Rabu, 07 Maret 2012

NGAJI HIKAM (Hidayah Dibalik Ungkapan Hukama)


HIDAYAH DI BALIK UNGKAPAN HUKAMA


تَسْبِقُ اَنْوَارُ الْحُكَمَاءِ اَقْوَلَهُمْ فَحَيْثُ صَارَ التَنْوِيْرُ وَصَلَ التَّعْبِيْرُ

Para Ahi Hikmah terlebih dahulu memancarkan Nur Hidayah sebelum menyampaikan ungkapan. Ketika penyinaran telah sampai maka sampailah ungkapan.

Yang dimaksud dengan ungkapan itu bukan sekedar ceramah ilmiyah sebagaimana yang dilakukan para juru dakwah di panggung-panggung pengajian secara umum, tetapi mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi dibalik keadaan yang lahir yang terbaca oleh matahati orang-orang yang jiwanya bersih suci. Ekspresi sepontan yang dilakukan oleh para guru mursyid sejati sebagai bentuk kepedulian yang ihlas dalam rangka mentarbiyah ruhani para murid yang dikasihi.
Ungkapan itu bisa dilakukan, karena sebelum ungkapan itu keluar, hati para guru mursyid sejati itu terlebih dahulu telah dipancari “nur ilahiyah”. Ibarat bumi ketika matahari telah memancarkan sinarnya maka ufuk langit menjadi terang benderang. Demikian pula keadaan hati yang bersih itu, ketika nur ilahiyah telah memancar, maka memancarlah ungkapan dari dalamnya.

Untuk melihat di alam lahir, meskipun orang mempunyai mata lahir yang sehat, tanpa sinar matahari, mata yang sehat itu tidak dapat dipergunakan untuk melihat dengan sempurna. Di alam batin juga demikian, mata batin itu disebut bashiroh atau matahati. Meskipun matahati seseorang itu sudah cemerlang, tanpa adanya nur ilahiyah yang menyinarinya, matahati yang cemerlang itu tidak dapat berfungsi untuk melihat hal yang ghaib.

Oleh karena kecemerlangan matahati para guru mursyid itu sudah mampu mengalahkan sorot mata lahirnya. Ketika dengan datangnya nur ilahiyah tersebut menjadikan matahati mereka menjadi tembus pandang sehingga mereka mampu melihat isi dada murid-muridnya. Mereka melihat penyakit rahasia yang harus disembuhkan secara rahasia pula. Untuk mengaktualisasikan maksud tujuan tersebut, maka cara yang mereka pilih adalah dengan menyampaikan i’tibar atau ungkapan. Hal itu dilakukan supaya masing-masing kebutuhan ruhani murid-muridnya dapat dicukupi melalui ungkapan tersebut. Karena tidak mungkin menyembuhkan penyakit rahasia kecuali dengan jalan rahasia pula.

Demikianlah fungsi seorang guru mursyid terhadap murid-muridnya, sehingga apa saja yang dilakukan oleh guru mursyid, sejatinya hanya untuk tujuan mentarbiyah ruhani murid-murid tersebut. Namun demikian, tanpa kemampuan seorang murid dalam mencermati dan menindaklanjuti ungkapan guru mursyidnya dengan benar, maka yang didapatkan oleh para murid dalam bertoriqoh barangkali hanya sekedar pahala amal bukan kecemerlangan matahati atau yang disebut dengan ma’rifatullah.

Yang dibutuhkan dalam bertoriqoh itu bukan hanya sekedar pahala supaya orang bisa masuk surga di akhirat. Karena jalan untuk masuk surga akhirat itu sudah jelas. Yakni apabila seorang hamba mendapat ampunan dari Allah dari segala dosa dan kesalahannya. Hal itu telah dijelaskan Allah dengan firman-Nya:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga”(QS.Ali Imran(3)133)

Target perolehan yang harus dicapai oleh seorang salik dalam berthoriqoh bukan supaya mereka menjadi orang sakti mandra guna, atau punya kelebihan bisa membantu penyembuhan orang sakit Non Medis, melainkan supaya mendapatkan “Surga Ma’rifat” yang menurut ahlinya, merupakan kenikmatan yang lebih nikmat dibandingkan surga akhirat. Itulah surga dunia bagi orang beriman dan beramal sholeh, yakni lapangnya rongga dada karena di dalamnya telah disinari Nur Hidayah Allah sehingga apapun yang sedang terjadi dan dialami tidak menjadikan hati mereka susah dan gelisa.

Untuk mendapatkan surga ma’rifat itu, syarat yang paling utama adalah melaksanakan mujahadah di jalan Allah. Artinya dengan sadar dan penuh pemahaman, seorang hamba harus mampu mengedepankan pilihan Tuhannya daripada pilihan hatinya sendiri. Mereka menindaklanjuti isyarat yang tertangkap dari ungkapan guru mursyidnya untuk mengilmuni dirinya sendiri. Melaksanakan maksud yang tersirat dari ungkapan itu untuk menyembuhkan penyakit hatinya sendiri. Setelah seorang salik mampu melaksanakan mujahadah tersebut dengan benar, hasilnya Allah akan menurunkan hidayah baginya.

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik(QS.Al-Ankabut(29);69)

Yang dimaksud dengan “Jalan-jalan Kami” dari ayat di atas adalah jalan-jalan penyelesaian dari segala masalah hidup yang sedang dihadapi. Itu merupakan pilihan solusi yang ditawarkan Allah kepada hamba-Nya sebagai buah ibadah yang mereka jalani. Dengan pilihan solusi yang terbentang di depan mata itu menjadikan rongga dada orang yang beriman menjadi lapang sehingga mereka mampu menjalani kehidupan di dunia dengan nyaman.

Dalam kaitan mujahadah tersebut, tahap demi tahap pengembaraan ruhaniyah yang dilakukan para murid thoriqoh selalu dimulai dengan menindaklanjuti ungkapan guru mursyidnya. Mereka ibarat seorang pasien yang melaksanakan petunjuk dan resep dokternya, sehingga dalam melaksanakan mujahadah itu benar-benar terbimbing oleh ahlinya. Ketika suatu saat perjalanan tersebut mandek di tengah jalan, hal itu karena para salik itu sedang kebingungan memilih jalan yang tepat untuk dilalui, ungkapan guru mursyidnya ketika sedang bertatap muka, menjadikan perjalanan itu dilanjutkan kembali.

Demikianlah cara hidup yang ditempuh oleh komunitas orang yang berthoriqoh di jalan Allah tersebut. Secara lahir terkadang hubungan antara guru dan murid itu tidak sedemikian dekat, tetapi secara batin bahkan menyatu tidak dapat dipisahkan. Hati mereka tidak pernah terpisah meski keadaan dan tempat terpaksa harus memisahkan jasad-jasad mereka. Mereka selalu beribadah dalam kebersamaan rasa dan nuansa meski ibadah itu dilakukan di tempat yang berbeda. Itulah yang dimaksud dengan hakekat tawassul, pertalian rasa antara seorang murid kepada guru mursyidnya untuk bersama-sama menghadap kepada Tuhannya.

Hasilnya, maka diantara mereka tumbuh rasa persaudaraan yang kuat, masing-masing saling mencintai hanya semata-mata karena Allah. Yang demikian itu bukan berarti seorang murid mengkultus individukan guru mursyidnya, tetapi mencintai gurunya semata karena mencari jalan menuju ridlo Tuhannya dan sang guru menyayangi muridnya karena melaksanakan tugas tarbiyah sebagai seorang khilifah bumi zamannya. Itulah jalinan Ukhuwah Islamiyah yang sejati. Itu bisa terjadi, karena masing-masing kehidupan mereka selalui disinari nur hidayah Allah.

Apabila perjalanan amal utama itu tidak mendapatkan bimbingan guru ahlinya, ketika terjadi kebingungang di tengah jalan sehingga perjalanan salik itu menjadi mandek, inspirasi dan ilham yang masuk di dalam rongga dada mereka seringkali datang dari bisikan setan untuk menyesatkan jalan. Bisikan setan itu tidak untuk merubah arah kiblat yang asalnya barat menjadi timur, tetapi tanpa terasa tujuan ibadah itu berbelok arah. Tujuan yang asalnya mencari ridlo Allah malah terjebak untuk mencari keuntungan duniawi. Para salik itu dijerat di dalam pengakuan nafsunya sendiri sehingga mereka menjadi sombong dan merasa benar sendiri. Itulah yang dimaksud dari sebuah ungkapan: “Siapa beramal tanpa guru maka gurunya setan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar