacat moral, Gamawan juga mengajukan usulan perbaikan kualitas calon kepala daerah dengan mengacu keharusan memiliki pengalaman di partai politik atau paling tidak organisasi kemasyarakatan.

Ternyata kedua usulan yang diajukan Gamawan bukan tanpa sebab. Seperti dikutip Kompas 23 April 2010 lalu, pada kenyatannya Gamawan berpandangan bahwa pemerintah perlu melakukan "intervensi" karena rakyat Indonesia dipandang belum cukup matang dalam memilih pemimpinnya.

Tentu saja bergulirnya niat tulus revisi itu menimbulkan kegeraman bagi Maria dan artis-artis lakon panas lainnya. Artis bergelar master bidang marketing itu lantas menilai bahwa usulan Pak Menteri itu terlalu naif, mengada-ngada, dan sarat muatan politis.

Lalu Maria Eva dengan gaya khas postmo-nya justru berbalik menyerang Gamawan untuk memperjelas definisi zina. Menurutnya, pak Menteri harus menjelaskan apa yang dimaksud zina. Apakah zina mata? Zina badan? Kalau seperti itu, menurut Eva, berarti semua orang pun pernah berzina. Termasuk Gamawan Fauzi sendiri mungkin.

Maria bahkan menganggap pernyataan pak Menteri bisa menimbulkan keresahan di masyarakat. "Menteri itu kan baru dilantik kemarin sore, jangan sok membuat pernyataan yang meresahkan masyarakat," kata Maria dikutip Tempointeraktif.

Tutur kata Maria Eva seperti itu, adalah begitu khas posmo. Mencari kebenaran pada susunan tiang-tiang huruf yang coba dirubuhkan pada arti dan definisi.

Posmodernisme Kebenaran

Posmodernisme sebenarnya adalah nama gerakan di kebudayaan kapitalis lanjutan. Istilah Posmodernisme sendiri muncul pertama kali di kalangan seniman dan kritikus di New York, tepatnya pada tahun 1960 dan diambil alih oleh para teoritikus Eropa pada tahun 1970-an. Tokoh yang sering diasosiasikan dengan Posmodernisme antara lain Derrida, Lyotard, dan Baudrillard, yang kesemuanya bernaung atas payung filsafat.

Mengubah realitas, menurut Derrida, juga berarti mengubah teks, dan teks itu sendiri adalah realitas kehidupan manusia. Untuk mengubah realitas, orang perlu terlebih dahulu mampu memahami dan menggambarkan realitas. Ada keterkaitan yang mendalam antara menggambarkan (to describe) dan mengubah (to transform).

Secara garis besar, yang menjadi konsen dari posmodernisme adalah membicarakan ulang kembali arti kemapanan. Memperhitungan kembali kebenaran hakiki. Dalam konstruk Posmo, satu tambah satu belum tentu dua. Bisa tiga, bisa empat, atau bisa juga dua. Namun dua dalam versi yang lain.

Hal-hal semacam itu kita kenal dengan istilah dekonstruksi. Alih-alih dekontruksi ingin melakukan reformasi, anak kandung posmo ini malah semakin membingungkan. Ia mencoba merusak makna sesuatu yang sebenarnya sudah clear (jelas).

Jika ayam berkokok, bagi orang posmo, dia akan berkata, “Ayam yang mana dulu?” Ayam Kentucky kenapa tidak berkokok, tapi malah disiram saus. Cantik memang, tapi hancur. Manis memang, tapi sinis. Dekonstruksi mencoba mengajak Anda menari untuk secara bertahap melupakan kebenaran tunggal.

Derrida, misalnya, ia melakukan dekonstruksi tidak hanya bergerak di tataran filsafat, melainkan juga menyentuh literatur, politik, seni, arsitektur, dan bahkan ilmu-ilmu alam. Seperti pada umumnya, dekonstruksi Derrida menggambarkan sebagai suatu kekuatan untuk mengubah dan membelah kepastian dan pakem-pakem lama yang tidak lagi dipertanyakan.

Di dalam tulisan-tulisannya, Derrida berulang kali menuliskan bahwa kekuatan untuk mengubah dan membelah itu sebenarnya sudah terkandung di dalam teks itu sendiri. Yang ia lakukan hanyalah mengaktifkan kekuatan itu, dan kemudian menyebarkannya ke keseluruhan teks. Derrida mau melakukan de-sedimentasi terhadap teks, dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dalam arti ini ia mau menciptakan gempa di dalam teks.

Hasilnya banyak konteks dekonstruksi ini coba dicarikan ruangnya dalam dimensi keislaman. Salah satu hasilnya adalah lahirnya buku “Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat”. Dan di antara penulis-penulisnya tersimpul nama-nama “beken”, seperti Almarhum Nurcholish Madjid yang dibuku itu menulis tentang “Menyemarakkan dialog agama”. Lalu ada Kautsar Azhari-Noer yang berkisah dengan judul terang “Melampaui nama-nama Islam dan postmodernisme”. Ada pula Komaruddin Hidayat yang hasil tulisannya bertajuk “Dari tahapan moral ke periode sejarah pemikiran neo-modernisme Islam di Indonesia”. Tentu itu hanya sedikit nama.

Hasilnya apa? Salah satu bentuk dekonstruksi itu dengan sembrono dilakukan Nurcholish Madjid yang mengubah konsep dasar makna Islam menjadi sekedar “sikap pasrah”. Islam mengalami reduksi dari artian sebagai konsep, sistem kehidupan, menjadi hanya sebuah sikap menyerahkan diri. Jadi apapun agamanya, jika ia menyerahkan diri kepada Tuhan, sudah termasuk bagian dari amar ma'ruf, bahkan jihad. Kendati orang itu masih suka berselingkuh dengan Tuhan-tuhan yang lain.

Posmodernisme Demokrasi

Jika kita coba kembali ke Maria Eva, akan kita temukan sesuatu yang unik. Di mana perseteruan Eva-Gamawan lantas dengan sigap diberi ruang oleh media. Televisi-televisi pun berusaha mengundang Eva dalam suasana yang lebih santai dan terbuka. Salah satunya di program “Mata Najwa Metro TV”.

Setelah mengundang Musdah Mulia pekan lalu, acara yang dipandu host Najwa Shihab itu kini menghadirkan banyak pembicara. Setidaknya Julia Perez, Maria Eva sendiri, Gamawan Fauzi, dan Syaiful Mujani melakukan wawancara silih berganti.

Pada sesi wawancara untuknya, Maria terangan-terangan mempertanyakan perihal keabsahan makna moralitas itu sendiri. Maria berkata setengah bingung dan skeptik tentang bagaimana ukuran sebenarnya dari standar moralitas. Apa tapal batas dari kriteria moralitas? Di mana ujungnya?

Sekilas, Maria Eva bertanya lebih sebagai Albert Camus berkisah tentang Tuhan yang tiada ujung dan pasti tidak memuaskan.

Hingga tiba di penghujung acara, Najwa Shihab akhirnya menyimpulkan bahwa ia menyadari kegelisahan masyarakat, tapi tidak juga menutup mata atas hegemoni artis panas pada persaingan politik. Akhirnya, dengan nada pasti, Najwa mencoba mengambil jalan tengah dengan mengatakan bahwa pilihan itu akan berpulang kepada diri kita sendiri. Kalau tidak setuju dengan para artis panas ini, ya jangan dipilih. Tapi kita pun juga tidak boleh membatasi hak politik mereka, begitu kira-kira asumsi putri kandung Prof Quraish Shihab tersebut.

Kita yang tidak setuju memang boleh geram, namun khususnya saya menyadari bahwa beginilah pahitnya hidup pada negara dengan asas di mana standar kebenaran ada di tangan rakyat, bukan Allah.

Atau mungkin asas demokrasi bangsa kita sekarang bergeser menjadi tema demokrasi tubuh, demokrasi posmo, atau mungkin demokrasi “tergantung pilihan Anda”.

Dalam analisa lebih jauh, kebenaran dalam sistem posmo ini pun bisa dikompromikan. Sebagai contoh, jika ada kebenaran yang merugikan rakyat, maka pihak yang dirugikan bisa mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan peraturan tersebut. Kasus ini terjadi saat Jaringan Islam Liberal (JIL) meminta pencabutan UU Penodaan Agama yang baru-baru heboh di kalangan umat Islam. Padahal jika kita menilik dalam kerangka Islam, yang haq pasti tidak akan bisa dikompromikan, apalagi dijual. Terlebih-lebih dengan harga murah.

Oleh karena itu, kita harus mampu melihat secara jernih bahwa relativisme kini pada dasarnya tidak hanya lahir pada bahasan pluralisme Agama. Namun ia masuk ke tema-tema yang terbilang sederhana. Seperti sebuah moto yang terselip pada koran Jakarta, "Kebenaran tidak pernah memihak".

Kalau kita memperhatikan dengan seksama, bahasa Najwa Shihab pun sekilas terlihat menarik, "Tidak perlu membatasi politik mereka” (para artis porno), seolah untuk menunjukkan bahwa kitalah adalah orang yang tidak bijak dalam kasus ini.

Dalam tradisi Posmo sebisa mungkin kebenaran teologis memang harus mengalami reduksi. Jangankan itu, kebenaran akan timbul dalam varian. Versi-versi yang antara satu dan yang lainnya saling bertentangan.

Bahkan jangan kaget jika kemudian hari kita pun akan digiring untuk berbenturan pada opini-opini, "Jadi yang milih Jupe tidak bermoral dong?”

Tauhid vis a vis Posmodernisme dan Moralisme

Kita memang perlu mengapresiasi itikad baik yang dikeluarkan Menteri Gamawan Fauzi. Bagaimana pun beliau punya rasa simpatik terhadap keselamatan moral bangsa. Namun karena kita menyandarkan moralitas pada standar-standar nilai kemanusiaan, kita pun akan khawatir kasus Maria Eva hanya akan tertutup sejenak dan akan kembali muncul tapi dalam rupa berbeda. Ia seakan lenyap dari peredaran tapi hakikat dan ruhnya tetap tidak tersentuh. Bukankah ini serupa dengan adagium menutup satu lobang, lalu tersingkaplah lubang yang lain?

Sebenarnya, kasus relativitas moral hanya dapat luluh dengan sentuhan tauhid sebagai pilar asasinya. Islam tidak hanya mengajarkan hambanya untuk stabil dalam segi moral, namun labil pada akhlak yang lain. Islam pun selalu mengaitkan standar kebaikan yang langsung online kepada ketetapan Allahuta'ala. Hamba dalam sistem tauhid hanya mau diatur kepada ketentuan Allah yang pasti adil dan mengerti kebutuhan hambanya.

Selanjutnya, berbeda dengan moralisme pada standar kemanusiaan dan postmodernisme, Islam mempunyai batas moralisme yang jelas, tidak sumir, apalagi memberi ruang untuk ditafsirkan sendiri-sendiri. Islam sudah sempurna dan tidak butuh standar kebenaran kompromistis.

Dalam Surat Al Maidah: 3, disebutkan, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu."

Di ayat lain Allah juga mengatakan secara tegas,” “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab sebagai penjelas segala sesuatu.” (An-Nahl : 89)

Kita pun dapat memetik pelajaran pada catatan shirah nabawiyah bagaimana Rasulullah lebih mendahulukan panji tauhid tinimbang acuan moralisme.

Oleh karenanya, Asy Syahid Sayyid Quthb dalam kitab Ma'alim Fi Ath-thariq nya, dengan cantik menjelaskan perihal mengapa Allah mengharuskan Nabi Muhammad shollallahu 'alaih wa sallam mengibarkan bendera La ilaha ill-Allah, bukan bendera lainnya.

Bendera tauhid dan bukan bendera moralisme, padahal dengan mengibarkan bendera La ilaha ill-Allah bangsa Arab bukan saja enggan menerima seruan tersebut, tetapi bahkan menentang dengan keras sampai ke tingkat mengusir dan memerangi Nabi shollallahu 'alaih wa sallam dan para sahabat.

Sayyid Quthb menceritakan bahwa pada waktu Rasulullah s.a.w. diutus, tingkat kesusilaan di Semenanjung Arab berada dalam titik yang amat rendah dalam banyak seginya, di samping hal-hal yang mulia yang asli Baduwi (di perkampungan dan bukan di kota, pent) yang masih ada dalam masyarakat. Ketidakadilan merajalela dalam masyarakat, tergambar dalam kata-kata penyair Zuhair bin Abi Salma:

"Siapa yang tidak mempertahankan kolam airnya dengan senjatanya, akan diruntuhkan, dan siapa yang tidak menganiaya manusia, akan dianiaya."

Karena itu amat wajar jika istri Nabi Aisyah sampai-sampai harus mengatakan:

“Andaikan awal yang diturunkan dari Al-Qur'an adalah jangan minum khamr, niscaya mereka berkata, “Demi Allah kami takkan meninggalkan khamr”. Andaikan awal yang diturunkan dari Al-Qur'an adalah jangan berzina, niscaya mereka berkata, “Demi Allah kami takkan meninggalkan zina”. Akan tetapi awal yang diturunkan ialah surah mengenai surga dan neraka, sehingga hati menjadi teguh mengingat Allah. Barulah kemudian (lambat-laun) diturunkan (daftar perkara) halal dan haram.”

Sayyid Quthb pun mempertegas itu pula dalam kitab Fiqhud Da'wah-nya bahwa ketertundukkan kepada Allah membebaskan manusia dari ketertundukkan kepada yang lainnya dan menyelamatkannya dari menyembah sesama hamba, menuju menyembah kepada Allah. Kehidupan manusia akan baik, lurus, meningkat, atau menjadi kehidupan yang layak dengan tauhid.

Di situ jelas bahwa hamba Allah sudah memiliki kebenaran moral versi tersendiri yang pasti kokoh, karena ia turun langsung dari Sang penciptanNya. Yang mengerti betul siapa hambaNya dan Bagaimana cara mengaturnya.

Kita sebagai umat Islam akhirnya harus jeli melihat banyaknya permainan kata-kata yang dilontarkan kaum postmo yang pada hakikatnya adalah menipu. Permainan yang mudah sekali ditebak dan sudah jelas tujuannya karena selalu berkutat pada problem mengincar tahta-tahta duniawi. Semoga kita selalu dilindungi oleh Allah dari tipu daya dunia fana ini. Wallahua'lam.[www.hidayatullah.com]


Penulis adalah konselor Muslim dan aktif di Kajian Zionisme Internasional.

Minggu, 16 Mei 2010

Tiga Fase Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer

Dalam fase naturalisasi, Islam telah mampu mengkonsep ulang ilmu pengetahuan yang syarat akan nilai-nilai keislaman sehingga menjadi pionir bidang sains dan teknologi

Oleh: Muhammad Ismail

www.hidayatullah.com--Islamization of Knowledge (islamisasi ilmu pengetahuan) sebuah gagasan yang timbul sejak dasawarsa 1970-an. Kata “islami” mengandung dua makna yang kurang lebih berbeda. Pertama, kata islami menunjukkan suatu periode sejarah, kedua, menunjukkan suatu aktivitas yang mengandung nilai-nilai Islam. Sedangkan arti dari ilmu pengetahuan, menurut Sayid Husein Nasr --seorang tokoh pertama dalam pembicaraan wacana baru tentang ilmu pengetahuan dan Islam di Teheran, Iran, tahun 1933, ia menyebut, (berbeda dengan yang biasa diutarakan oleh kebanyakan ilmuwan) ilmu pengetahuan dengan Scientia Sacra (Sacred science, “ilmu sakral”) untuk menunjukkan bahwa aspek kearifan ternyata jauh lebih penting dari pada aspek teknologi yang sampai saat ini masih menjadi ciri utama ilmu pengetahuan modern.

Pada abad pertengahan (medieval times) banyak berkembang faham Barat yang mencoba memisahkan ilmu pengetahuan dengan agama. Sebut saja Nietzsche, dia berargumen bahwa agama tidak bisa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan. Ia menambahkan, “seseorang tidak dapat mempercayai dogma-dogma agama dan metafisika jika seseorang memiliki metode-metode yang ketat untuk meraih kebenaran di dalam hati dan kepada seseorang. Antara ilmu pengetahuan dan agama masing-masing menempati bintang yang berbeda”. Nampaknya ada indikasi bahwa ia tidak menginginkan nilai-nilai Islam masuk ke dalam pembahasan ilmu pengetahuan modern.

“Sekularisasi ilmu pengetahuan” menjadi fondasi utama dalam sepanjang sejarah peradaban Barat modern. Dengan adanya sekularisasi ilmu pengetahuan, sedikit demi sedikit akan memisahkan jarak antara ilmu dengan agama, melenyapkan wahyu (Al-Quran) sebagai sumber ilmu, dan juga memisahkan wujud dari yang sakral. Selain itu sekularisasi ilmu juga telah menjadikan rasio sebagai basis keilmuan secara mutlak, dan mengaburkan maksud serta tujuan ilmu yang sebenarnya, menjadikan keraguan dan dugaan sebagai metodologi ilmiah.

Sebagai solusi menghadapi krisis epistemologi yang sedang melanda segala bentuk pemikiran dan juga sebagai jawaban dari berbagai tantangan yang muncul dari hegemoni westernisasi ilmu, maka perlu kiranya menghadirkan suatu gagasan islamisasi ilmu pengetahuan, yang mana dalam bahasa Arab istilah islamisasi ilmu disebut juga dengan “islamiyyat al-ma’rifat, atau bahasa Inggris disebut sebagai “islamization of knowledge”.

Usaha islamisasi ilmu pada dasarnya telah terjadi sejak masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya, yang waktu itu diturunkan Al-Quran dengan bahasa Arab, sehingga dengannya mampu mengubah watak serta pandangan hidup (worldview) dan tingkah laku bangsa Arab (Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam, Wan Mohd. Nor Wan Daud, 1998). Oleh karena itu, wacana islamisasi ilmu bukanlah suatu yang baru, hanya saja dalam konteks operasionalnya pengislaman ilmu-ilmu masa kini dicetuskan oleh tokoh-tokoh ilmuwan islam, seperti: Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, al-Faruqii, Fazlur Rahman, Syed Husein Nasr , dan lain-lain.

Ungkapan “islamisasi ilmu” memang sedikit mengaburkan makna dalam pembahasannya, sebab istilah tersebut membawa konotasi kepada seluruh ilmu, termasuk ilmu-ilmu sains islam yang telah didasarkan Al-Quran dan sunnah yang dibangun oleh sarjana Islam, namun tidak islami oleh sebab itu harus “diislamkan”. Lain halnya dengan istilah “islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer” yang lebih cenderung kembali kepada ilmu Barat modern yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman sehingga perlu memasukkan nilai Islam ke dalamnya.

Al-Attas vs al-Faruqi

Munculnya ide islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer disebabkan adanya premis bahwa ilmu pengetahuan kontemporer tidak bebas nilai. Ilmu-ilmu kontemporer yang terkontaminasi oleh premis demikian dan telah melalui proses sekulerisasi dan westernisasi yang tidak lagi sesuai dengan kepercayaan, justru ini yang akan membahayakan keadaan umat Islam. Naquib al-Attas menegaskan dalam karyanya Islam and Secularism bahwa “ilmu itu tidaklah bebas nilai (value-free) tapi syarat akan nilai (value-laden)”. Dalam Islam semua ilmu bersifat universal dan tidak ada pemisahan sedikit pun antara ilmu-ilmu dalam Islam dengan nilai agama.

Selain Syed al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi juga tidak terlepas dalam pembahasan ini. Al-Faruqi merupakan penggagas proyek Islamization of Knowledge (Islamisasi Ilmu, 1982) yang mana ia telah sampai pada kesimpulan yang dituliskan dalam karyanya bahwa akibat dari kemunduran umat Islam, yaitu adanya sistem pendidikan yang berusaha menjauhkan umat muslim dari agamanya sendiri dan dari sejarah kegemilangan yang seharusnya dijadikan kebanggaan tersendiri atas agama Islam. Oleh sebab itu, ia memberikan solusi, yaitu perlunya perbaikan sistem pendidikan yang memadukan antara ilmu-ilmu umum dan agama sebagai langkah membentuk peradaban Islam yang sempurna

Antara pemikiran al-Attas dan al-Faruqi terdapat sedikit perbedaan dalam merumuskan islamisasi ilmu. Al-attas lebih mengorientasikan proses islamisasi ilmu ke dalam tujuan, yaitu untuk melindungi orang Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Namun al-Faruqi nampaknya lebih menitikkan islamisasi ilmu kepada “ketauhidan”, kemudian membangun ulang penyusunan data, mendefinisikan kembali ilmu, serta membentuk kembali tujuan dalam bentuk Islam digunakan sebagai kerangka dasar pemikiran.

Proses islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer memiliki tiga fase. Prof. Abdel Hamid Sabra, pakar sejarah sains yang berasal dari Universitas Harvard mengatakan, gerakan penerjemahan yang dilakukan oleh khalifah al-Ma’mun (w. 833 M) dengan mendirikan perpustakaan yang dinamakan dengan Bayt al-Hikmah sebagai pusat kajian, menunjukkan fase pertama dari tiga tahap islamisasi sains. Adapun tahap kedua, yaitu fase peralihan atau akuisisi, di mana sains Yunani hadir di hadapan peradaban Islam sebagai pendatang atau tamu yang sengaja diundang (an invited guest), bukan sebagai penjajah atau perusak (an invading force). Namun pada tahap ini Islam masih menjaga jarak serta berhati-hati selalu waspada. Kemudian tahap terakhir adalah fase penerimaan atau adopsi, di sini Islam telah mengambil dan menikmati apa yang dibawa serta oleh peradaban tersebut.

Pada saat itu pula kemudian lahirlah ilmuwan-ilmuwan hebat seperti: Jabir ibn Hayyan (w.815 M), al-Kindi (w.873), dan lain-lain. Proses ini tidak berhenti di sini saja namun terus berlanjut ke tahap asimilasi dan naturalisasi. Pada fase ini Islam telah mampu membuat dan mengkonsep ulang ilmu pengetahuan yang syarat akan nilai-nilai keislaman sehingga islam sanggup menjadi pionir dunia di bidang sains dan teknologi. Fase kematangan ini terus berlangsung selama kurang lebih 500 tahun lamanya, dan telah ditandai dengan hasil produktivitas yang tinggi dan tingkat orisinalitas keilmuwan yang benar-benar luar biasa.

Dari paparan di atas, kini jelaslah sudah bahwa islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer memiliki kebenaran-kebenaran tertentu sesuai dengan bingkai ruang dan waktu. Ada satu hal yang mungkin kadang terlupakan, yakni kesadaran akan setiap hasil pemikiran manusia yang selalu bersifat historis dan terikat oleh ruang dan waktu. Untuk itu gagasan islamisasi harus tetap dikembangkan, dilaksanakan, dan kemudian dievaluasi melalui konsep-konsep, ukuran serta standar sebagai produk “framework islami” yang selalu melibatkan “worldview Islam”.

Dengan demikian, proses islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer adalah merupakan respon intelektual yang sangat positif dan tepat. Karena hanya dengan merumuskan dan mengaplikasikan konsep islamisasi inilah kaum muslimin akan mampu mencapai kemajuan ilmiah dan teknologi, serta dapat mempertahankan dan bahkan membentengi pola pandang intelektual, moral, dan spiritual Islam di jiwa umat manusia. Namun bagaimana pun, keberhasilan proses islamisasi pengetahuan modern sangatlah bergantung pada usaha bersama yang terkoordinasi oleh intelektual muslim seutuhnya. Wa allahu a’lamu bi as-showaab.

Wahai Pemuda, Jangan Layu Sebelum Berbuah!

Sering di usia produktif, dorongan kuat untuk beramal saleh berbanding lurus dengan dorongan melanggar


SEMUA manusia di dunia ini secara fisik tunduk kepada fenomena penciptaan-Nya. Ia akan meniti fase shobi (bayi), thifl (balita), murahiq (pemuda), kuhulah (dewasa), dan syaikh (tua). Makhluk-makhluk-Nya itu selalu bertasbih kepada Allah Swt dengan bahasanya sendiri. Tetapi, usia paling menentukan arah kehidupan seseorang adalah fase murahaqa (puber) dan kuhulah (produktif) antara usia 15-35 tahun.

Ada sebuah ungkapan ahli hikmah: “Siapa yang tumbuh, berkembang pada masa mudanya di atas, akhlak, orientasi (ittijah), kepribadian (syakhshiyyah), karakter, bakat (syakilah) khusus, maka rambutnya akan memutih (al masyiibu) dalam keadaan ia memiliki tradisi (daabu), akhlak seperti itu.”

Ahli sastra Arab dahulu pernah menjelaskan impian orang tua yang ingin kembali pada masa muda. Tetapi, itu suatu kemustahilan.

اَلاَ لَيْتَ الشَّباَب يَعْود يَوماً . سأُخْبِره بِماَ فَعَلَ الْمَشيْب

“Alangkah indahnya jika masa muda kembali lagi hari ini. Aku akan memberitahukan kepada khalayak (ramai) tentang apa yang dilakukan oleh orang yang sudah pikun dan beruban”.

Marilah kita hitung usia produktif dalam logika kehidupan manusia.

Umumnya umat Rasulullah Saw berusia antara 60-70 tahun (HR. Ahmad). Seumpama kita ditakdirkan berumur 63 tahun seperti uswah, qudwah (panutan) kita, 13 tahun pertama tentu tidak masuk perhitungan, berarti tidak bisa kita nilai. Kita belum baligh. Jadi, usia kita yang bisa dihitung 47 tahun.

Jika dalam sehari tidur belasan jam. Yang tersisa setiap hari 2/3. Tinggallah seputar 16 jam. Dalam aktivitas tidur tersebut tidak ada catatan amal. Untuk ukuran ini saja, dari 47 tahun, yang tertinggal 2/3-nya.

Lantas, sebagian besar ke mana? Orang itu produktif pada usia puber atau pada usia tua? Pertanyaan itu perlu kita jawab secara serius. Supaya aktivitas kita bisa dihisab oleh Allah Swt.

Semakin sering kita berhasil menghadapi godaan pada usia muda, seperti itulah ending kita pada masa tua (syaikhukhah). Sebaliknya, semakin sering kita kalah dalam mengantisipasi ujian, seperti itulah akhir kehidupan kita. Pertarungan yang paling berat dan keras adalah pada usia muda. Kalau diibaratkan seperti matahari, maka usia muda adalah ketika sinar matahari berada persis di tengah-tengah kita. Betapa teriknya pada siang bolong itu.

Itulah sebabnya Allah Swt memberikan penghargaan kepada pemuda yang tumbuh dalam keadaan beribadah kepada Allah Swt (syaabun nasya-a fi ‘ibadatillah). Bahkan Allah Swt memberikan perlindungan di padang Mahsyar, ketika tiada naungan kecuali naungan-Nya. Karena pada usia produktif tersebut dorongan kuat untuk beramal saleh berbanding lurus dengan dorongan melanggar. Maka, mengelola masa muda agar tunduk kepada karakter keagamaan merupakan perjuangan yang berliku, licin, dan mendaki. Hanya pemuda yang mendapat rahmat dari-Nya yang berhasil melewati godaan.

أَللَّهُمَّ اجْعَلْ خَيْرَ عُمْرِيْ أَخِرَهُ وَ خَيْرَ عَمَلِيْ خَوَاتِيْمَهُ وَ خَيْرَ أَيَّامِيْ يَوْمَ أَلْقاَكَ فِيْهِ


“Ya Allah, jadikanlah usiaku yang paling baik adalah pada penghujungnya, dan amalku yang terbaik adalah pungkasannya, dan hari-hariku yang terbaik adalah hari-hari saya bertemu dengan-MU.” [al Hadits].

Secara sunnatullah keberhasilan masa tua kita ditentukan oleh perjuangan yang tak kenal menyerah di masa muda. Keberhasilan mustahil diperoleh dengan gratis (majjanan), tanpa melewati proses ujian. Ibarat anak sekolah, untuk naik kelas harus mengikuti ujian. Jika kita kurang terampil mengelola masa muda dengan menggali potensi thalabul ‘ilmi (ijtihad), taqarrub ilallah (mujahadah), jihad fii sabilillah (jihad), secara maksimal kelak akan kita pertanggungjawabkan di Mahkamah Ilahi (‘an syabaabihi fiimaa ablaahu).

Ali bin Abi Thalib mengatakan:

مَنْ ساَءَ خُلُقُهُ عَذَّبَ نَفْسَهُ

“Barangsiapa jelek akhlaknya (ketika pemuda), ia akan tersiksa ketika tua.”


Mengikuti Siklus Ibadah

Mengapa kita perlu shalat lima waktu sehari semalam. Kita ibarat membuat kolam renang di depan rumah, setiap kali azan berkumandang kita segera membersihkan lumpur yang menempel dalam diri kita. Sehingga tidak tersisa sisi gelap dalam pikiran dan hati kita, demikianlah sabda Rasulullah Saw.

demikian sabda Nabi.

Allah Swt membuat perencanaan ibadah, agar kita selalu terjaga. Ibadah yaumiyyah, harian (shalat lima waktu), usbuiyyah, mingguan (shalat Jum’at, puasa Senin Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan), syahriyyah, bulanan (puasa Ramadan), sanawiyyah, tahunan (shalat idul fithr dan idul qurban), marrotan fil umr, sekali seumur hidup (ibadah haji ke Baitullah).

Maka, kita perlu membuat standarisasi dalam beribadah. Ada empat kegiatan ubudiyah yang perlu kita lakukan dengan istiqomah (konsisten) dan mudawamah wal istimror (secara berkesinambungan).

Pertama : Shalat fardhu secara berjamaah di masjid

Kedua : Shalat sunnah rawatib ba’diyah dan qabliyah

Ketiga : Membaca al Quran satu juz sehari

Keempat : Ditambah dengan ibadah bulanan

Muhasabah : Seminggu sekali

Ibadah harian yang perlu dipertahankan untuk menjaga stamina ritme spiritual. Ibadah wajib kita lakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt (taqarrub). Ibadah sunnah kita lakukan, untuk membangun kecintaan secara timbal balik antara kita dengan Allah Swt. Jika kita sudah dicintai, aktifitas kita merupakan jelmaan dari kehendak-kehendak-Nya.

Supaya kita dekat dengan diri kita sendiri, kita perlu muhasabah usbuiyyah (intropeksi mingguan). Hati kita mengalami gerakan yang tidak berhenti. Dan itu harus selalu dikontrol. Jika kita sudah mencapai kenaikan grafik amal, dan kekurangan kita bisa kita hitung. Berarti kita dalam posisi ideal. Terjaga dari dosa, hanya Rasulullah Saw.

Bangkit Dari Keterpurukan

Jika kita terjatuh melakukan dosa, kita segera bangkit. Setiap langkah menuju dosa harus kita persempit ruangnya. Karena, dosa kecil yang kita remehkan, akan mengajak kepada dosa-dosa kecil berikutnya. Dosa itu beranak pinak, berkembang biak.

Langkah-langkah untuk bangkit, sebagai berikut:

Pertama: Istighfar (memohon ampun kepada Allah Swt). Bukan sekedar memperbanyak istighfar, sekalipun itu berpahala. Yang paling penting adalah dengan istighfar kita selalu menyadari seharusnya makin hari kekurangan, bau tidak sedap dalam diri kita semakin tertutupi (hilang).

Kedua, beramal. Setiap kali melakukan kejahatan, susullah dengan amal saleh. (ittaqillah haitsumaa kunta wa atbi’issayyiata al hasanata tamhuhaa). Kebaikan itu bisa menghapus dosa. Jika kita senang melakukan satu kebaikan, akan mengajak kepada kebaikan berikutnya. Misalnya, jika kita suka ke masjid, maka dengan sendirinya kita akan termotivasi untuk melakukan berbagai amal saleh di situ. Sholat fardhu, sholat sunnah, membaca Al-Quran, zikir dll.

Rasulullah Saw bersabda : “Jika engkau melihat seorang laki-laki terbiasa ke masjid, saksikanlah sesungguhnya ia seorang beriman.” [al Hadits].

Demikian pula jika kita senang melangkahkan kaki menuju ke tempat maksiat, maka akan mengerakkan untuk berbuat dosa berikutnya.

Jika kita sedang bersemangat dalam beribadah, lakukanlah sebanyak mungkin yang Anda mampu. Jika grafik ibadah menurun, minimal pertahankan yang wajib. Hati kita elastis, fluktuatif. Kita memiliki saat maju dan saat mundur. Dengan cara di atas kita bisa mengelola naik turunnya hati kita dengan baik.

Terakhir: Berdoa kepada Allah Saw, semoga kita tetap teguh dalam agama-Nya. Ya muqollibal qulub tsabbit qolbii ‘alaa diinik (Wahai Yang Membolak Balikkan hati, tetapkanlah hatiku diatas agama-MU).

Penutup, wahai para pemuda, ingatlah falsafah pohon pisang. “Janganlah mati sebelum berbuah.”

Berguru pada Al-Ghazali dalam Membangun Peradaban

Al-Ghazali telah mencontohkan, 'bagaimana pengembangan ilmu itu berkait erat dengan perkembangan Peradaban Islam'

Hidayatullah.com--PERADABAN Islam terbangun dan tegak berbasiskan ilmu pengetahuan. Ini sejalan dengan peran ilmu itu sendiri, yaitu sebagai prasyarat untuk menguasai dunia akhirat sekaligus. Karena nilai penting ini, selain kata-kata derivatifnya, dalam al-Qur'an terdapat 91 ayat yang mengandung kata-kata 'ilm, 67 ayat diwahyukan di Makkah, sisanya (24 ayat) di Madinah. Maka, jika saat ini umat Islam mundur, tentu karena terjadi krisis ilmu. Sehingga, tepat jika usaha membangun kembali peradaban Islam yang sudah nyaris lumpuh ini adalah dengan menegakkan kembali bangunan ilmu pengetahuan Islam.

Imam al-Ghazali telah dengan baik mencontohkan kepada kita 'bagaimana pengembangan ilmu itu berkait erat dengan perkembangan Peradaban Islam'. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad ath Thusi Abu Hamid al-Ghazali. Beliau biasa dipanggil Abu Hamid. Sedangkan gelarnya adalah Hujjatul Islam dan Zianuddin. Bahkan, Ibn 'Asakir melihat beliau sebagai mujaddid (pembaharu) Islam abad ke-5 Hijriah (baca: Ta'rif al-Ahya' bi Fada'il al-Ihya', Hamisy Ihya' 'Ulum al-Din, jilid 1). Beliau dilahirkan di Thabrani, sebuah Desa di Thusi Khurasan (450-505 H/1058-1111M).

Imam al-Ghazali dan Perang Salib

Imam al-Ghazali adalah seorang tokoh pemikir muslim yang hidup pada bagian akhir dari zaman keemasan Islam di bawah khilafah Abbasiah yang berpusat di Baghdad. Kala itu, situasi politik dan ilmiah sedang mengalami krisis, baik karena motivasi ideologis maupun etnis dan ambisi duniawi. Di sisi lain, kekuatan Kristen Eropa merupakan ancaman serius, yang pada akhirnya terjadi perang Salib pertama, yaitu pada tahun 1095 (baca: Kitab al-'Ibar wa Daiwan al-Mubtada' wa al-Khabar). Pada 50 tahun pertama, pasukan Salib mendominasi peperangan. Sebagian jantung negeri Islam, seperti Syiria dan Palestina ditaklukkan.

Selama perang Salib tersebut, banyak kalangan yang mempertanyakan peran al-Ghazali. Namun, seiring dengan terbitnya kitab al-Jihad karya Ali al-Sulami, imam di masjid Ummayyad, Damaskus, dan tokoh perumus dan penggerak jihad melawan tentara Salib, peran al-Ghazali mulai terkuak. Bahkan, sebagaimana yang akan penulis jelaskan di bawah, peran beliau begitu penting dan menentukan dalam kemenangan yang dicapai oleh kaum muslimin setelah itu.

Upaya mendasar Al-Ghazali

Pada babak pertama perang Salib yang dimenangkan pihak musuh (tentara Salib), kondisi moral umat Islam begitu parah. Hal itu terjadi karena gaya hidup mewah pada kalangan elit, fanatisme mazhab (ashabiyah) yang parah, dan kerusakan pemikiran (baca: Ibn Katsir dalam Hakazha Zhahara Jaylu Shalahuddin wa Hakazha 'Adat al-Quds). Maka tidak heran jika pada saat itu, seruan ulama kepada umat muslim untuk berjihad tidak mendapat tanggapan positif.

Kondisi yang demikian menjadi perhatian serius al-Ghazali. Kajian terhadap kitab Ihya' Ulumuddin mengantarkan al-Kilani pada satu keyakinan bahwa kitab tersebut sengaja dipersiapkan al-Ghazali untuk menata kembali moral dan intelektual umat Islam kala itu. Jadi, yang al-Ghazali fikirkan tidak sekedar masalah perang Salib belaka, tapi masalah mendasar umat (moral dan keilmuan). Seruan ulama saat itu yang tidak diindahkan oleh umat Islam cukuplah menjadi bukti apa yang al-Sulami sampaikan dalam kitab al-Jihad benar adanya, yaitu bahwa memerangi pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului dengan jihad melawan hawa nafsu.

Yang mendasar dan utama yang dilakukan para ulama seperti Al-Ghazali dalam menyembuhkan penyakit umat adalah dengan mengajarkan keilmuan yang benar. Ilmu yang benar akan mengantarkan pemiliknya kepada keyakinan, kecintaan pada ibadah, zuhud, dan jihad. Ilmu yang rusak akan menghasilkan ilmuwan dan manusia yang rusak, yang cinta dunia dan pasti enggan berjihad di jalan Allah. Ini masalah penting, karena itu, beliau mengawali pembahasan Kitab Ihya' Ulumiddin dengan bab tentang ilmu (Kitabul Ilmi).

Ini menarik. Sebab, al-Ghazali ternyata memulai penanganan krisis yang terjadi di kalangan umat Islam pada saat itu 'langsung kepada sumbernya', yaitu hati/aqal. Hal ini sangat sesuai dengan pesan baginda Rasulullah saw, "Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat mudghah. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Itulah al-qalb." (HR. Muslim).

Mengenali Ulama

Ada dua perkara yang ditinggalkan Nabi saw untuk umatnya, yaitu al-Qur'an dan al-Sunnah. Siapa yang berpegang teguh kepadanya, maka tidak akan tersesat selamanya. Namun kenyataannya, tidak semua orang bisa memahami dua hal ini dengan baik. Karena itu, di samping keduanya, Rasulullah saw juga mewariskan para ulama, sebagaimana sabda beliau, "Sesungguhnya ulama adalah ahli waris Nabi, para Nabi tidaklah mewariskan emas dan perak, yang mereka wariskan adalah ilmu. Barang siapa mengambil warisannya maka ia mendapat keuntungan yang sempurna." (HR. Ibu Majah dalam Ibn Hajar al-Qalany, Fath al-Bary, juz 1). Peran penting ulama juga terungkap dari Hadits Nabi saw: “Bandingannya para ulama di bumi ini samalah seperti bintang-bintang di langit. Ia dijadikan pedoman dalam kegelapan di laut dan di darat. Kalau bintang-bintang itu pudar, mereka yang berpandukannya nyaris sesat” (Riwayat Imam Ahmad).

Hadits-hadits ini secara tegas menggambarkan hubungan erat antara peran ulama dengan ilmu. Para ulama inilah yang akan meneruskan misi kenabian, yakni amar ma'ruf nahi munkar. Bagi al-Ghazali, aktivitas amar ma'ruf nahi munkar ini adalah kutub terbesar dalam urusan agama. Karena itu, ia sangat penting. Jika ia tidak ada, maka syiar kenabian hilang, agama menjadi rusak, masyarakat bodoh, kesesatan tersebar, bahkan satu negeri akan binasa. Ini telah Allah swt nyatakan secara jelas dalam QS. Al-Maidah: 78-79. Bahkan, tidak adanya amar ma'ruf nahi munkar dapat menyebabkan binasanya seluruh kaum, sebagaimana sabda Rasulullah saw: "Tidaklah dari satu kaum berbuat maksiat, dan di antara mereka ada orang yang mampu untuk melawannya, tetapi dia tidak berbuat itu, melainkan hampir-hampir Allah meratakan mereka dengan azab dari sisi-Nya." (HR. Abu Dawud, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah).

Melihat penjelasan ini, kita tidak bisa serta merta melabel seseorang yang karena telah melalui jenjang pendidikan tertentu sebagai seorang 'alim (ulama). Untuk bisa memetakan hal ini, alangkah baiknya melihat apa yang disampaikan oleh Al-Khalil bin Ahmad: "Arrijaalu arba'ah: Rajulun yadrii wa yadrii an-nahu yadrii fadzalika 'alimun fas-aluhu, wa ra julun yadrii wa laa yadrii an-nahu yadrii fadzalika naasin fa dzakkiruhu, wa rajulun laa yadrii wa yadrii an-nahuu laa-yaddri fa dzalika mustarsyidun fa-arsyiduhu, wa rajulun la yadrii wa laa yadriii an-nahuu laa yadrii fa dzalika jaahilun farfudhuhu." (Baca: Imam al-Mawardi dalam Adab ad-Dunya wa ad-Diin: 86).

Demikianlah, orang alim itu adalah orang yang tahu dan ia tahu bahwa dirinya tahu. Orang ini paham apa yang harus dilakukan dan apa yang harus ditinggalkan. Tidak sekedar itu, ia juga tahu hak-hak ilmu, kemudian menunaikannya. Artinya, walaupun seseorang itu sudah menempuh jenjang pendidikan tertentu, namun ia belum dikatakan sebagai seorang 'alim kecuali setelah mengamalkan ilmunya. Hal ini telah diungkapkan juga oleh Ali ibn Abi Thalib, "innamal alim man amila bima alima." Ini karena tujuan utama ilmu adalah untuk diamalkan. Dan amal itu sendiri harus dilandasi oleh ilmu. Atau dengan kata lain, orang alim itu hanya mengamalkan apa yang diilmuinya.

Berikutnya, orang alim itu tidak akan merasa puas dengan ilmu yang diketahuinya. Justru ia akan merasa perlu untuk belajar dan terus belajar. Dalam hal ini, Abdullah bin Mubarak berkata, "seseorang tetap dikatakan alim selagi ia terus menuntut ilmu. Jika ia menyangka ilmunya telah cukup, maka sesungguhnya dia masih bodoh."

Dan dalam sejarah, kita tahu, Imam Ahmad yang telah hafal satu juta Hadits (menurut ar-Razi), tidak pernah lepas dari pena dan tinta. Saat beliau ditanya oleh seseorang, "sampai kapankah Anda membawa tinta?" Beliau menjawab, "membawa tinta sampai ke kubur". Di sini, sungguh beliau bertekad mencari ilmu hingga ajal menjemput. Sebuah proses pendidikan yang tuula az-zaman.

Di masa hidupnya, al-Ghazali menunjukkan kepeduliannya kepada terbentuknya generasi ulama ini. Lebih dari itu, beliau bahkan memberikan keteladanan hidup. Ilmu yang tinggi dan peluang mendapatkan hidup mewah tidak menjadikannya lupa. Beliau justru memilih mendirikan pesantren di Thus, kampungnya sendiri. Tempatnya mengabdikan diri membina dan mempersiapkan kader-kader umat (ulama). Dari upaya ulama kala itu, seperti yang al-Ghazali lakukan inilah lahir satu generasi hebat, generasi Shalahuddin al-Ayyubi. Jadi, bukan seorang Shalahuddin saja, namun satu generasi Shalahuddin, yang pada 1187 berhasil memimpin pembebasan Kota Suci Jerusalem dari cengkeraman Pasukan Salib.

Hari ini, seiring dengan masuknya ide-ide/nilai-nilai Barat Modern dan Postmodern telah menyebabkan terjadinya pencampuran konsep-konsep Barat dengan konsep-konsep Islam atau masuknya konsep-konsep Barat ke dalam pemikiran Islam. Sehingga, usaha menegakkan bangunan ilmu lebih dimaksudkan pada mengarahkan kembali pemikiran atau pola pikir manusianya, agar sejalan dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dalam Islam.

Atau dengan kata lain, sejatinya, membangun peradaban Islam bukanlah membangun sarana prasarana fisik yang diberi label Islam, tapi mereorientasikan framework pemikiran umat Islam. Ini juga yang telah al-Ghazali contohkan. Dimana beliau dengan gigih dan cerdas telah meluruskan cara berfikir para filosof kala itu dalam bukunya 'Tahafut Falsafah'.

Melihat uraian di atas, jika hari ini banyak pihak yang mengeluhkan kualitas para akademisi muslim, harusnya kita berkaca pada diri sendiri, apakah selama ini kita telah punya perhatian khusus menyiapkan kader-kader umat yang unggul. Silakan diteliti, apakah ada satu perguruan tinggi Islam yang bisa diharapkan untuk menyiapkan kader umat semacam itu? Jika belum ada, harusnya kita mulai dari sekarang untuk menyiapkannya.

HENDAKLAH ENGKAU BERSAMA DENGAN ORANG YANG LURUS

Kehidupan manusia pasti akan berakhir. Tidak ada yang kekal selama-lamanya. Kematian pasti akan dijumpai manusia. Kemana setelah kematian? Allah Rabbul Alamin akan menetapkan nasib manusia. Semuanya sesuai dengan ihtiar manusia.

Ihtiar yang sudah dilakukan manusia itu, yang nantinya di akhirat menjadi mizan (timbangan) bagi kehidupannya yang bersifat kekal, kemuliaan atau kehinaan. Allah Azza Wa Jalla telah memberikan petunjuk (hudan) yang akan memberi kemuliaan bagi manusia yang mengikutinya berupa al-Qur'an dan as-Sunnah. Karenanya, manusia tidak dapat memungkirinya kelak.

Manusia yang akan mendapatkan kemuliaan itu, mereka yang memilih berteman dan berkarib dengan orang-orang yang menempuh jalan lurus (shirathal mustaqiem), dan tidak bersama dengan orang-orang yang menempuh jalan yang sesat dan bathil.

Hidupnya hanya berserah kepada Allah Azza Wa Jalla, dan tidak menyekutukan-Nya, serta berkhianat kepada-Nya. Tunduk, patuh, berserah diri sepenuhnya dengan ikhlas kepada-Nya. Tidak ingin sedikitpun berkhianat dan berbuat durhaka.

Mereka yang menempuh jalan lurus (shirath) itu, tidak mau bermain-main dengan para pendusta agama Allah Ta’ala. Mereka yang menempuh jalan Rabbnya, tak hendak berwala’ dan memberikan loyalitas kepada mereka yang memusuhi agama Allah, serta orang-orang yang terang-terangan berkhianat dengan berbuat syirik, dan bertahkim kepada hukum-hukum selain hukum Allah Rabbul Alamin. Mereka yang menempuh jalan lurus (shirath) akan baro’ terhadap segala bentuk kekufuran dan kemungkaran, dan menarik garis pembatas yang tegas terhadap praktik-praktik kebathilan dan kezaliman dalam kehidupan.

Allah Azza Wa Jalla, senantiasa mengingatkan bagi para penempuh jalan lurus (shirath), agar mereka hanya bersama-sama dengan orang yang dikasihi-Nya, seperti dalam al-Qur’an :

Dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-Nabi, para Shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan itulah teman-teman yang sebaik-baiknya”. (An-Nisa’ : 69)

Selanjutnya, Allah Azza Wa Jalla, pasti menyandarkan shirath kepada orang-orang yang menempuhnya, yaitu orang-orang yang diberi ni’mat oleh Allah, agar hati orang yang menempuh jalan lurus (shirath) itu tidak dihinggapi perasaan sedih, karena pasti tidak akan terkucilkan, dan ia akan bersama-sama dengan orang-orang yang menempuh jalan shirath lainnya. Bahkan, mereka akan dijamin bersama mereka yang menempuh jalan shirath di akhirat kelak, yaitu para Anbiya' (Nabi-Nabi), Shiddiqin, mereka yang mati syahid, Tabi'in, dan orang-orang yang shalih.

Berbeda dengan orang-orang yang menyimpang dan bermusyarakah dengan orang-orang yang memusuhi agama Allah, dan menentang hukum-hukum Allah, bersama-sama dengan orang-orang berlaku durhaka, serta bersama-sama dengan pelaku kebatahilan dan kezaliman.

Betapapun, sekarang di dunia, mereka yaitu para pelaku menyimpang, sepertinya mendapatkan kenikmatan dengan harta yang melimpah, jabatan, kekuasaan, dan segala bentuk kenikmatan lainnya, tetapi di hadapan Allah Azza Wa Jalla tidak ada artinya. Para penempuh jalan kesesatan yang menyimpang itu, pasti akan binasa, dan dihancurkan oleh Allah Azza Wa Jalla, yang Maha Aziz (Maha Perkasa), dan tidak pernah mendapatkan ampunan.

Karenanya, bagi penempuh jalan yang menyimpang atau sesat, meskipun jumlah mereka banyak, tetapi nilai dan kualitas mereka sangatlah sedikit, sebagaimana dikatakan para ulama Salaf, “Tetaplah engkau tempuh jalan kebenaran, dan janganlah engkau bersedih karena sedikitnya orang yang menempuhnya. Dan jauhilah jalan kebathilan, dan janganlah engkau tertipu oleh banyaknya orang yang binasa di jalan itu (kesesatan dan kebathilan)”.

“Dan, jika anda sedih merasa sendirian, maka layangkanlah pandanganmu ke arah teman-teman terdahulu (para generasi salaf), dan berkeinginanlah untuk senantiasa bertemu mereka, serta alihkanlah pandangan anda selain dari orang-orang selain mereka. Karena mereka (orang-orang lain yang menyimpang dari jalan lurus itu), tidak akan menolongmu sama sekali. Dan jika mereka memanggil anda untuk menyimpang dari jalan yang anda tempuh, maka janganlah anda menghiraukan mereka”, ucap Ibnu Qayyim al-Jauzi.

Seperti dalam lantunan dalam do’a qunut : “Ya Allah,tunjukilah aku bersama orang yang Engkau beri petunjuk, bukan orang-orang yang Engkau murkai”. Wallahu’alam.