Rabu, 07 Maret 2012

NGAJI HIKAM (Rahasia Pertolongan Allah)


RAHASIA DATANGNYA PERTOLONGAN ALLAH

تَحَقَّقْ بِأَوْصَافِكَ يَمُدُّكَ بِأَوْصَافِهِ . تَحَقَّقْ بِذُلِّكَ يَمُدُّكَ بِعِزِّهِ . تَحَقَّقْ بِعَجْزِكَ يَمُدُّكَ بِقُدْرَتِهِ . تَحَقَّقْ بِضُعْفِكَ يَمُدُّكَ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ

Nyatakan dengan sifatmu maka Allah akan menolongmu dengan sifat-Nya. Nyatakan dengan hinamu maka Allah akan menolongmmu dengan kemuliaan-Nya. Nyatakan dengan lemahmu maka Allah akan menolongmu kemampuan-Nya. Nyatakan dengan keterbatassanmu maka Allah akan menolongmu dengan upaya-Nya dan kekuatan-Nya.

Pernyataan asy-Syekh Ibnu Atho’illah ra. diatas adalah konsep untuk menemukan keberhasilan hidup bagi seorang hamba yang beriman. Kunci rahasia untuk membukan pintu perbendaharaan ghaib yang tersedia bagi setiap manusia. Password untuk mengaplikasikan program kehidupan yang bertebaran di dalam amal semesta. Jika orang beriman mampu menggunakannya dengan benar maka pintu ijabah dari Tuhannya akan segera terbentang di depannya dengan penuh kemudahan.

Merupakan interaksi antara sifat dengan sifat, meskipun itu berangkat dari keadaan yang berbeda, yang satu merangkak dari bawah yang satunya diturunkan dari atas, yang satu memancar dari dimensi hadits yang satunya didatangkan dari dimensi qodim, apabila seorang hamba mampu membangun dan memancarkan isi hatinya dengan sungguh-sungguh kepada Tuhannya maka mereka akan mendapi sifat Tuhannya dengan penuh kemudahan di depan mata. Sifat Allah itu berbentuk realita sebagai jawaban dari munajat hati yang mendasari setiap pengabdian secara lahir yang dilaksanakan seorang hamba kepada Tuhannya. Allah telah mengisyaratkan keadaan tersebut dengan firman-Nya:

وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ
“Dan penuhilah janjimu kepada-Ku niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu(QS.Al-Baqoroh(2);40)

Dimana saja, dari mana saja, dalam keadaan apa saja, manusia akan menemui sifat dan takdir Tuhannya sebagaimana gambaran isi hatinya saat menghadap kepada-Nya: “Maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.(QS.Al-Baqoroh(2);115).

Dimulai dengan pelaksanaan amal ibadah, amal ibadah itu dilaksanakan oleh seorang salik dengan bersungguh-sungguh (mujahadah) di jalan-Nya sehingga amal ibadah tersebut menjadi karakter yang menjiwai hidup. Jika yang demikian itu diniatkan untuk melaksanakan pengabdian hakiki kepada Allah, Rabbul Alamiin, maka karakter alam akan disuaikan untuk dirinya. Karakter alam itu adalah perwujudan dari sifat dan takdir-Nya. Itulah buah ibadah, apabila seorang hamba mampu merubah karakternya maka karakter alam akan disesuaikan untuk kerakternya. Ini adalah konsep Ilahiyah, sebagai sunnah yang tidak ada perubahan untuk selamanya, apabila seorang hamba mampu melaksanakannya dengan sempurna, maka pintu ijabah akan dimudahkan terbuka dengan sempurna pula baginya dengan sempurna pula.

Mujahadah dalam arti meredam kemauan imosional dan rasional supaya intensitas spiritual menjadi kuat dan cemerlang. Mujahadah tersebut bisa dilaksanakan dengan amaliyah secara vertical maupun horizontal. Oleh sebab itu, mujahadah yang paling utama adalah bersyukur disaat sedang kurang dan memaafkan kesalahan orang.

Seorang hamba harus memulia dari dirinya sendiri. Membangun amal ibadah untuk menyepuh ruhaninya. Melebur kotoran manusiawi supaya jiwanya kembali bersih dan suci sebagaimana fithrahnya. Itu dilakukan bukan untuk menjadikan dirinya supaya menjadi orang yang sakti mandraguna, bukan supaya ia mempunyai linuwih sehingga ia mampu menolong kesusahan manusia, bukan untuk supaya dirinya menjadi orang yang mulia dan kaya raya sehingga dimuliakan manusia, tetapi menyiapkan hati untuk menampung anugerah yang sudah disediakan baginya sejak zaman azali.

Asy-syekh menunjukkan konsepnya, apabila orang beriman ingin mendapatkan kemuliaan dari-Nya, maka terlebih dahulu mereka harus mampu menyatakan kehinaan di hadapan-Nya. Apabila ingin mendapatkan kemampuan-Nya, maka mereka harus mampu menyatakan sifat lemahnya dihadapan-Nya. Apabila mereka mengharapkan upaya-Nya dan kekuatan-Nya, maka mereka harus mampu menyatakan keterbatasan diri di hadapan-Nya.

Untuk mencapai hal tersebut, seorang hamba harus berjalan di jalan-jalan Allah yang sudah disiapkan baginya. Mereka harus melaksanakan thoriqoh yang terbimbing oleh guru-guru ahlinya. Perjalanan itu bukan untuk menuju suatu tempat supaya di tempat itu mereka mendapatkan kekuatan dan kemuliaan, tetapi mengkondisikan isi dada supaya di dalamnya dapat ditempati kekuatan dan kemuliaan yang didatangkan dari perbendaharaan ghaib yang ada di sisi Tuhannya.

Sesuai kebutuhan yang dibutuhkan, apakah itu kemuliaan atau kemampuan, maka pengkondisian hati itu harus disesuaikan dengan kebutuhan tersebut. Merasa hina untuk menerima kemuliaan, merasa lemah untuk mendapatkan kekuatan dan merasa terbatas untuk mendapatkan kemampuan. Adapun amal ibadah yang dilakukan ibarat kendaraan, sedangkan sifat-sifat tersebut ibarat penumpang. Dengan sifat-sifat tersebut seorang hamba akan mendapatkan apa-apa yang diharapkan dalam perjalanan.

Apabila orang tidak berjalan di jalan yang sudah disiapkan. Tidak mengamalkan ilmu pengetahuan yang sudah disiapkan untuk menempa jati dirinya supaya siap untuk mendapatkan pemahaman dari Tuhannya. Mereka bahkan hanya berpangku tangan tanpa berbuat perubahan. Dalam keadaan demikian, apabila mereka mempunyai harapan untuk mendapatkan perubahan, maka harapan itu selamanya pasti akan tinggal harapan. Sampai kapanpun mereka akan menemukan dirinya seperti itu itu saja, tetap dalam keadaan yang serupa tanpa dapat menemukan perubahan untuk selama-lamanya.

Hal itu disebabkan, oleh karena mereka tidak mau berbuat perubahan, maka perubahan yang diharapkan itu akan menjadi angan-angan. Harapan itu akan menjadi seperti awan yang segera hilang disapu angin kencang bersama hilangnya usia hidup yang dimakan zaman.

Ilmu pengetahuan yang dimiliki, sebelum ilmu itu dipergunakan untuk menerangi hati dan jalan hidup orang lain, terlebih dahulu harus dapat dipergunakan untuk mengilmuni diri sendiri, menerangi prilaku hidup untuk membentuk karakternya dengan pelaksanaan mujahadah di jalan Allah, sesuai konsep yang ditawarkan Asy-Syekh tersebut di atas, hasilnya, seorang hamba akan menjumpai sifat Tuhannya sebagai jawaban dari-Nya. Itulah yang dimaksud interaksi dzikir dengan dzikir.

Apabila seorang hamba mampu melaksanakan dzikir tersebut secara sempurna, baik dzikir lahir maupun dzikir batin, berarti pertanda ia telah mencintai Tuhannya. Apabila ia mampu mengenali dzikir balik tersebut, artinya bahwa realita yang datang itu sejatinya adalah sinyal dan rambu-rambu yang didatangkan baginya untuk dapat ditindaklanjuti dengan benar, maka berarti pertanda ia telah dicintai oleh Tuhannya. Tanda-tanda berikutnya, apabila seorang hamba telah mampu mensikapi segala permasalahan hidup yang sedang dihadapi, baik yang susah maupun yang senang dengan bersyukur kepada-Nya, maka itulah pertanda yang bahwa dirinya adalah seorang hamba ynag dicintai Tuhannya. Allah telah meyatakan hal tersebut dengan firman-Nya:

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) -Ku.(QS.Al-Baqoroh(2);152)

NGAJI HIKAM (Hidayah Dibalik Ungkapan Hukama)


HIDAYAH DI BALIK UNGKAPAN HUKAMA


تَسْبِقُ اَنْوَارُ الْحُكَمَاءِ اَقْوَلَهُمْ فَحَيْثُ صَارَ التَنْوِيْرُ وَصَلَ التَّعْبِيْرُ

Para Ahi Hikmah terlebih dahulu memancarkan Nur Hidayah sebelum menyampaikan ungkapan. Ketika penyinaran telah sampai maka sampailah ungkapan.

Yang dimaksud dengan ungkapan itu bukan sekedar ceramah ilmiyah sebagaimana yang dilakukan para juru dakwah di panggung-panggung pengajian secara umum, tetapi mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi dibalik keadaan yang lahir yang terbaca oleh matahati orang-orang yang jiwanya bersih suci. Ekspresi sepontan yang dilakukan oleh para guru mursyid sejati sebagai bentuk kepedulian yang ihlas dalam rangka mentarbiyah ruhani para murid yang dikasihi.
Ungkapan itu bisa dilakukan, karena sebelum ungkapan itu keluar, hati para guru mursyid sejati itu terlebih dahulu telah dipancari “nur ilahiyah”. Ibarat bumi ketika matahari telah memancarkan sinarnya maka ufuk langit menjadi terang benderang. Demikian pula keadaan hati yang bersih itu, ketika nur ilahiyah telah memancar, maka memancarlah ungkapan dari dalamnya.

Untuk melihat di alam lahir, meskipun orang mempunyai mata lahir yang sehat, tanpa sinar matahari, mata yang sehat itu tidak dapat dipergunakan untuk melihat dengan sempurna. Di alam batin juga demikian, mata batin itu disebut bashiroh atau matahati. Meskipun matahati seseorang itu sudah cemerlang, tanpa adanya nur ilahiyah yang menyinarinya, matahati yang cemerlang itu tidak dapat berfungsi untuk melihat hal yang ghaib.

Oleh karena kecemerlangan matahati para guru mursyid itu sudah mampu mengalahkan sorot mata lahirnya. Ketika dengan datangnya nur ilahiyah tersebut menjadikan matahati mereka menjadi tembus pandang sehingga mereka mampu melihat isi dada murid-muridnya. Mereka melihat penyakit rahasia yang harus disembuhkan secara rahasia pula. Untuk mengaktualisasikan maksud tujuan tersebut, maka cara yang mereka pilih adalah dengan menyampaikan i’tibar atau ungkapan. Hal itu dilakukan supaya masing-masing kebutuhan ruhani murid-muridnya dapat dicukupi melalui ungkapan tersebut. Karena tidak mungkin menyembuhkan penyakit rahasia kecuali dengan jalan rahasia pula.

Demikianlah fungsi seorang guru mursyid terhadap murid-muridnya, sehingga apa saja yang dilakukan oleh guru mursyid, sejatinya hanya untuk tujuan mentarbiyah ruhani murid-murid tersebut. Namun demikian, tanpa kemampuan seorang murid dalam mencermati dan menindaklanjuti ungkapan guru mursyidnya dengan benar, maka yang didapatkan oleh para murid dalam bertoriqoh barangkali hanya sekedar pahala amal bukan kecemerlangan matahati atau yang disebut dengan ma’rifatullah.

Yang dibutuhkan dalam bertoriqoh itu bukan hanya sekedar pahala supaya orang bisa masuk surga di akhirat. Karena jalan untuk masuk surga akhirat itu sudah jelas. Yakni apabila seorang hamba mendapat ampunan dari Allah dari segala dosa dan kesalahannya. Hal itu telah dijelaskan Allah dengan firman-Nya:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga”(QS.Ali Imran(3)133)

Target perolehan yang harus dicapai oleh seorang salik dalam berthoriqoh bukan supaya mereka menjadi orang sakti mandra guna, atau punya kelebihan bisa membantu penyembuhan orang sakit Non Medis, melainkan supaya mendapatkan “Surga Ma’rifat” yang menurut ahlinya, merupakan kenikmatan yang lebih nikmat dibandingkan surga akhirat. Itulah surga dunia bagi orang beriman dan beramal sholeh, yakni lapangnya rongga dada karena di dalamnya telah disinari Nur Hidayah Allah sehingga apapun yang sedang terjadi dan dialami tidak menjadikan hati mereka susah dan gelisa.

Untuk mendapatkan surga ma’rifat itu, syarat yang paling utama adalah melaksanakan mujahadah di jalan Allah. Artinya dengan sadar dan penuh pemahaman, seorang hamba harus mampu mengedepankan pilihan Tuhannya daripada pilihan hatinya sendiri. Mereka menindaklanjuti isyarat yang tertangkap dari ungkapan guru mursyidnya untuk mengilmuni dirinya sendiri. Melaksanakan maksud yang tersirat dari ungkapan itu untuk menyembuhkan penyakit hatinya sendiri. Setelah seorang salik mampu melaksanakan mujahadah tersebut dengan benar, hasilnya Allah akan menurunkan hidayah baginya.

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik(QS.Al-Ankabut(29);69)

Yang dimaksud dengan “Jalan-jalan Kami” dari ayat di atas adalah jalan-jalan penyelesaian dari segala masalah hidup yang sedang dihadapi. Itu merupakan pilihan solusi yang ditawarkan Allah kepada hamba-Nya sebagai buah ibadah yang mereka jalani. Dengan pilihan solusi yang terbentang di depan mata itu menjadikan rongga dada orang yang beriman menjadi lapang sehingga mereka mampu menjalani kehidupan di dunia dengan nyaman.

Dalam kaitan mujahadah tersebut, tahap demi tahap pengembaraan ruhaniyah yang dilakukan para murid thoriqoh selalu dimulai dengan menindaklanjuti ungkapan guru mursyidnya. Mereka ibarat seorang pasien yang melaksanakan petunjuk dan resep dokternya, sehingga dalam melaksanakan mujahadah itu benar-benar terbimbing oleh ahlinya. Ketika suatu saat perjalanan tersebut mandek di tengah jalan, hal itu karena para salik itu sedang kebingungan memilih jalan yang tepat untuk dilalui, ungkapan guru mursyidnya ketika sedang bertatap muka, menjadikan perjalanan itu dilanjutkan kembali.

Demikianlah cara hidup yang ditempuh oleh komunitas orang yang berthoriqoh di jalan Allah tersebut. Secara lahir terkadang hubungan antara guru dan murid itu tidak sedemikian dekat, tetapi secara batin bahkan menyatu tidak dapat dipisahkan. Hati mereka tidak pernah terpisah meski keadaan dan tempat terpaksa harus memisahkan jasad-jasad mereka. Mereka selalu beribadah dalam kebersamaan rasa dan nuansa meski ibadah itu dilakukan di tempat yang berbeda. Itulah yang dimaksud dengan hakekat tawassul, pertalian rasa antara seorang murid kepada guru mursyidnya untuk bersama-sama menghadap kepada Tuhannya.

Hasilnya, maka diantara mereka tumbuh rasa persaudaraan yang kuat, masing-masing saling mencintai hanya semata-mata karena Allah. Yang demikian itu bukan berarti seorang murid mengkultus individukan guru mursyidnya, tetapi mencintai gurunya semata karena mencari jalan menuju ridlo Tuhannya dan sang guru menyayangi muridnya karena melaksanakan tugas tarbiyah sebagai seorang khilifah bumi zamannya. Itulah jalinan Ukhuwah Islamiyah yang sejati. Itu bisa terjadi, karena masing-masing kehidupan mereka selalui disinari nur hidayah Allah.

Apabila perjalanan amal utama itu tidak mendapatkan bimbingan guru ahlinya, ketika terjadi kebingungang di tengah jalan sehingga perjalanan salik itu menjadi mandek, inspirasi dan ilham yang masuk di dalam rongga dada mereka seringkali datang dari bisikan setan untuk menyesatkan jalan. Bisikan setan itu tidak untuk merubah arah kiblat yang asalnya barat menjadi timur, tetapi tanpa terasa tujuan ibadah itu berbelok arah. Tujuan yang asalnya mencari ridlo Allah malah terjebak untuk mencari keuntungan duniawi. Para salik itu dijerat di dalam pengakuan nafsunya sendiri sehingga mereka menjadi sombong dan merasa benar sendiri. Itulah yang dimaksud dari sebuah ungkapan: “Siapa beramal tanpa guru maka gurunya setan”.

NGAJI HIKAM (Sumber Inayah) Menyambut Maulid Nabi Muhammad saw.


NGAJI HIKAM (Sumber Inayah)
Menyambut Maulid Nabi Besar Muhammad saw.

Asy-Syeikh Al-Imam Al-Arif Billah, Abi Fadil Tajuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah Al-Assakandary Radliyallaahu ‘Anhu berkata:

Allah mengetahui bahwa sesungguhnya seorang hamba sangat ingin mengetahui tetang kenyataan rahasia “Inayah”, maka Allah berfirman: “Allah menentukan rahmat-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya”. QS:3/74. dan Allah mengetahui apabila mereka dibiarkan begitu saja dengan apa yang sudah dipahami, mereka akan meninggalkan amal dan bergantung kepada kehendak azali, maka Allah berfirman: “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat dari orang-orang yang berbuat baik”. QS:7/56.

Merupakan tugas pokok seorang Kholifah Bumi adalah bagaimana fungsi hidupnya mampu menebarkan rahmat Allah Ta’ala di muka bumi. Dalam arti menyampaikan rahman – rahim Allah Ta’ala kepada bumi dan isinya melalui karakter pengabdian yang dijalani, memancarkan Nur Allah Ta’ala melalui sinar wajah yang sejuk cerminan hati yang suci dan bersih, membangun sendi-sendi kehidupan melalui amal bakti dan pengabdian hakiki, menyampaikan inayah Allah Ta’ala kepada yang berhak melalui inayah yang telah didapatkan, menyampaikan pertolongan Allah Ta’ala kepada yang berhak medapatkan melalui pertolongan yang telah diturunkan, bahkan mengirimkan inspirasi dan ilham kepada hati melalui inspirasi dan ilham yang sudah tersimpan dalam perbendaharaan diri pribadi, akhirnya mendatangkan hajat kebutuhan umat, baik yang lahir maupun batin dari perbendaharaan ghaib yang tersimpan di sisi-Nya melalui do’a dan munajat yang dipanjatkan setiap petang dan pagi. Untuk itulah Rasulullah Muhammad saw diutus di muka bumi, maka melalui pelaksanaan akhlakul karimah yang terpancarkan oleh prilaku Beliau, rahmat Allah Ta’ala menyebar keseluruh alam semesta.

Rasulullah Muhammad saw diutus di muka bumi ini bukan sekedar untuk membawa agama baru supaya agama lama hilang, namun dengan agama baru itu beliau telah mengemas kasih sayang. Hal itu dilakukan supaya kehidupan makhluk di muka bumi menjadi aman, makmur dan bahagia baik di dunia maupun di akhirat. Allah Ta’ala menegaskan dengan firman-Nya

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ – الأنبياء:21/107

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. QS:21107

Itulah rahasia fungsi kekholifahan khusus yang dikhususkan bagi baginda Nabi SAW. yakni melalui nubuwah dan risalah yang diemban, beliau telah menebarkan rahmat Allah Ta’ala kepada alam semesta.

Oleh karena manusia adalah sumber tenaga dan pengelola potensi kehidupan bumi, maka dengan agama yang dibawa, manusia terlebih dahulu harus menjadi baik, baik perangai maupun amal perbuatan, dengan itu supaya kehidupan secara keseluruhan menjadi baik pula, karena apabila manusia jelek maka kehidupan juga akan menjadi rusak. Allah Ta’ala menjelaskan dengan firman-Nya:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ – الرم:30/41

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). QS:30/41.

Supaya di muka bumi tidak terjadi kerusakan dan juga supaya manusia tidak menanggung akibat kerusakan tersebut, maka manusia terlebih dahulu harus dibuat menjadi baik, terutama hatinya, untuk itulah agama diturunkan dan seorang Nabi, baik sebagai pemimpin (qudwah) maupun sebagai panutan (uswah), diutus di tengah-tengah manusia. Apabila manusia hatinya telah menjadi baik maka seluruh angota tubuhnya akan menjadi baik yang selanjutnya kehidupan di muka bumi akan menjadi baik pula.

Sejak terutusnya baginda Nabi saw. sampai sekarang sejarah telah membuktikan, dari tanah tandus dan gersang telah menyebar kemakmuran ke segenap pelosok dunia, baik kemakmuran aspek jasmani maupun ruhani. Bahkan kehidupan manusia di seluruh belahan bumi ini, secara lahir hampir-hampir ditopang oleh hasil bumi yang dikeluarkan dari tempat dimana saat itu baginda Nabi saw menjalankan aktifitas hidup dan pengabdian. Itulah sunnah yang ada, bahwa keberkahan Allah Ta’ala yang tersimpan di dalam perbendaharan ghaib telah mampu tergali dan dipancarkan kepada alam lahir melalui rahasia keberkahan hati dan akhlakul karimah yang agung.

Hanya Rasulullah Muhammad saw. yang mampu melakukan karena baginda Nabi saw. adalah seorang kholifah bumi sepanjang zaman. Beliau tidak diutus hanya untuk suku bangsanya sendiri sebagaimana para rasul dan para Nabi terdahulu, melainkan untuk manusia secara keseluruhan. Oleh karenanya, bahkan sebelum kelahirannya, Baginda Nabi saw. telah dijadikan wasilah di dalam do’a-do’a yang dipanjatkan oleh orang-orang yang menunggu kedatangannya, walau ketika beliau telah berada di tengah-tengah mereka, sebagian besar orang yang menunggu itu malah mengingkari kenabian yang diemban, bahkan sampai sekarang. Karena hanya sedikit orang yang benar-benar mengenali fungsi kekholifahan itu, maka jarang orang yang mampu memanfaatkan untuk kepentingan hidupnya sendiri.

Kebesaran dan kekhususan Anugerah tersebut tergambar dari pernyataan Allah Ta’ala, bahwa Allah SWT. telah mencurahkan rahmat dan keselamatan kepada beliau dan kemudian para malaikat-Nya, selanjutnya orang-orang beriman diperintah untuk menggapai Anugera Agung itu melalui membaca sholawat kepada Baginda Nabi. Allah SWT. berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا – الأحزاب:33/56

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. QS:33/56.

Adakah Amugerah yang lebih besar dari itu, satu-satunya pernyataan Rabbul Alamin yang tidak pernah diberikan kepada siapapun selain Beliau , bahkan sekalipun kepada para Malaikat. Rasululllah Muhammad saw. adalah satu-satunya manusia yang terpilih untuk menyebarkan rahmat-Nya secara universal kepada alam semesta ini, bahkan bukan di alam dunia saja, tetapi juga di akhirat nanti, hanya baginda Nabi satu-satunya manusia yang mendapatkan hak memberikan syafaat kepada umat manusia secara keseluruhan. Syafaat Nabi inilah merupakan rahmat Allah Ta’ala terbesar dan terakhir setelah hari kiyamat sebelum masing-masing ahlinya ditempatkan di neraka atau di surga.

Dengan syafa’at di tangan baginda Nabi saw. akan menyelamatkan banyak orang dari siksa neraka jahanam di hari kiyamat nanti. Rasulullah saw. telah menegaskan hal tersebut dengan sabdanya:

حَدِيثُ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي كَانَ كُلُّ نَبِيٍّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى كُلِّ أَحْمَرَ وَأَسْوَدَ وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ وَلَمْ تُحَلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ طَيِّبَةً طَهُورًا وَمَسْجِدًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ صَلَّى حَيْثُ كَانَ وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ بَيْنَ يَدَيْ مَسِيرَةِ شَهْرٍ وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah al-Anshari r.a berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: Aku diberi lima perkara yang tidak pernah diberikan kepada seorang Nabi sebelumku. Semua Nabi sebelumku hanya diutus khusus kepada kaumnya saja, sedangkan aku diutus kepada manusia yang berkulit merah dan hitam yaitu seluruh manusia. Dihalalkan untukku harta rampasan perang, sedangkan tidak pernah dihalalkan kepada seorang Nabipun sebelumku. Disediakan untukku bumi yang subur lagi suci sebagai tempat untuk sujud yaitu sembahyang. Maka barang siapa apabila tiba waktu sembahyang walau dimanapun dia berada hendaklah dia mengerjakan sembahyang. Aku juga diberikan pertolongan dapat membuat musuh merasa takut dari jarak perjalanan selama satu bulan. Aku juga diberikan hak untuk memberi syafaat.

• Riwayat Bukhari di dalam Kitab Tayamum hadits nomor 419 – Lima Solat Fardu hadits nomor 2890.
• Riwayat Muslim di dalam Kitab Masjid Dan Tempat Solat hadits nomor 810.
• Riwayat Nasa’i di dalam Kitab Mandi Dan Tayamum hadist nomor 429 – Masjid 718.
• Riwayat Ahmad Ibnu Hambal di dalam Kitab Juzuk 3 Muka Surat 304.
• Riwayat Ad-Darimi di dalam Kitab Sholat hadits nomor 1353.

Bahkan di tengah-tengah umat yang ingkar, keberadaan beliau semasa hidupnya mampu menjadi sebab tertahannya siksa Allah Ta’ala yang semestinya harus diturunkan kepada orang yang berbuat dosa. Demikian yang dinyatakan di dalam hadits Nabi saw.:

حَدِيثُ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ أَبُو جَهْلٍ اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ هَذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِنَ السَّمَاءِ أَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ فَنَزَلَتْ ( وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ وَمَا لَهُمْ أَلَّا يُعَذِّبَهُمُ اللَّهُ وَهُمْ يَصُدُّونَ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ) إِلَى آخِرِ الْآيَةِ *

Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a berkata: Abu Jahal berdoa: Wahai tuhanku sekiranya al-Quran ini benar datang dari sisi-Mu, maka turunkanlah hujan batu dari langit atau timpakan kepada kami siksaan yang pedih. Lalu turunlah ayat

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيْهِمْ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ وَمَا لَهُمْ أَلَّا يُعَذِّبَهُمُ اللَّهُ وَهُمْ يَصُدُّونَ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَام

Yang artinya: Dan Allah tidak sekali-kali akan menyiksa mereka, sedangkan engkau wahai Muhammad ada di antara mereka dan mengapa mereka tidak patut disiksa oleh Allah sedangkan mereka menghalang-halangi orang-orang Islam dari Masjidil Haram. hingga akhir ayat.

• Riwayat Bukhari di dalam Kitab Tafsir Al-Qur’an hadits nomor 4281.
• Riwayat Muslim di dalam Kitab Suasana Hari Kiyamat, Surga Dan Neraka hadits nomor 5004.

Hanya malalui gengaman tangan suci Syafi’ina Muhammad Rasulullah saw. “Rahmat Nubuwah” itu dari sumber rahasia yang azali dilimpahkan ke alam semesta sebagai “Rahmat Lil ‘Alamin”. Selanjutnya rahmat utama itu disebarkan dan memasuki setiap lini kehidupan umat manusia di berbagai pelosok belahan bumi melalui uluran tangan Ulama-ulama pewaris dan penerus perjuangan. Mereka itu sebagai kholifah bumi zamannya yang sekaligus adalah Ahli Bait Beliau saw,. Para Ahli Baitinnabi ra. tersebut telah meneruskan tongkat estafet perjuangan para pendahulunya, menyampaikan “rahmat nubuwah” yang diterima dari tangan sang datuk menjadi “rahmat walayah” di tangan mereka untuk disampaikan kepada umat sebagai “inayah” dari Allah Ta’ala, hal itu dimaksudkan supaya masing-masing hati yang selamat menerima Nur Tauhid Dan Nur Iman serta hidayah dari-Nya.

Tidak henti-hentinya mutiara zaman itu bepergian dari satu tempat ketempat lain, sambil berdagang menyeru manusia kepada jalan Allah Ta’ala, baik melalui dakwah maupun dzikir, baik melalui perjuangan maupun do’a-do’a, silih berganti sambung menyambung sampai saat hari kiyamat datang nanti. Dengan upaya seperti itu menyebabkan banyak orang hatinya menjadi simpatik dan memeluk agama islam. Bahkan sebagian dari mereka ada yang dijadikan menantu oleh raja-raja setempat yang akhirnya berdirilah kerajaan islam disana-sini, sejarah telah membuktikannya. Bahwa di tanah jawa yang dahulu penduduknya bukan penganut agama islam, berkat kegigihan perjuangan dan kekuasaan serta akhlakul karimah yang mereka pancarkan – dari sembilan Wali Songo delapannya adalah dzurriyatur rasul ra. – bersama-sama penduduk negeri sebagai pembela dan pengikut yang setia, dengan inayah Allah Ta’ala yang ada di tangan, mereka berhasil memberantas sarang-sarang kemusyrikan dan kezaliman, sarang-sarang kemungkaran dan kemunafikan serta menancapkan sendi-sendi tauhid dan islam dengan penuh rahmatan lil ‘alamin sehingga mayoritas penduduk tanah jawa itu menjadi muslimin yang penuh persaudaraan dan kedamaian, bahkan sampai sekarang, alhamdulillah, masih di tangan mereka pula panji-panji islam semakin hari semakin menancap di dalam hati mayoritas penduduknya.

Sejak dahulu sampai sekarang, dimanapun mereka berada, para ahli bait Nabi itu tidak henti-hentinya mengajak manusia di jalan Allah Ta’ala, ada yang melalui dakwah dan tulisan-tulisan, ada yang melaui dzikir dan mujahadah, ada yang melalui dzikir maulid dan dzikir manaqibnya. Sebagaimana yang telah dilakukan Sang Datuk dahulu, semuanya itu hanyalah dijadikan sarana bagaimana supaya manusia berbondong-bondong mendatangi panggilan Tuhannya. Maka dimana-mana, diseluruh pelosok dunia, asal mereka berada, manusia yang selamat hatinya berbondong-bondong mengerumuni mereka. Mengulurkan tangan menyambut uluran tangan mereka, mengharapkan dan mencari syafa’at dan keberkahan Allah Ta’ala yang sudah dilimpahkan kepada mereka, menggapai rahmat khusus yang diberikan secara khusus oleh Allah Ta’ala kepada mereka.

Asy-Syekh Ibnu Athoillah ra. berkata: [Allah mengetahui bahwa sesungguhnya seorang hamba sangat ingin mengetahui tentang kenyataan rahasia “Inayah”, maka Allah berfirman: “Allah menentukan rahmat-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya”. QS:3/74.]

Barang siapa ingin mengetahui tentang kenyataan rahasia “Inayah” atau rahmat Allah Ta’ala yang paling utama itu, maka demikianlah sunnah telah terjadi, tidak peduli, baik orang-orang kafir dan orang yang benci mengakui atau tidak, realita tidak memperdulikan lagi dengan mereka, karena sejarah telah membuktikan terhadap apa yang telah dinyatakan Allah Ta’ala dengan firman-Nya:

يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ – ال عمران:3/74

Allah menentukan rahmat-Nya (kenabian) kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah mempunyai karunia yang besar. QS:3/74.

Allah SWT. Tuhan Semesta Alam Yang Maha Pengampun Lagi Maha Pemurah dan Yang Mempunyai Karunia yang Besar, sejak zaman azali telah menghendaki dan menentukan, bahwa “Rahmat Utama” itu telah dianugerahkan secara khusus hanya kepada Junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw. Nabi akhir zaman yang sekaligus sebagai penutup para Nabi, sebagai “Rahmatan Lil ‘Alamin”, untuk supaya disampaikan kepada seluruh makhluk di seluruh alam semesta. Maka sejak itu sampai hari kiyamat dan bahkan di hari akhirat nanti, manusia mendatanginya dengan berbondong-bondong dari segala penjuru belahan bumi, mengulurkan tangan untuk menggapai limpahan rahmat dan syafaat dari Baginda Nabi saw. bagaikan laron-laron mengerumuni lampu di kegelapan malam untuk mencari jalan kehidupan.

Dengan itu Allah Ta’ala menentukan bahwa ketaatan kepada Rasul saw berarti pula ketaatan kepada Allah SWT., artinya hanya dengan mengikuti baginda Nabi saw. di jalan yang sudah ditempuhnya, disitulah letak jalan kepada Allah yang sebenarnya yaitu: ”Jalan yang lurus, – jalan yang telah ditempuh oleh orang-orang yang telah Allah anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang tersesat”. Allah SWT. telah menegaskan dengan firman-Nya:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا – النساء:4/80

Barangsiapa yang menta`ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta`ati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta`atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. QS:4/80.

Kalau ada orang belum pernah mengetahui, sehingga tidak mengenali “jalan lurus” yang telah siapkan Allah Ta’ala di balik rahasia ayat di atas, maka sejak sekarang hendaknya mencurahkan segala perhatian dengan bersungguh-sungguh, dengan mengadakan penelitian dan latihan yang mendalam, supaya sejak sekarang juga dapat menemukan dan mengenali “jalan lurus” itu yang selanjutnya dapat menempuhnya dengan benar. Jika tidak, sehingga selama hidupnya tidak dapat mengenali “jalan lurus” itu, dan apabila ketidaktahuan itu kemudian terlanjur dibawa keliang kubur, maka mereka tinggal menunggu apa yang akan terjadi disana, karena Allah Ta’ala telah memberikan peringatan dengan firman-Nya:

يَوْمَ نَدْعُوا كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَأُولَئِكَ يَقْرَءُونَ كِتَابَهُمْ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا(71)وَمَنْ كَانَ فِي هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الْآخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلًا – الإسراء:17/72

(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun. – Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar). QS17/71-72.

Oleh karena selama hidup di dunia orang beriman telah mengikuti seorang pemimpin yang dapat membimbing jalan ibadah, maka di akhirat nanti mereka kembali akan dihidupkan bersama-sama dengan pemimpin tersebut. Akan tetapi, oleh karena sebagian besar manusia tidak pernah mengenali “jalan lurus” tersebut, mereka hanya melihat dengan mata lahir sedang mata batinnya buta, hanya mengelola kehidupan duniawi yang sementara dengan melupakan kehidupan ukhrowi yang selama-lamanya, maka di akhirat nanti mata itu akan menjadi lebih buta lagi dan mereka akan lebih tersesat dari jalan yang sebenarnya.

Dari “Rahmat Utama” yang ada di tangan “Manusia Utama” itu, kemudian terbentuklah jaringan persaudaraan antara sesama manusia dengan tulus dan ikhlas, saling mencintai semata-mata hanya karena Allah Ta’ala dan ukhuwah itu telah mengakar kuat dari porosnya, yang sekarang cabang dan rantingnya telah menyebar sampai kepada pelosok belahan bumi yang terpencil sekalipun. Itulah Ukhuwah Islamiyah, semenjak panji-panji pertama telah dikibarkan dengan jerih payah dan bahkan dengan bersimbah darah oleh para tokoh utamanya di bawah pimpinan langsung seorang Manusia yang paling utama (Rasul saw.), sampai sekarang dan bahkan selama-lamanya, panji-panji itu akan tetap berkibar, bahkan gaungnya semakin besar. Terbukti dengan semakin besarnya minat anggotanya untuk menenggak kesejukan minuman yang disajikan oleh ukhuwah itu lewat ibadah haji di Haramain (Makah Madinah) Meski sejak dahulu sampai sekarang, disana sini keutuhan ukhuwah itu masih saja menghadapi tantangan dan halangan yang tidak ringan dari orang-orang yang hatinya tidak senang, baik dari kalangan yang tidak percaya atau orang kafir maupun orang yang pura-pura percaya padahal sesungguhnya tidak percaya yaitu orang munafik.

Asy-Syekh Ibnu Athaillah ra. meneruskan dan berkata: [dan Allah mengetahui apabila mereka dibiarkan begitu saja dengan apa yang sudah dipahami, mereka akan meninggalkan amal dan bergantung kepada kehendak azali, maka Allah berfirman: “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat dari orang-orang yang berbuat baik”. QS:7/56].

Kalau manusia dibiarkan dengan paham azaliyah, bahwa khoirihi wa syarrihi minallah, (baiknya dan jeleknya dari Allah) maka mereka cenderung berbuat malas dan meninggalkan usaha, hanya menggantungkan diri kepada kehendak Allah yang azali, dan bahkan kadang-kadang dengan berdalih tawakkal kepada Allah Ta’ala sebagai alasan untuk meninggalkan ikhtiar padahal sesungguhnya pelampiasan malas dan putus asa. Akibatnya, bisa-bisa kehidupan di muka bumi ini menjadi lumpuh, karena masing-masing manusia tidak mempunyai inisiatif untuk bekerja dan berusaha, hanya menunggu apa-apa yang bisa didatangkan dari langit, maka Allah Ta’ala telah membuka salah satu pintu lagi terhadap apa yang ada di balik rahasia qada’ dan qadar-Nya dengan firman-Nya:

وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ – الأعراف:7/56

Dan berdo`alah kepada-Nya dengan rasa takut dan harap. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat dari orang-orang yang berbuat baik. QS:7/56.

Orang-orang beriman tidak sekedar diperintah untuk berdo’a saja, akan tetapi maksudnya, do’a-do’a yang dipanjatkan itu harus mampu dijadikan dasar pijakan hati bagi apa yang dicari dan diusahakan secara lahir serta mengharapkan datangnya petunjuk dan hidayah sebagai isyarat atau ilham dari Allah Ta’ala yang selanjutnya supaya dapat ditindaklanjuti dengan usaha, maka dengan inayah Allah Ta’ala usaha seorang hamba akan mengarah kepada sasaran yang diharapkan, yaitu anugerah-anugerah yang sudah disiapkan baginya sejak azali.

Kemudian ditegaskan pula bahwa sesungguhnya rahmat Allah Ta’ala amat dekat dari orang-orang yang berbuat baik (al-Muhsinin), yaitu orang yang selalu berdo’a kepada Allah Ta’ala dengan rasa takut dan harap, baik dengan sendirian maupun berjama’ah, baik di rumah maupun di majlis-majlis dzikir dan mujahadah yang diadakan. Maka disitulah letak sasaran yang diharapkan itu, karena dari tempat seperti itu sumber rahmat akan terus-menerus memancar hingga usaha seorang hamba mendapatkan hidayah dan kemudahan-kemudahan dari Allah Ta’ala berkat do’a-do’a mereka. Karena keberadaan mereka (al-Muhsinin) di suatu tempat, seakan-akan memang telah ditetapkan menjadi sumber kehidupan dan keberkahan dari Allah Ta’ala bagi daerah sekelilingnya.

Dari do’a-do’a yang setiap pagi dan petang mereka panjatkan sebagai bentuk keprihatinan hati kepada ummat, akan menjadi sebab tersampaikannya rahmat Allah Ta’ala kepada orang-orang yang dido’akan, yang demikian itu kemudian menjadikan sebab terbentangnya keberkahan bagi daerah sekitarnya. Demikianlah yang terjadi, dimana-mana, di tempat yang mereka tinggali, yang asalnya sepi dan mati, ketika manusia sudah mengetahui keberadaan para Mutiara Zaman itu beserta kelebihan-kelebihan yang ada di tangan mereka, maka daerah itu kemudian menjadi hidup dan bergairah, orang-orang berdatangan dari segala penjuru negeri untuk mengambil berkah dari mereka, mencari obat kesembuhan bagi penyakit-penyaki yang diderita, baik penyakit lahir maupun penyakit batin, baik penyakit ruhani maupun penyakit ekonomi.

Itulah kenyataan yang terjadi sejak dahulu sampai sekarang, bahkan sampai dengan saat-saat Mutiara Zaman itu paripurna tugas dan meninggalkan kehidupan dunia ini untuk menerima balasan dari Tuhannya dari amal dan pengabdian yang telah mereka lakukan. Oleh karena setiap saat banyak orang berziarah ke makam Mutiara Zaman itu, maka ekonomi di daerah itu menjadi bangkit dan hidup bahkan mampu memakmurkan daerah sekitarnya. Demikianlah kenyataan kasat mata yang tidak bisa dipungkiri – bahwa keberkahan Allah Ta’ala telah mampu menghidupi orang hidup melalui kehidupan orang mati – meski masih banyak orang yang mengingkari jasa-jasa mereka. Bahkan mensyirikkan orang yang berziarah ke makam mereka.

Apa benar orang yang berziarah ka makam Waliyullah itu hukumnya syirik ..?? Jika tujuan orang-orang yang berziarah ke makam para Waliyullah itu sekedar minta kepada kuburan……! berdoa kepada batu mati yang menancap di atas sesonggok tanah kering….?, siapa yang tidak mengerti bahwa perbuatan tersebut hukumnya syirik. Kalau memang benar bahwa orang yang berziarah kekuburan para waliyullah itu syirik..?, sekarang ada pertanyaan; “sekiranya yang ditanam di bawah tanah kering yang ditancapi batu nisan itu jasad kita, maukah orang-orang yang berbuat syirik itu menziarai kuburan kita…?”, kalau ternyata tidak mau, apa bedanya jasad kita dengan jasad para waliyullah itu…? Ada apa di dalam jasad kita dan ada apa pula di dalam jasad mereka, padahal sama-sama jasad yang sudah mati….?. mengapa jasad para Wali itu dapat menarik hati orang banyak hingga datang dari tempat yang jauh sekedar ziarah atau tabarrukan sedang kepada jasad kita tidak…?

Barangkali ada sudut pandang yang berbeda sehingga hati yang mulia telah menjadi salah sangka. Kalau orang bertanya : “Mengapa orang banyak itu jauh-jauh dengan bersusah payah mau datang kekuburan orang yang sudah mati…?”. Maka jawabannya gampang, karena mereka itu adalah orang-orang bodoh hingga mampu berbuat yang tidak masuk akal, masak orang mati kok kuburannya didatangi dari jauh-jauh. Akan tetapi coba pertanyaannya agak dirubah sedikit: “Ada apa kiranya di kuburan orang itu…?, mengapa setiap hari orang-orang dari tempat yang jauh itu DIDATANGKAN oleh Allah Ta’ala untuk berziarah kesana…? mengapa tidak didatangkan ke kuburan kita….?. Maka jawabannya agak sulit karena membutuhkan ilmu yang luas dan penelitian yang mendalam kecuali bagi orang-orang yang hatinya ada Inayah dari Allah Ta’ala sehingga nur imannya mampu menyinari ilmu yang ada di bilik akalnya.

Bukankah semua orang tahu bahwa apa saja yang terjadi, pasti terjadi atas takdir Allah Ta’ala, sekarang pertanyaannya begeni; mengapa orang banyak itu setiap hari dari jauh-jauh DITAKDIRKAN Allah Ta’ala datang berziarah di kuburan para Waliyullah itu dan tidak ditakdirkan datang ke kuburan kita..? ada rahasia apa di balik itu…?. Kalau semacam ini pertanyaan yang dilontarkan, barangkali siapapun dapat menemukan jawabannya asal hatinya selamat dari penyakit hati yang dapat mematikan iman, kalau tidak, berarti hati kita perlu diteliti kembali, barangkali di dalamnya tercemar oleh penyakit-penyakit yang dimasukkan oleh syaitan jin yang gentayangan.

Maka jawabannya seperti ini: Itulah buah ibadah, para waliyullah itu sekarang sudah waktunya menuai bibit yang dahulu mereka tanam, yaitu kasih sayang kepada umat yang dikemas di balik perjuangan dan do’a-do’a. Karena keprihatinan hati kepada keselamatan orang lain yang notabene bukan apa-apanya telah membuahkan hasil, maka sekarang mereka telah menuai hasilnya itu, yakni didoakan kembali oleh manusia-manusia yang berterima kasih atas jasa-jasa mereka, didatangi dan dido’akan oleh orang-orang yang bersyukur atas kenikmatan iman di dalam hati hasil jerih payah yang dahulu telah mereka kerjakan, itu terjadi sebagai dzikir balik dari Allah Ta’ala kepada para Kekasih itu karena mereka dahulu telah berdzikir kepada Allah Ta’ala melalui keperihatinan hati kepada umat manusia sepanjang hidupnya. Hal tersebut merupakan bentuk pelaksanaan janji Allah Ta’ala yang tidak akan pernah dipunggkiri, bahwa Allah telah berfirman yang artinya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) –Ku”. QS: al-Baqoroh 2/152.

Oleh karenanya, jika kita ingin mendapat kegembiraan seperti itu, yakni di saat keluarga kita saja terkadang melupakan jasad mati kita, orang lain didatangkan Allah Ta’ala untuk memberikan kegembiraan – maka sejak sekarang kita harus menggembirakan hati orang lain, supaya kelak ketika hati kita sedang sepi di dalam penantian yang panjang di alam kubur, Allah Ta’ala menghibur dengan datangnya orang lain menziarahi kuburan kita.

Ketika kejelekan-kejelekan karakter duniawi sudah tidak sempat lagi membekas di hati, ketika fitnah-fitnah kehidupan yang semestinya membakar telinga malah menyejukkan perasaan, itulah ciri hati orang-orang yang suka berbuat ihsan (al-Muhsinin), karena yang terlihat oleh matahati dari realita yang dihadapi hanyalah Allah Ta’ala dengan segala qada’ dan qadar-Nya, hanya irodah dan takdir-Nya, yaitu kehendak-Nya yang azaliyah untuk mentarbiyah seorang hamba yang dicintai. Dada mereka bagaikan hamparan bumi, apa saja boleh masuk, boleh kotoran boleh penyakit, akan tetapi yang keluar darinya hanyalah kebaikan dan obat belaka. Layaknya seperti seorang dokter, sungguhpun setiap saat mereka harus bergulat dengan penyakit dan orang sakit, tapi dokter yang sejati itu selamanya tidak akan tertular penyakit.

Keberadaan seorang “Muhsinin” yang sejati itu dimana-mana akan menjadi bagai tambang kebaikan, karena setiap tarikan nafas serta detak jantungnya hanya dimuati pengabdian, menyelesaikan permasalahan umat hingga kadang-kadang melupakan urusan pribadi. Kebanyakan orang datang kepadanya hanya untuk sekedar mengadu dan mencari solusi, bahkan tidak peduli walau orang baik itu sendiri sedang bersedih. Memakin banyak orang yang mengenal, semakin banyak pula masalah yang harus dihadapi, sehingga akibatnya, semakin lama dada orang yang “muhsinun” itu menjadi bagaikan bak sampah, karena hanya dipenuhi kesusahan dan kesedihan orang-orang yang mengelilingi. Itulah dokter-dokter ummat sejati, dengan amanat yang ada di pundak, mendorongnya untuk menghidupkan dzikir dan mujahadah malam. Ketika do’a-do’a yang ikhlas itu mendapatkan ijabah, maka jadilah sebagai sebab Allah Ta’ala membukakan pintu rahmat-Nya kepada umat. Bahkan dari sebab linangan air mata yang meleleh di pipi karena menangisi kesedihan umat, kadang-kadang menjadikan sebab Allah Ta’ala menurunkan air hujan di daerah yang ditangisi itu, bahkan konon, apabila di Baitullah Makkah al-Mukarromah, selama tujuh hari saja mereka absen tidak melakukan thowaf, berarti hari kiyamat segera akan datang.

Sebagian mereka bagaikan pelita-pelita bumi, walau di siang hari keberadaannya tidak tampak karena kesibukan lahir untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, akan tetapi di malam hari, bersama gemerlap bintang di langit sanggup menjadi penerang jalan bagi sang musafir yang sedang bersedih hati. Maka, wahai laron-laron liar yang ingin mencari penerang jalan, Anda jangan mengingkari keutamaan Allah yang telah diberikan kepada para Wali itu, terlebih dengan menyirikkan sesama saudara beriman yang menziarahi makam mereka, bersegeralah bertaubat dan mendekat kesana, mencari dimana mereka menyembunyikan mutiara azaliyah itu, supaya sang laron yang nakal dan tidak tahu diri itu dapat menemukan hidayah Allah Ta’ala. Maka sungguh benar Allah dengan firman-Nya: “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat dari orang-orang yang berbuat baik”. QS:7/56.

BARU TERBIT, Percikan Samudera Hikmah:

Syarah Kitab Hikam

Percikan Samudera Hikmah : Syarah Kitab al-Hikam

Penulis: Muhammad Luthfi Ghozali

:: Pengasuh Ponpes Al-Fithrah, Gunungpati ::

Penerbit: Siraja, 2011

Kitab al-Hikam karya Syekh Ibn Atthaillah al-Iskandari, Mursyid besar generasi ketiga dalam Tarekat Syadziliyyah, menempati kedudukan khusus dan istimewa dalam tradisi Tasawuf secara umum. Pengaruhnya tak diragukan lagi; membentang ke hampir semua wilayah Islam yang ada di muka bumi. Bahkan bisa dikatakan, kitab al-Hikam menjadi sumber utama untuk memahami perspektif ajaran Tasawuf dalam tradisi Syadziliyyah pada khususnya, dan sekaligus untuk memahami tema universal dalam psikologi-ruhani-mistis di dalam kerangka ajaran Tasawuf pada umumnya, sehingga ia juga dibaca dan diepelajari oleh para sufi dan ahli tarekat di luar Syadziliyyah.

Telah banyak syarah (penjelasan) atas al-Hikam yang ditulis oleh sufi-sufi generasi selanjutnya, seperti seperti Abdullah As-Syarqawi (Syarh al-Hikam), Abdul Majid as-Syarnubi (Syarh al-Hikam), Syekh Ahmad Zarruq (al-Futuhat ar-Rahmaniyyah dan Miftah al-Fadhail), Ibn Abbad ar-Rundi (Syarh al-Hikam) dan Ibn Ajibah (Iqazh al-Himam). Syarah ini dipakai sebagai sumber sekunder untuk mengajarkan kitab al-Hikam di berbagai zawiyah tarekat di seluruh dunia, termasuk pula di kalangan pesantren di Indonesia.

Buku ini adalah salah satu dari sedikit syarah al-Hikam yang lahir dari penulis asli Indonesia – dan karenanya syarah ini memiliki posisi yang unik. Ada beberapa alasan. Pertama, setiap karya keruhanian, selain memuat tema yang universal, juga mengandung elemen “lokal,” yakni setidaknya dipengaruhi oleh faktor kapabilitas penulisnya (daya nalar, maqam spiritual, kemampuan bahasa, dan sebagainya), oleh faktor ruang (lingkungan yang membentuk penulisnya), dan waktu (zaman di mana sebuah karya ditulis). Karena itu, karya semacam ini mampu membawa pembaca yang hidup dalam tata-situsi ruang dan waktu yang relatif sama untuk memahami suatu dunia yang lain, sebuah dunia ruhani, yang sumbernya berasal dari tata-situasi yang berbeda dalam hal bahasa, jarak dan waktu. Karya semacam ini bisa menyentuh unsur humanitas esensial pembaca dengan cara membangkitkan kebutuhan dan aspirasi bersama, karena ditulis dalam konteks yang relatif familiar dari segi bahasa, budaya dan waktu. Kedua, syarah ini ditulis bukan hanya berdasarkan analisis intelektual belaka; tetapi, ia juga ditulis berdasarkan pengalaman ruhani penulis, dan berdasarkan interaksi “esoteris” penulis dengan setiap elemen lahir dan batin yang dikandung dalam kitab al-Hikam.

Kyai M. Luthfi Ghozali, sebagai imam khususi dalam Tarekat Qadiriyyah-Naqsybandiyyah al-Utsmaniyyah, telah melakukan semacam olah-ruhani sebelum dan selama menulis syarah ini. Karenanya, ada unsur “kesinambungan ruhaniah” dalam syarah ini dengan kitab aslinya (dan, boleh jadi, dengan penulisnya); hal ini pada gilirannya menyebabkan syarah ini memiliki nilai lebih dan otoritatif.

Untuk lebih memahami dan mengapresiasi karya spiritual klasik ini, ada baiknya kita tengok dulu situasi historis yang melingkupi penulis al-Hikam dan tradisi tasawuf pada zamannya – tata-situasi dan pribadi macam apa yang melahirkan seorang tokoh tasawuf dan karya yang dirawat dan berpengaruh besar dalam dunia Islam selama berabad-abad?

Dalam tasawuf ada ungkapan yang memiliki makna berlapis: “sufi adalah putra waktu.” Maka, zaman seperti apakah yang telah membentuk karakter luar biasa seperti yang dicontohkan oleh Syekh Ibn Atthaillah dan banyak sufi agung lainnya? Dunia Tasawuf pada saat itu mengalami apa yang bisa dikatakan sebagai kristalisasi ajaran, yang salah satu ekspresinya adalah lahirnya tarekat dan penulisan risalah-risalah penting tentang ajaran Tasawuf. Tetapi di sini kami hanya akan membatasi diri pada tradisi yang relevan dengan Syekh Atthaillah, yakni tasawuf maghribi pada umumnya, dan tradisi Tarekat Syadziliyyah pada khususnya.

Tarekat Syadziliyyah, yang didirikan oleh Syekh Abu Hasan al-Syadzili, berakar dalam tradisi tasawuf maghribi. Kecenderungan utama Tasawuf Maghribi sangat dipengaruhi oleh seorang sufi besar, seorang yang diyakini telah menempati maqam Qutb a;-Awliya, Syekh Abu Madyan dari Tilimsani. Syekh Abu Madyan ini menguasai kandungan kitab Tasawuf penting, semisal ar-Risalahkarya Abu Al-Qasim Al-Qusyairi dan Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali.. Syekh Abu Madyan juga berteman dan berguru kepada Syekh Ahmad Rifa’i, seorang Wali Qutub pendiri Tarekat Rifa’iyyah di Irak. Selain itu Syekh Abu Madyan juga menerima khirqah (jubah kesufian) dari Sulthan al-Awliya Syekh Abdul Qadir Al-Jilani. Syekh Abu Madyan ini hidup sezaman dengan sufi agung lainnya dari kawasan Andalusia (Spanyol), Syekh Akbar Ibn ‘Arabi, sufi masyhur sekaligus kontroversial karena dianggap sebagai tokoh penting dalam penyebaran ajaran wahdat al-wujud. Salah satu murid Syekh Abu Madyan yang juga dianggap sampai ke posisi Qutub adalah Syekh Abdus Salam ibn Masyisy. Beliau ini mengabdikan diri untuk berdakwah. Keinginannya adalah menjaga kemurnian ajaran Islam di tengah-tengah suku Berber yang gemar pada praktik perdukunan dan sihir. Belakangan beliau kemudian mengundurkan diri di puncak gunung yang bernama Jabal ‘Alam, yang berada di kawasan Habt di Maghribi. Di sinilah kelak beliau bertemu dengan murid utamanya, yang juga penerus spiritualnya yang masyhur, Syekh Abu Hasan al-Syadzili.

Seperti yang sering terjadi di lembaga apapun, pendiri Syadziliyyah mewariskan “ruh”, bukan kerangka “bangunan”. Beliau menyerahkan pengembangan kerangkanya kepada para pewarisnya. Murid pertama yang mengemban amanah penting ini adalah Syekh Abu Abbas al-Mursi. Syekh Abbas al-Mursi inilah orang pertama yang membangun zawiyah khusus di sekitar masjid Aleksandria, Mesir. Salah satu murid yang berhasil menangkap “ruh” ajaran Syekh Abu Hasan Syadzili melalui Syekh Abbas al-Mursi adalah Syekh Ibn Atthaillah, melalui karyanya yang paling terkenal, Kitab al-Hikam. Berkat popularitas al-Hikam ini, tarekat Syadziliyyah bisa diterima kembali di kawasan Afrika Utara, tempat di mana tarekat ini pernah disingkirkan dari sana.

Nama lengkapnya Syekh Ibn Atthaillah adalah Syekh Ahmad ibn Abi Bakr Muhammad ibn Abi Muhammad Abdul Karim ibn Abdur Rahman ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Isa ibn al-Husain ibn Athaillah al-Iskandari. Diperkirakan beliau lahir sekitar tahun 650 H. Sejak kecil beliau telah dipersiapkan untuk menjadi ahli fiqh mazhab Maliki. Beliau berguru kepada ulama-ulama yang terbaik di bidangnya, seperti bidang tata bahasa, hadits, tafsir, ilmu kalam dan fiqh. Kakeknya cenderung kurang menyukai ajaran Sufi dan bahkan memusuhi Syekh Abu Abbas al-Mursi, guru besar generasi kedua dalam Tarekat Syadziliyyah. Bahkan Syekh Athaillah sendiri pada mulanya berseberangan dengan Syekh Abbas al-Mursi. Pada masa mudanya Syekh Ibn Athaillah sudah terkenal sebagai faqih mazhab Maliki yang mumpuni. Beliau pernah beradu argumentasi dengan beberapa murid Syekh Abu Abbas al-Mursi.

Namun akhirnya beliau menemui langsung Syekh Abu Abbas al-Mursi untuk membahas beberapa masalah agama. Pertemuan ini menjadi saat yang menentukan dalam hidupnya. Beliau akhirnya justru menjadi murid Syekh Abu Abbas al-Mursi dan menjadi salah satu murid kesayangannya. Bahkan Syekh Abu Abbas al-Mursi sudah meramalkan bahwa Syekh Ibn Athaillah tidak akan meninggal sebelum menjadi dai yang menyeru ke Jalan Allah. Dan perkiraannya itu terbukti. Di Kairo, Syekh Ibn Athaillah menghabiskan sisa hidupnya sebagai Guru Sufi sekaligus faqih bermazhab Maliki yang termasyhur. Selain menjadi Mursyid Tarekat Syadiziliyyah, Syekh Ibn Athaillah juga menjadi juru dakwah dan mengajar di berbagai madrasah dan institusi besar seperti Al-Azhar. Pada masa-masa ini pula Syekh Athaillah dikenal juga membela ajaran Sufi dari serangan Ibn Taimiyyah. Syekh Ibn Athaillah sendiri sempat bertemu dengan Ibn Taimiyyah dan melakukan dialog. Namun dialog ini tidak menimbulkan perdebatan sengit lebih lanjut dan diakhiri dengan sikap saling menghormati. Syekh Ibn Athaillah meninggal pada bulan Jumadilakhir tahun 709 H/1309 M. Makamnya di al-Qarrafah al-Kubra hingga kini terkenal sebagai makam keramat dan diziarahi oleh banyak orang Islam.

Syekh Atthaillah mewariskan beberapa karya. Kitab al-Hikam adalah kitab yang meski sangat populer namun menurut menurut keterangan Syekh Zarruq, kitab ini tidak ditulis sendiri oleh Syekh Ibn Athaillah, namun didiktekan kepada muridnya yang bernama Syekh Taqiyyuddin as-Subki, seorang ahli fiqh dan kalam yang terkenal akan ketelitian dan kejujurannya. Kitab karyanya yang lain adalah Miftah al-Falah wa Mishbah al-Arwah, yang berisi penjelasan tentang metode zikir. Di dalamnya beliau memaparkan beberapa jenis zikir dan Asma Allah yang cocok untuk berbagai kondisi murid. Kitab At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir merupakan penjelasan ajaran Tarekat Syadiziliyyah tentang berbagai bentuk kebajikan, seperti ikhlas, harapan, cinta, dan sebagainya. Lathaif al-Minan merupakan kitab yang menjelaskan biografi dua tokoh Tarekat Syadziliyyah dan ajaran-ajarannya, yakni biografi Syekh Abu Hasan al-Syadzili dan Syekh Abu Abbas al-Mursi. Di dalamnya juga dipaparkan keterangan tentang Wali Allah dan beberapa amalan utama (zikir, hizb dan doa) dua Wali Allah tersebut. Kitab Al-Qash al-Mujarrad fi Ma’rifat al-Ism al-Mufrad, yang menyajikan pembahasan ringkas Asma al-Husna, dengan pemaparan teori metafisika Asma al-Husna. Kitab Taj al-Arus al-Hawi li Tahdzib an-Nufus, berisi kutipan-kutipan dari al-Hikam, at-Tanwir dan Lathaif.

Mengenai karamahnya, Al-Munawi dalam Kitab Al-Kawakib al-Durriyyah mengisahkan, “Syekh Kamal ibn Humam berziarah ke makam Syekh Athaillah dan membacakan surat Hud. Sampai pada ayat yang artinya, “Di antara mereka ada yang celaka dan bahagia …” mendadak beliau mendengar suara Syekh Athaillah dari makam: “Wahai Kamal, tak ada yang celaka di antara kita.” Kisah karamah lainnya menyebutkan bahwa suatu ketika seorang muridnya menunaikan haji. Di Mekah murid itu melihat Syekh Ibn Athaillah sedang thawaf. Dia juga melihat gurunya itu berada di maqam Ibrahim dan Arafah. Saat pulang sang murid bertanya kepada teman-temannya apakah waktu itu sang guru berangkat haji. Semua murid bersaksi bahwa Syekh Athaillah tidak pergi haji waktu itu. Murid itu terkejut dan kemudian menemui Syekh Athaillah. Wali Allah ini kemudian bertanya kepada si murid, “Siapa yang kau temui di sana?” Muridnya menjawan, “Saya melihat guru ada di sana…” Syekh Athaillah menjawab, “Rijal Allah itu bisa memenuhi dunia. Kalau saja Wali Qutub dipanggil dari liang lahatnya, niscaya dia akan menjawab.”

***

Demikian sketsa ringkas biografi Syekh Athailah. Sebelum kami tutup pengantar ringkas ini, perlu diperhatikan bahwa kitab al-Hikam ini adalah kitab tasawuf yang bernilai sastra. Dalam konteks ini, al-Hikam adalah kesusastraan esoterik (spiritual). Kandungannya tak hanya berhubungan dengan makna lahir dan makna batin, makna simbol, atau keindahan, tetapi mengandung semacam elemen “kegaiban” dan “pencerahan spiritual” karena ia lahir dari wilayah gaib yang suci. Tulisan sufi dan Wali, adalah atsar (jejak) dari seorang mukmin – dan seperti sabda Nabi, “atsarun mu’minin barakatun” (jejak orang mukmin itu berkah). Karenanya, para pengamal tasawuf pada umumnya, dan tarekat pada khususnya, dalam membaca kitab tasawuf, apapun bentuknya, tidak sekedar untuk mendapatkan ilmu, untuk menikmati pesona keindahannya, tetapi juga untuk mengharapkan barakah, sesuatu manfaat gaib yang mengalir tanpa disadari oleh akal dan bahkan tanpa diketahui kesadaran kita.

Karya Tasawuf yang agung itu, jika dibaca dengan benar dan dengan segala kerendahan hati, dan apalagi jika dengan bimbingan Mursyid, akan bersifat seperti badai yang membuka pintu persepsi, kesadaran dan intuisi kita. Kekuatan transformatifnya mampu mengguncang aristektur keyakinan kita, mengubah cara pandang kita, dan menguak berbagai lapisan dimensi yang melampaui batasan ruang dan waktu – dimensi yang lazim kita sebut dimensi keruhanian, yang gaib dan memuat misteri hikmah yang mencerahkan. Kekuatan transformatif inilah yang membuat banyak karya Sufi tak pernah aus oleh gesekan zaman, menjadi mata air inspirasi yang tiada habisnya, sehingga seakan-akan kitab-kitab Tasawuf semacam itu menjadi semacam “karya abadi.” Dan pada akhirnya, semoga setelah membacasyarah yang elok ini, meminjam ungkapan seorang sastrawan besar, “we are not the same when we put down the the work as we were when we took it up.”