Selasa, 23 Februari 2016

[API SEJARAH] Perlunya Memerhatikan Sejarah Sebagai Tulisan

Wal tandhur nafsun ma qaddamat Ii ghad
Perhatikan sejarahmu untuk hari esokmu (Q5 59, 18)
API Sejarah 
SEJARAH sebagai salah satu cabang IImu Sosial perlu mendapatkan perhatian serius dari Ulama dan Santri serta umat Islam Indonesia. Banyak karya Sejarah Islam Indonesia dan Dunia Islam umumnya, yang beredar di sekitar kita. Namun, banyak pula isinya sangat bertentangan dengan apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah saw, sahabat, khalifah, wirausahawan, ulama, waliyullah dan santri, serta umat Islam. Apalagi dengan adanya upaya deislamisasi Sejarah Indonesia, peranan Ulama dan Santri, serta umat Islam di dalamnya ditiadakan. Atau tetap ada, tetapi dimaknai dengan pengertian yang lain.

Seperti yang diangkat oleh K.R.H. Abdullah bin Nuh masalah waktu masuknya Islam ke Indonesia semestinya terjadi pada abad ke-7 M. Ternyata dituliskan sangat jauh berbeda waktunya. Dimundurkan hingga abad ke-13 M. Tidak hanya masalah waktu, tetapi juga dituliskan oleh Orientalis kehadiran Islam di tengah bangsa dan negara Indonesia dinilai mendatangkan perpecahan. Karena Islam dinilai menimbulkan banyak kekuasaan politik Islam atau kesultanan yang tersebar di seluruh Nusantara sehingga imperialis Barat menemui kesukaran untuk menguasai Nusantara Indonesia.

Sebaliknya, walaupun kekuasaan politik atau Keradjaan Hindoe dan Boeddha, tidak terdapat di seluruh pulau Nusantara Indonesia, tetapi ditafsirkan bangsa Indonesia saat itu mengalami zaman kejayaan dan keemasan. Interpretasi Orientalis dan imperialis Barat, selalu memuji Keradjaan Hindoe Boeddha dan mendiskreditkan Islam.

Hal ini diakibatkan pelopor perlawanan terhadap penjajah Barat di Indonesia adalah Ulama atau Wali Sanga. Ketika imperialis Barat, Keradjaan Katolik Portoegis, 1511 M, dan Keradjaan Protestan Belanda, 1619 M, mencoba menguasai Indonesia, selalu dihadang oleh Ulama dan Santri. Oleh karena itu, sejarawan Barat, menyebutnya sebagai Santri Insurrection – Perlawanan Santri. Mengapa tidak dilawan oleh kekuasaan politik Boeddha Sriwidjaja dan Hindoe Madjapahit. Pada saat penjajah Barat tiba di Nusantara, keduanya sudah tiada. Akibatnya, kedua penjajah Barat dengan Politik Kristenisasinya, dengan agama Katolik dan Protestan mencoba menjajah Nusantara Indonesia berhadapan dengan Ulama dan Santri serta sultan yang berjuang mempertahankan kedaulatan bangsa, negara, dan agama Islam.

Jika dalam sejarah, setiap gerakan perlawanan terhadap imperialisme, disebut sebagai gerakan nasionalisme. Sementara dalam sejarah, Ulama dan Santri di Indonesia sebagai pelopor perlawanan terhadap imperialisme, yang seharusnya Ulama dan Santri dituliskan dalam Sejarah Indonesia sebagai pembangkit kesadaran nasional di Indonesia, ternyata tidak ditulis. Padahal, Ulama dan Santri menurut zamannya adalah kelompok cendekiawan Muslim. Kelompok inilah dalam catatan sejarah sebagai pemimpin terdepan ide pengubah sejarah di Nusantara Indonesia.
Perlu diingat, istilah nasional dimasyarakatkan oleh Centraal Sjarikat Islam, dalam National Congres Centraal Sjarikat Islam Pertama – 1e Natico di Bandung, 17 – 24 Juni 1916. Namun, dalam Sejarah Indonesia akibat diartikan nasionalisme bukan dari gerakan organisasi Islam maka istilah nasional seperti disosialisasikan oleh Perserikatan Nasional lndonesia – PNI – di Bandung, 4 Juli 1927. Padahal, istilah “Indonesia” dipelopori oleh Dr. Soekiman Wirjosandjojo dengan mengubah Indische Vereniging menjadi Perhimpoenan Indonesia, 1925 M di Belanda dan Majalah Hindia Poetera diganti menjadi Indonesia Merdeka. Akibat Dr.Soekiman Wirjosandjojo aktif dalam pimpinan Partai Sjarikat Islam Indonesia, Partai Islam Indonesia, dan Partai Masjoemi tidak dituliskan sebagai pelopor pengguna pertama istilah Indonesia dan Indonesia Merdeka dalam masa Kebangkitan Kesadaran Nasional lndonesia.

Boeng Kamo mendirikan PNI, 1927 M, sebelas tahun sesudah National Congres Centraal Sjarikat Islam Pertama – 1e Natico, 1916 M, yang dipimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto, Abdoel Moeis, Wignjadisastra di Bandung. Oemar Said Tjokroaminoto tidak hanya sebagai Guru Politik, tetapi juga sebagai mertua Boeng Karno.

Demikian pula, National Congres Centraal Sjarikat Islam juga memelopori menuntut Indonesia merdeka, atau Pemerintah Sendiri – Zelf bestuur, 1916 M. Namun dalam Sejarah Indonesia, dituliskan pelopornya Boeng Karno di depan Pengadilan Kolonial di Bandung pada 1929 M, atau Petisi Soetardjo yang menuntut Indonesia Merdeka. Anehnya, tanggal jadi Boedi Oetomo, 20 Mei 1908, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Padahal, sampai dengan Kongres Boedi Oetomo di Solo, 1928 M, menurut Mr. A.K. Pringgodigdo dalam Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia, Boedi Detomo tetap menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia. Walaupun sampai dengan kongres tersebut, Boedi Oetomo sudah berusia 20 tahun, tetap mempertahankan Djawanisme. Selanjutnya, Dr.Soetomo membubarkan sendiri Boedi Oetomo, 1931 M karena tidak sejalan dengan tuntutan zamannya.

Ajaran Kedjawen atau Djawanisme sebagai landasan wawasan Boedi Oetomo sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang dianut mayoritas pribumi. Melalui medianya Djawi Hisworo, Boedi Oetomo berani menghina Rasulullah saw.

Walaupun Boedi Oetomo dengan media cetaknya menghina Rasulullah saw. Sampai sekarang umat Islam sebagai mayoritas bangsa Indonesia, tetap menaati keputusan Kabinet Hatta, 1948 M. Bersedia menghormati 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Demikian pula kelanjutannya Boedi Oetomo, menjadi Partai Indonesia Raja, dipimpin pula oleh Dr. Soetomo. Dengan media cetaknya, Madjalah Bangoen, tidak beda dengan Djawi Hisworo, juga menerbitkan artikel yang menghina Rasulullah saw. Selain itu, Partai Indonesia Raja-Parindra, sebagai partai sekuler dan anti Islam. Perlu kiranya para ulama dan MUI mempertimbangkan kembali keputusan Kabinet Hatta, 1948 M, tentang 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Hari Pendidikan Nasional- Hardiknas pun diperingati setiap 2 Mei, kabarnya diambil dari hari lahir Ki Hadjar Dewantara, pendiri Taman Siswo, 1922 M, yang pada awalnya merupakan perkumpulan Kebatinan Seloso Kliwon. Kalau ini benar, mengapa bukan hari lahir K.H. Achmad Dachlan pendiri Persjarikatan Moehammadijah, 18 November 1912 M, sepuluh tahun lebih awal dari Taman Siswo, 1922 M, dan pengaruhnya jauh lebih meluas di seluruh kota di Nusantara.

Akibat deislamisasi penentuan Hardiknas, menjadikan K.H. Achmad Dachlan dan Persjarikatan Moehammadijah tidak terpilih sebagai pelopor pendidikan nasional. Sebenarnya masih banyak contoh lagi, upaya deislamisasi terhadap penentuan peristiwa nasional dalam penulisan Sejarah Indonesia.

Kehadiran buku ini di tangan pembaca, bukanlah telah berhasil meluruskan sistem penulisan Sejarah Islam Indonesia. Belum sama sekali, hanya merupakan sebuah rintisan upaya pelurusan. Buku ini pun hanya merupakan upaya melengkapkan karya R.K.H. Abdullah bin Nuh semula berjudul Sejarah Islam Di Jawa Barat Hingga Zaman Keemasan Banten. Melihat isi dan jiwa serta dasar pemikiran kesejarahan di dalamnya karena tidak hanya membahas Sejarah Islam di Banten, tetapi juga berisi bahasan Sejarah Islam di luar Jawa dan membicarakan Sejarah Kerasulan, Khulafaur Rasyidin, serta perkembangan wirausahawan atau wiraniagawan Islam pada umumnya, berikut pengaruhnya terhadap pertumbuhan kekuasaan politik Islam atau kesultanan, dan dampak selanjutnya. Semua itu memberi inspirasi atas lahirnya buku,

API SEJARAH:
Maha karya Perjuangan Ulama dan Santri
dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Selain itu, R.K.H. Abdullah bin Nuh sendiri sebenarnya banyak mengangkat fakta sejarah yang bersumber dari karya Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam. Guna pendekatan yang seluas sumbernya, pada buku ini Ahmad Mansur Suryanegara menambahkan pembahasannya dengan peristiwa sejarah yang terjadi di luar Indonesia: Sejarah Islam Mongol di India dan Islam di Cina, terutama Islam di Timur Tengah. Hal itu karena melihat pengaruhnya cukup besar terhadap perkembangan kekuasaan politik Islam atau kesultanan di Nusantara Indonesia.
Walaupun buku ini telah hadir di tangan pembaca, tetapi upaya menuliskan kembali – rewrite dan menginterpretasikan kembali· reinterpretation, sejarah Ulama dan Santri sebagai Cendekiawan Muslim di Indonesia, dan peran wirausahawan atau wiraniagawan, serta perjuangan kaum penegak ideologi Islam, dan upaya penguasaan maritim atau kelautan, sangat perlu terus melakukan penelitian dan penerbitannya. Mengapa dan ada apa? Karena adanya upaya deislamisasi penulisan Sejarah Indonesia.

Upaya deislamisasi penulisan Sejarah Indonesia sudah berlangsung cukup lama. Secara sistemik proses deislamisasi penulisan Sejarah Indonesia, menjadikan peran Ulama dan Santri di bidang ipoleksosbud dan hankam, tidak mendapat tempat yang terhormat dalam penulisan Sejarah Indonesia. Sementara masyarakat awam dan Cendekiawan Muslim sangat kurang memperhatikannya. Mereka mengira penulisan sejarah yang benar adalah yang pernah dituliskan terlebih dahulu oleh sejarawan Belanda.

Selain itu, sampai sekarang ini belum pernah terpikirkan oleh para Ulama dan Santri, terjadi keanehan dan kejanggalan sejarah dalam Diorama Monumen Nasional. Digambarkan bahwa Pesantren sebagai Pemersatu Bangsa Indonesia Abad Ke-1 4 M. Sedangkan Agama Katholik Roma sebagai Faktor Penyatu 1947 dan Gereja Protestan sebagai Pemersatu Bangsa Abad Ke-20.
Tidakkah Diorama tersebut memberikan kesan, Pesantren berperan sebagai Pemersatu Bangsa hanya di abad ke-14 M. Hanya karena tergantikan oleh Katolik dan Protestan di abad ke-20, peran sejarah Nahdlatoel Oelama, Persatoean Islam, Persatoean Oemat Islam, dan lainnya ditiadakan dalam Diorama Monumen Nasional, kecuali hanya Moehammadijah pada 18 Nopember 1912. Walaupun terlebih dahulu didirikannya, tetapi dilempatkan pada nomor urut 25, di belakang Taman Siswa, 3 Juli 1922, nomor 24. Sedangkan Sjarikat Islam, Persjarikatan Oelama, Persatoean Islam, dan Nahdlatoel Oelama ditiadakan. Seluruh Partai Politik pun ditiadakan.

Kendati demikian, upaya sementara pihak, deislamisasi Sejarah Indonesia, di sisi lain pemerintah Republik Indonesia masih sempat membangun tiga buah masjid sebagai monumen mahakarya perjuangan Ulama dan Santri dalam peran aktifnya menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertama, di ibu kota perjuangan RI Jogyakarta dibangun Masjid Syuhada • Masjid Pahlawan. Pertanda Republik Indonesia menjadi merdeka karena pengorbanan harta dan jiwa para Syuhada. Kedua, hanya karena perjuangan para pemakmur masjid, menjadikan Indonesia Istiqlal atau Indonesia Merdeka kemudian dibangunlah Masiid Istiqlal- Masjid Kemerdekaan di ibukota Republik Indonesia, Jakarta. Ketiga, Indonesia sebagai tanah tumpah darah rahim ibu, dibangunlah Masjid Baiturrahim di depan Istana Merdeka.

Mungkinkah Proklamasi 17 Agoestoes 1945, Djoemat Legi, 9 Ramadhan 1364, dapat dituliskan dan dibacakan oleh Proklamator jika tanpa Ulama dan Santri sebagai pengawal terdepan Kemerdekaan Indonesia? Untuk itulah, di depan Monumen Nasional, disimbolkan perjuangan Ulama dan Santri, dengan patung Pangeran Diponegoro yang sedang memacu kuda, sekaligus sebagai lambang dinamika dan mobilitas Ulama dan Santri dalam perjuangannya membebaskan Nusantara Indonesia dari segenap penjajahan.

Buku ini berisikan fakta sejarah perjuangan Ulama dan Santri dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Walaupun karya sejarah ini kurang mendetail, tetapi tidaklah berarti hanya berhenti sampai di sini. Generasi mendatang dan para peminat sejarah pada penerbitan berikutnya, perlu menuliskan ulang dan melengkapinya.

Peristiwa sejarah yang terjadi di tengah bangsa Indonesia sampai hari ini, hakikatnya merupakan kesinambungan masa lalu yang telah diletakkan dasarnya oleh Ulama dan Santri. Oleh karena itu, Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghadPerhatikanlah sejarahmu untuk hari esokmu (QS 59: 18). Semoga Allah merahmati, memberkahi, dan menunjuki kita semua.

Bandung, 27 Rajab 1430
20 Juli 2009
Badan Kerjasama Pondok Pesantren Seluruh Jawa Barat – BKSPP
Prof. Dr. K.H. Salimuddin Ali Rahman, M.A.

*Dicuplik dari buku “API SEJARAH Buku yang akan Mengubah Drastis Pandangan Anda tentang Sejarah Indonesia”, Ahmad Mansur Suryanegara, Salamadani Pustaka Semesta, Cetakan IV November 2010. Halaman xix – xxiv

[API SEJARAH] Pengaruh Kebangkitan Islam di Indonesia (I)

Pasar Sebagai Gerbang Islamisasi Indonesia
DUNIA di kejutkan dengan turunnya wahyu Allah yang disampaikan Malaikat Jibril as kepada seorang yang berprofesi wirausahawan, Muhammad. Beliau pun berubah statusnya menjadi Rasulullah – Utusan Allah. Sebuah wahyu yang memberikan ajaran bagaimana caranya untuk mencapai Islam yang berarti selamat dan menjadikan diri sebagai Muslim yang berarti menyerahkan kehendak diri kepada kehendak Allah.
Ajaran yang diawali hanya lima ayat (QS 96: 1-5), berisikan tentang peringatan bahwa Allah yang menciptakan manusia dari darah dan Allah pula yang menjadikan manusia berilmu. Allah juga yang menciptakan manusia dapat membaca dan menulis. Ajaran wahyu ini oleh Malaikat Jibril as disampaikan kepada seorang wirausahawan yang ummi. Orang yang tidak dapat membaca dan menulis. Diturunkan bukan di istana yang mewah, melainkan di sebuah bukit batu gersang, Jabal Nur dengan guanya, Gua Hira.
Mengapa sejarah dapat diubah hanya dengan realitas sarana yang sangat sederhana. Namun, berdampak abadi dan menembus daratan, lautan, serta udara yang tiada batas. Dalam durasi waktu yang berbataskan akhir zaman. Padahal, hanya digerakkan oleh personal yang merupakan a tiny creative minority – kelompok kecil minoritas yang penuh kreatifas[1].
Al-Quran mencontohkan pada umumnya nabi dan rasul dalam upaya memelopori gerakan pembaharuan tampil dari dirinya sendiri, seperti Nabi Daud as dalam usia muda dan dari golongan minoritas dengan izin Allah berhasil menumbangkan kekuasaan yang sudah mapan dan absolut (Qs 2: 249).
Awalnya, Rasulullah saw hanya didukung oleh istri terhormat, Siti Khadijah ra. Diikuti oleh keponakannya, Ali bin Abi Thalib. Mantan hamba sahaya, Zaid. Kelompok kecil ini menjadi magnet yang mampu menarik tokoh-tokoh masyarakat yang terhormat, Abu Bakar, Umar bin Khaththab, dan Utsman bin Affan.
Betapa dahsyatnya pengaruh wahyu ajaran Islam ini. Dalam waktu relatif singkat dalam ukuran jarak waktu sejarah, menjadikan bangsa Arab yang tadinya jahiliyah berubah menjadi jenius. Ajaran wahyu Islam yang tidak diturunkan di istana. Tetapi, mengapa mampu menumbangkan singgasana penguasa-penguasa yang beristana megah. Kekaisaran Persia dengan ajaran Majusinya dan Keradjaan Romawi Bizantium dengan Nasraninya, keduanya tidak mampu menghentikan gerak sejarah yang dibangkitkan kaum yang kaya akan rahmat Allah.
Bangsa Arab yang tinggal di Jazirah Arabia, artinya daratan yang dikelilingi oleh lautan. Namun, terhimpit oleh Samodra Sahara Pasir Kuning yang tandus, mencoba bangkit dengan wahyu Ilahi menjadi bangsa yang mampu menguasai bahari kelautan. Dengan mengarungi samudra dan melintasi benua, bangsa Arab membangun jalan laut niaga, guna meretas jalan ajaran Islam untuk didakwahkan.
Gerak sejarah Islam berputar sangat menakjubkan. Meluas hingga ke batas cakrawala dunia. Bukan gerakan dari istana ke istana. Melainkan dari pasar ke pasar. Para wirausahawan tidak hanya memasarkan komoditi barang dagangan, tetapi, juga menjadikan pasar sebagai arena amal ajaran niaga Islami. Menumbangkan ajaran politeisme dan digantikan dengan ajaran Tauhid. Dampaknya, aturan jahiliyah pun roboh, tidak mampu bertahan. Ditegakkanlah Syariah Islam dengan metode budaya bangsa-bangsa yang dijumpainya. Kehadiran Islam disambut sebagai liberating forces • kekuatan pembebasan dari belenggu ajaran yang menyesatkan.
Pasar diperkirakan oleh sementara pihak hanya sebagai tempat memenuhi kebutuhan materi. Perkiraan semacam itu, ternyata tidak benar. Pasar tidak hanya tempat jual-beli barang, tetapi, terjadi pula pertukaran bahasa, ekonomi, politik, ideologi, sosial, budaya, ketahanan dan pertahanan. Bahkan, konversi agama pun berlangsung karena pengaruh pasar. Mengapa demikian?
Rasulullah saw sebelum memperoleh wahyu Allah, semula sebagai wirausahawan. Disiapkan sebelumnya dengan kehidupan yang bergumul dengan hiruk pikuk pasar, sejak usia dini, yaitu usia 6 tahun hingga dewasa 40 tahun. Selama 32 tahun, Muhammad berprofesi sebagai wirausahawan. Namun, dikarenakan wahyu Allah, pada usia 40 tahun, berubahlah menjadi Rasulullah saw. Berjuang mendakwahkan ajaran Islam selama 23 tahun.
Pengaruh berikutnya terhadap pengikutnya, menjadikan pasar sebagai medan niaga dan dakwah. Dari pasar, dibangun masjid. Dari masjid dibina generasi muda melalui lembaga pendidikan, di Indonesia disebut pesantren. Kelanjutannya dari tuntutan komunitas Islam, melahirkan kekuasaan politik Islam atau kesultanan.
Istilah pasar berasal dari Timur Tengah dari kata, bazaar. Sebelumnya, di Nusantara Indonesia tidak dikenal istilah tersebut karena pengaruh Islam dan kontak niaga dengan Timur Tengah, mulailah masuk istilah tersebut. Akibatnya, dikenal pula nama-nama pasar dengan hari-hari Islam: Pasar Senin, Pasar Rabu, Pasar Kamis, Pasar Jum’at, Pasar Ahad.
Melalui pasar berkembanglah pula Bahasa Melayu Pasar sebagai bahasa komunikasi niaga dalam pasar. Demikian pula Huruf Arab Melayu menjadi dikenal di Nusantara Indonesia. Tampaknya dapat dipastikan, penguasa pasar dunia, pengendali pengaruh kekuasaan politik, dan penguasa media transportasi, serta pendidikan, membentuk budaya dan peradaban bangsa di dunia.
Dalam hal ini, mengapa Islam dari Timur Tengah berpengaruh besar dalam menciptakan perubahan budaya dan peradaban di dunia, selama 800 tahun dari abad ke-7 hingga abad ke-15? Bagaimana dan dengan jalan apa yang ditempuh oleh para pejuang Islam, mengenalkan ajaran Islam menjadi tersebar ke seluruh dunia saat itu? Mengapa agama Islam disambut oleh masyarakat yang didatanginya sebagai agama pembebas?
Mungkinkah ajaran Islam dapat menyebar ke seluruh dunia, jika umat Islamnya tidak memiliki kesadaran kemaritiman. Sangat kontraduktif jika bangsa Arab yang tinggal di Jazirah Arabia, tidak memiliki kesadaran kebaharian. Tidakkah arti jazirah sebagai suatu wilayah yang dikelilingi oleh laut atau selat.
Wasiat Politik Kelautan
Kapal Arab LamaRasulullah saw memberikan jawaban yang tepat terhadap problema di atas. Ketandusan Jazirah Arabia dijawab oleh Rasulullah saw dengan 40 ayat tentang lautan atau maritim. Di dalamnya, bermuatan ~wasiat politik kelautan~ yang termaktub dalam AI-Quran.
Mengajarkan bahwa Allah telah menyerahkan penguasaan lautan kepada umal Islam. Realitas dunia 71 % terdiri dari lautan dan samudra. Jalan apa yang harus dipilih oleh umat Islam dalam mendakwahkan ajaran Islam ke seluruh dunia. Nusantara Indonesia sebagai negara kepulauan dan produsen rempah-rempah, tersekat jauh antar-pulau dan dengan Timur Tengah, India, dan Cina oleh laulan dan samudra yang luas. Tidak ada pilihan lain kecuali melalui jalan laut niaga.
Nusantara Indonesia sebagai nusa kepulauan yang terbuka dan terletak di antara benua dan samudra. Segenap kemajuan agama yang terjadi di luar, akan masuk dan mengubah sistem kehidupan di Nusantara Indonesia. Agama Hindu dan Buddha yang berasal dari India, masuk ke Nusantara melahirkan perubahan tatanan budaya dan menumbuhkan political authority-kekuasaan Politik atau kerajaan Hindu dan Buddha. Misalnya Keradjaan Hindoe Padjadjaran, Singasari, Kediri, Madjapahit, dan Keradjaan Boeddha Sailendra dan Sriwidjaja.
Kembali ke masalah agama Islam yang merakyat ajarannya, tidak mengenal adanya stratifikasi sosial yang didasarkan kasta. Diterima oleh rakyat di Nusantara Indonesia sebagai liberating forces – kekuatan pembebas. Melepaskan manusia dari pengklasifikasian abadi berdasarkan kasta yang tak dapat diubah karena dasar pembagian kasta berdasarkan hereditas – keturunan darah.
Islam memberikan semangat kehidupan dengan penciptaan ekonomi terbuka melalui pasar. Sistem ini melahirkan sistem sosial terbuka ·opened society. Artinya setiap individu terbuka untuk memperoleh kesempatan mengubah jenjang sosialnya, dengan social climbing– pendakian sosial. Melalui prestasi kerjanya· achieved status. Masyarakat Islam sebenarnya hampir tidak mendasarkan pada ascribed status – kedudukan sosial yang diperolehnya atas dasar keturunan-hereditas kecuali kedudukan Sultan atau Raja.
Islam masuk ke Nusantara Indonesia melalui gerbang pasar yang disebarkan para wirausahawan yang merangkap sebagai juru dakwah. Menurut Prof. Dr. D.H. Burger dan Prof. Dr. Mr. Prajudi, dalam Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Djilid Pertama, menyatakan Islam di Indonesia dikembangkan dengan jalan damai dan tidak disertai dengan invasi militer.
Dengan dana pribadi dan penguasaan transportasi kelautan serta penguasaan pasar, menjadikan Islam secara cepat tersebar ke seluruh kepulauan Nusantara Indonesia. Pengembangannya melibatkan setiap Muslim dengan keragaman profesinya, yang merasa terpanggil kesadaran agamanya, menjadi dai dengan metode yang sejalan dengan profesinya. Artinya pedagang dengan bahasa niaganya, nelayan dengan pendekatan nelayannya, bangsawan dengan bahasa struktural keningratannya, dan seterusnya. Rasulullah saw mengajarkan, “‘sampaikanlah ajaran yang berasal dariku, walaupun baru satu ayat,” – Bafighu ani walau ayah. Artinya, setiap Muslim berkewajiban untuk berperan aktif, ikut serta sebagai penyebar ajaran Islam yang bersumber dari wahyu. Dengan cara demikian, Islam cepat menyebar dan berdampak mayoritas bangsa Indonesia memeluk Islam sebagai agamanya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kesaksian sejarah dari catatan wirausahawan dapat pula dijadikan sumber penulisan sejarah.
[1] Arnold J.Toynbee, 1974. A Study of History.Abridgemellt of Volume I-VI by C.Somervell. Oxford University Press. New York, hIm. 214.
Bersambung….
*Dicuplik dari buku “API SEJARAH Buku yang akan Mengubah Drastis Pandangan Anda tentang Sejarah Indonesia”, Ahmad Mansur Suryanegara, Salamadani Pustaka Semesta, Cetakan IV November 2010, halaman 25 – 30
*Gambar “Kapal Arab Lama” diambil dari beranda facebook Prof. Abdul Hadi WM