Senin, 14 Maret 2011

HAARP, TSUNAMI JEPANG DAN TANDA -0TANDA AKHIR ZAMAN

HAARP, Tsunami Jepang, dan Tanda-tanda Akhir Zaman
Senin, 14/03/2011 16:15 WIB eramuslim

Penulis tidak tahu mesti mulai dari mana ketika nama HAARP muncul sesaat setelah Tsunami memporakporandakan daratan Jepang. Dan penulis juga tidak mau memaksa terhadap hipotesa bahwa nama HAARP-lah yang bermain dalam gelombang dahsyat tersebut sekaligus juga tidak menampik bahwa HAARP ada di belakang ini semua. Suatu ketika, petunjuk Allah yang akan menjawabkegelisahan dan rasa penasaran kita semua.

Kita di sini sedang mendikusikan sebuah fakta tentang Kebangkitan kedua Kapitalisme Marxis di Amerika Serikat (AS) yang bertindak semena-mena terhadap negara lainnya.

Dan kedua kita juga sedang berbicara mengenai tanda-tanda akhir zaman dimana semakin digdayanya globalisasi dunia ini menuju singgasana kelahiran Sang Mata Satu, penulis namakan itu hampir sama dengan thesis Ahmad Thompsom, Sistem Dajjal.

HAARP sendiri adalah singkatan dari High Frequency Active Auroral Research Program. Sebuah alat pengubah cuaca. Menara transmisi HAARP terletak terpencil di daerah Alaska, dan dirancang sedemikian rupa sehingga menghasilkan enerji yang sangat besar dan kemudian dipancarkan ke lapisan ionosfer.

Namun benarkah HAARP yang notabene menjadi program senjata pemusnah masal AS menjadi dalang untuk menghancurkan Jepang dan merebut senjata nuklir Jepang?

Jepang, Sekutu AS?: Geopolitik Asia Timur

Tidak pernah ada sekutu abadi bagi AS. Bahkan Indonesia sekalipun. Era kemenangan Demokrasi Liberal, seperti thesis Fukuyama adalah jalan untuk sebuah negara menginjak negara lain. Era bagi sebuah kekuatan asing yang terus membangun kedigdayaannya dengan cara berbohong, membohongi konsumennya.

Konstelasi politik Asia Timur diramaikan pada persengkataan antara kekuatan nuklir dan militer di antara banyak negara. Jepang sebagai bagian Negara super power Asia, memiliki investasi nuklir yang bisa menjadi bom waktu bagi siapa saja, termasuk AS. Ini karena Jepang sejak era Perang Dunia II telah memiliki sarana dan prasana yang baik untuk mengembangkan program nuklir, sekalipun tidak begitu berhasil.

Melihat gejala ini, kita tidak lagi bicara bahwa Jepang selama ini adalah sekutu bagi AS. Sekali lagi penulis ingin menekankan tidak ada istilah sekutu bagi mereka. Dalam wilayah kapitaslime global, kekuatan dan uang adalah mitra sesungguhnya. Menguasai teknologi nuklir secara masif akan mendongkrak kekuatan suatu negara menjadi negara powerful yang memiliki bargaining dengan kekuatan politik lainnya.

Surwandono, salah seorang pemerhati Hubungan Internasional di Yogyakarta, menyatakan bahwa dengan penguasaan teknologi nuklir, setidaknya negara besar yang selama ini bisa mendikte perilaku politik negara kecil, akan berfikir dua sampai tiga kali.

Sedikit gambarannya saja bahwa kemampuan rudal Korea Utara sudah dalam kapasitas rudal jarak jauh bahkan antar benua. Inilah yang menjadi ketakutan Amerika dan Korea.
Kepentingan AS terhadap nuklir Jepang sangat terasa pasca era millennium baru saat ini.

Inilah yang membuat AS merasa memiliki kepentingan berarti pasca meledaknya reaktor nuklir Jepang setelah Tsunami menghempas. Bayangkan saja bagaimana kesigapan Gedung Putih melihat tragedi ini. Minggu kemarin, Gedung Putih, seperti dilansir kantor berita Antara, telah mengirimkan para pakar ke reaktor-reaktor nuklir di Jepang. Dua reaktor di negara itu telah mengalami kerusakan akibat gempa bumi besar dan menghadapi kebocoran.

Dalam sebuah pernyataannya, Gedung Putih pun mengatakan bahwa Tim Tanggap Bantuan Bencana telah dikirimkan ke Tokyo. Tim ini termasuk petugas berkeahlian nuklir dari Departemen Energi dan Kesehatan dan Sumber Daya Manusia di samping Komisi Peraturan Nuklir (NRC). Para anggota NRC adalah pakar dalam reaktor nuklir air panas dan bersedia untuk membantu rekan-rekan mereka di Jepang.

Para pejabat dari Departemen Energi, NRC, dan lembaga lain telah mengadakan kontak dengan pejabat-pejabat Jepang di Fukushima dan akan memberikan bantuan apapun bagi permintaan pemerintah Jepang, karena mereka bekerja untuk menstabilkan reaktor nuklir mereka yang rusak.

NRC juga telah menyiarkan informasi yang menyatakan bahwa Hawaii, Alaska, Amerika Serikat dan Wilayah Pantai Barat AS tidak diharapkan untuk mengalami tingkat radioaktivitas berbahaya. Amerika Serikat dan Jepang keduanya memiliki kemampuan yang sangat canggih untuk memantau dan memprediksi aliran dari setiap kebocoran radioaktif, menurut laporan media AS.

Inilah invasi besar-besaran yang bisa jadi menjadi misi sesungguhnya Amerika dalam tsunami Jepang saat ini. Alih-alih ingin membantu, AS telah mempelajari skema reaktor kuklir Jepang yang kelak jika tidak diwaspadai bisa menjadi bumerang bagi mereka sendiri.

Melihat ini semua, kita layaknya sedang melihat bahwa AS sudah seperti negara paling berkepentingan sekaligus paling panik dibanding dengan Jepang sendiri melihat kasus kebocoran nuklir di Fukushima.

Peter Bradford misalnya,Kepala Komisi Regulator Nuklir AS, ini mengatakan bahwa jika upaya pendinginan reaktor gagal, maka situasi di Fukushima menjadi mirip seperti di Chernobyl, Ukraina. Bradford menjelaskan bahwa dua kecelakaan nuklir terburuk dalam sejarah terjadi pada bencana Chernobyl pada tahun 1986 dan ledakan reaktor Three Mile Island di AS pada tahun 1979 dan itu bisa terulang di Jepang.

Namun terlepas dari itu semua, kita juga harus melihat apa motif sebenarnya Jepang memiliki nuklir? Apakah misi Jepang sesungguhnya ketika berniat memiliki teknologi hebat ini mengingat para ahli juga pernah mengatakan bahwa Jepang tidak begitu berhasil melangsungkan proyek nuklir.

Jawabannya tidak lain karena Jepang ingin mengantisipasi jika dikemudian hari AS tidak berhasil mengatasi persoalan Korea Utara dengan baik.

Dodik Ariyanto dalam tulisannya “Era Baru Perang Bintang”, mengatakan bahwa Provokasi Kim Jong II, khususnya sejak uji-coba Taepodong II Juli 2006, telah menyulut kekhawatiran luas di Jepang bahwa payung keamanan AS yang dipadu dengan kemampuan peralatan yang ada saat ini, sangat tidak memadai guna melindungi Jepang seandainya Kim gelap mata.

Kekhawatiran tersebut jelas sekali ketika tahun Jepang kemudian mengeluarkan pernyataan resmi bahwa ia punya hak melakukan setiap antisipasi menghadapi perkembangan terakhir di Korut. Selain alokasi $1,9 milyar untuk teknologi rudal pada anggaran 2007.

Kita tahu bersama bahwa tidak ada satu negarapun yang tahu persis apa yang sedang mereka pikirkan masing-masing, serta apa yang akan dilakukan oleh negara lainnya jika ada sebuah skenario sedang tersusun rapih. Akhirnya, setiap negara dipaksa untuk berpikir bahwa perilaku tetangganya dapat setiap saat menjadi ancaman baginya, sehingga tersedia pilihan sikap yang sama persis menyangkut keamanan nasionalnya, yaitu : 1). aktif bekerjasama dan tidak bersenjata ; 2) bersenjata sementara negara lain tak bersenjata ; 3) semua bersenjata dengan kemungkinan terjadinya perang, dan ; 4) tidak bersenjata sementara negara lain bersenjata.

Jadi, sebenarnya AS di satu sisi diuntungkan oleh meledaknya reaktor nuklir Jepang dan mereka memiliki kelegaan dimana kekuatan “calon musuhnya”, suatu ketika sudah terbaca mengingat berbagai perangkat pakar nuklir AS telah meindentifikasi titik pergerakan reaktor nuklir saat ini. Lalu inikah indikasi kuat bahwa AS ada dibalik Tsunami ini?

HAARP dan Kasus Tsunami Jepang: Sebuah Diskusi

HAARP sebenarnya adalah proyek investigasi yang bertujuan untuk memahami, menstimulasi, dan mengontrol proses ionospherik yang dapat mengubah kinerja komunikasi dan menggunakan sistem surveilans. HAARP mulai dikemangkan pemerintah AS pada tahun 1992 dan ditargetkan rampung pada tahun 2012.

Menurut salah sebuah sumber, cara kerja HAARP adalah dengan memanaskan ionosphere yang ada di langit. Hal ini dapat memanipulasi keadaan langit disekitarnya, sehingga pada masa percobaan dapat terjadi suatu hal yang tidak diinginkan misalnya terjadi badai, gempa bumi, gangguan sinyal dan lain-lain.

Caranya dengan menentukan satu titik lokasi ionosphere yang akan dipanaskan, lalu tekanan yang berada di atmosfer juga akan naik. Maka tekanan yang terbentuk dikumpulkan di satu titik dan terbentuklah manipulasi jetstream).

Namun menurut sebagian kalangan, ada sesuatu yang lebih besar sedang dilakukan di tempat ini, yaitu pengembangan senjata pemusnah massal. HAARP disebut mampu menciptakan banjir dengan memanipulasi penguapan air, mampu menciptakan badai dan bahkan gempa bumi.

Dengan kemampuan ini, tentu saja itu berarti Amerika akan mampu menciptakan bencana kelaparan di wilayah yang diinginkannya. Projek ini menurut sebagian kalangan bertanggungjawab terhadap beberapa peristiwa gempa besar, seperti gempa bumi 7,8 skala Richter (SR) di Sichuan China 12 Mei 2008, gempa bumi 7,0 SR di Haiti 12 Januari 2010, dan gempa bumi 8,8 SR di Chile 27 Februari 2010.

Ketika Haiti diguncang gempa bumi berkekuatan 7,0 SR pada 12 Januari 2010 dan menewaskan sekitar 200.000 orang, banyak media massa yang melansir pernyataan Presiden Hugo Chavez kepada surat kabar Spanyol ABC.

Dalam berita disebutkan pemimpin Venezuela itu menuduh AS menyebabkan kehancuran di Haiti dengan menguji coba "senjata tektonik". Hal ini kontak memicu media massa Venezuela untuk melaporkan bahwa gempa bumi ini terkait dengan projek HAARP yang dapat menghasilkan perubahan iklim yang tak terduga dan keras.

Sebuah laporan Amerika berada di balik Tsunami Jepang memang sempat menuju titik terang. Seperti dikutip dari situs http://www.atlanteanconspiracy.com/2011/03/japan-tsunami-caused-by-haarp.html. Terlihat ada grafik peningkatan pergerakan elektromagnetik saat sebelum HAARP diaktifkan dan 36 jam pasca tsunami.

Namun kita ketahui bersama indikasi HAARP tidak saja berada pada level eletktromagenitik, namun juga penampakan aurora di sekitar langit seperti pada kasus gempa Chile. Ini yang mesti dibuktikan.

Aurora sendiri merupakan fenomena pancaran cahaya yang menyala-nya pada lapisan Ionosfer (bagian Atmosfer yang terionisasi oleh radiasi matahari) suatu planet akibat interaksi medan magnetik planet tersebut dengan partikel bermuatan (ion) yang dipancarkan matahari.

Tanda-tanda Akhir Zaman

Terlepas dari diskusi itu, terjadinya gempa secara beruntun baik di Chile, Haiti, New Zealand, dan kini Jepang menandakan baak baru tanda-tanda akhir zaman. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya kiamat tidak akan terjadi sehingga kamu melihat sepuluh tanda . . . ” Kemudian baginda menyebut antara lain “dan tiga gempa bumi iaitu gempa di wilayah timur, di wilayah barat dan di Jazirah Arab.” (Shahih Muslim Syarah Nawawi 18:27 – 28)

Di hadits yang lain, juga pernah ada nubuwah serupa. Dari Ummu Salamah, ia mendengar Rasulullah SAW bersabda, “ Sesudahku nanti akan terjadi gempa bumi di Wilayah Timur, gempa bumi di wilayah Barat dan gempa bumi di Jazirah Arab.” Saya bertanya,” Wahai Rasulullah saw apakah bumi akan digempakan padahal di dalamnya masih ada orang-orang yang saleh?” baginda menjawab, “ Apakala penghuninya telah banyak melakukan keburukan.”

Sebagai umat Islam, kejadian ini haruslah menjadi media kita untuk meningkatkan iman kepada Allahuta’la. Gempa dan tsunami adalah refleksi bahwa ujian dan peringatan betapa sombongnya manusia dunia dan betapa kemaksiatan sudah merajalela di muka bumi. Jepang, Negara penyembah matahari itu tidak berdaya apa-apa ketika jutaan mobil produksi mereka hancur tak bersisa. Kehebatan mereka dalam ilmu geologi pun menjadi tidak bisa berfungsi ketika Allahuta’ala menetapkan ketetapannya.

Kemaksiatan yang perlu menjadi renungan kita semua adalah tidak lain sebuah kesombongan berupa pemujaan terhadap sains dan teknologi melebihi proposrsi sebenarnya. Sains bahkan telah menggantikan peran Allahuta’ala sebagai penentu hukum alam.

Bahkan tidak hanya menampik hukum buatan Allah, namun HAARP sendiri jika memang betul berada dibalik ini semua, justru diciptakan oleh sebuah bangsa yang sudah menjadikan Sang Mata Satu sebagai sesembahannya. Dan inilah bencana sesungguhnya, bencana dimana kita tidak lagi mengakui Allah sebagai Rabb. Wallahua’lam (pz)

Jumat, 04 Maret 2011

Paradigma Tajdid Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam Modernis-Reformis

Pengantar

Ketika Muhammadiyah berdiri tahun l912, seluruh dunia Muslim masih berada di bawah penjajahan. Belum banyak yang merdeka secara politis dari cengkeraman imperalisme dan kolonialisme Barat. Di tengah-tengah kesulitan seperti itu Muhammadiyah berdiri dengan membawa optimisme baru. Kata-kata atau slogan “Islam yang berkemajoean” amat didengung-dengungkan saat itu. Mungkin belum disebut Islam “modern” atau ”reformis” seperti yang dinisbahkan dan disematkan orang dan para pengamat pada paroh kedua abad ke-20. Namun dalam perjalanan waktu selanjutnya, identitas gerakan Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari arti penting dari Dakwah dan Tajdid. Kata kunci Dakwah terkait dengan mengemban dan mengamalkan Risalah Islam, mengajak ke kebaikan (al-Khair) dan melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Sedangkan sistem tata kelolanya, usaha dakwah dalam artian luas tersebut memerlukan Tajdid, baik yang bersifat pemurnian maupun pembaharuan (Haidar Nashir, 2006: 54).

Prestasi yang diukir selama satu abad (l912-2012) cukup mewarnai derap langkah sejarah umat Islam di Indonesia. Berbagai tantangan dan dinamika perjoangan telah dilalui dengan selamat baik pada era kolonialisme, era awal kemerdekaan, era orde lama, orde baru dan era reformasi. Semuanya menoreh pengalaman yang amat berharga untuk kematangan sepak terjang organisasi. Banyak organisasi keagamaan di Mesir atau di Pakistan yang mengalami nasib yang pahit ketika berhubungan dan berhadapan dengan negara. Muhammadiyah tidak mengalami nasib seperti itu. Mungkin karena pilihan Muhammadiyah–-sebagai organisasi—yang menekuni bidang Pendidikan yang kemudian menjadikannya sedikit aman dari godaan-godaan politik praktis. Meskipun perlu dicatat, bahwa setelah reformasi bergulir, maka peran tokoh Muhammadiyah di masyarakat pun ikut berubah sesuai dengan tantangan dan tuntutan baru yang dihadapinya.

Bagaimana menatap 100 tahun ke depan? Apakah Muhammadiyah akan mengulang sejarah kesuksesan 100 tahun silam? Jangan-jangan hadis Nabi yang sudah menjadi adagium dan sering disebut dan dikutip oleh para tokoh dan da’i-da’iyah Muhammadiyah bahwa “’ala kulli ra’si kulli mi’ah sanah mujaddidun” (Setiap melintasi seratus tahun usia jaman, akan datang seorang pembaharu) akan juga harus berlaku bagi Muhammadiyah? Atau tidak berlaku? Jika diandaikan berlaku dalam Muhammadiyah lalu seperti apa coraknya? Bagaimana mengantisipasinya? Apa implikasinya dalam konteks pendidkan Kemuhammadiyahan dan Keislaman di sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah? Jika diandaikan tidak ada, apakah jaman dan situasi dunia memang tidak berkembang dan berubah lewat hukum dinamika sejarahnya sendiri? Tulisan singkat ini mau berandai-andai—jika saja memang ada perubahan dinamika sejarah dunia—lalu bagaimana Strategi Dakwah dan Tajdid Muhammadiyah menghadapinya dalam menapaki usianya yang seratus tahun kedua? Namanya juga berandai-andai, maka bisa jadi bisa tidak. Kalau tidak ada perubahan, maka corak dan strategi gerakan mungkin akan tetap dilestarikan seperti ini adanya (al-Muhafadzah ‘ala al-qadim al-salih). Tapi jika perubahan itu benar-benar ada, baik cepat maupun lambat, maka strategi baru apa yang akan dan perlu disiapkan oleh Muhammadiyah (al-Akhdzu bi al-jadid al-aslah), sebagai organisasi yang hidup dan kaya pengalaman melewati dan melintasi kurun-kurun waktu sulit?

Adalah sangat berbeda tingkat kompleksitasnya membayangkan Muhammadiyah dengan hanya sedikit jumlah anggota dan simpatisannya dan membayangkan Muhammadiyah dengan banyak anggota dan simpatisannya. Juga demikian halnya, terdapat perbedaan tingkat kompleksitas yang dihadapi Muhammadiyah pada era pra dan paska Reformasi sekarang ini, khususnya dalam kaitannya dengan kehidupan politik di tanah air. Setidaknya, ada dua atau tiga isu penting yang dihadapi oleh umat Islam dalam era abad ke-21, bersamaan waktunya ketika Muhammadiyah memasuki abad kedua usianya.

Pertama, globalisasi mendorong munculnya genre baru keummatan dari golongan Minoritas Muslim di berbagai negara mayoritas Kristen baik di Amerika, Eropa maupun Australia. Kedua, Peradaban Barat yang masih terus leading dalam memimpin dunia dalam berbagai sektor kehidupan. Ketiga, Gerakan Dakwah dan Tajdid bertemu muka dan berhadap-hadapan dengan gerakan Dakwah dan Jihad. Ketiga isu besar ini saling berkait kelindang.

Menurut hemat penulis, sepuluh, dua puluh, lima puluh dan seratus tahun ke depan sejarah peradaban dan umat beragama, termasuk di dalamnya Muhammadiyah, akan ditentukan oleh corak paradigma, model, dan strategi merespon ketiga isu kontemporer ini. Tidak bisa tidak.

Maka pertanyaannya adalah seperti pertanyaan yang dilontarkan oleh Tariq bin Ziyad mengawali era ”globalisasi” sejarah Islam abad pertengahan, ”Aina al-mafarr? Al-Bahru waraakum wa al-aduwwu amamakum”. (Ke mana kita akan lari menghindar dari persoalan yang nyata-nyata kita hadapi? Hamparan laut luas ada di belakang kita, sedang musuh dengan berbagai keahliannya ada di hadapan kita?) Begitu pertanyaan dan sekaligus motivasi dan semangat yang ditanamkan oleh Tariq bin Ziyad puluhan abad yang silam ketika hendak meninggalkan selat Gibraltar, selat yang ada di antara ujung utara benua Afrika dan ujung selatan benua Eropa, dan masuk ke daratan Spanyol sekarang. Daratan yang sama sekali asing dan baru bagi Tariq bin Ziyad dan teman-temannya saat itu.

Pertama, Globalisasi dan Masyarakat Minoritas Muslim di negara-negara Barat.

Apakah Masyarakat atau Peradaban Utama yang dimaksud dalam al-Qur’an, dan lebih-lebih dalam dokumen cita-cita Muhammadiyah, hanya bersifat lokal keindonesiaan atau juga meliputi global-kesemestaaan (rahmatan li al-‘alamin)? Jika hanya lokal-keindonesiaan, lalu bagaimana hubungan dialektika timbal-balik dan pengaruh resiprokalnya dengan Masyarakat Utama yang ada dan juga dicita-citakan oleh masyarakat Muslim lokal yang lain? Juga bagaimana hubungan antara problem yang semula hanya bersifat lokal, kemudian diangkat oleh media menjadi isu global seperti yang biasa muncul dalam pengeluaran fatwa-fatwa keagamaan? Persoalan di Afrika mengimbas ke Asia dan begitu sebaliknya, juga persoalan di minoritas muslim di Eropa mengimbas ke masyarakat mayoritas muslim di Asia dan begitu pula sebaliknya.

Adalah kenyataan sejarah, bahwa tahun l960 terjadi imigrasi atau perpindahan penduduk dari negara- negara Muslim ke Eropa. Orang-orang Muslim dari Turki dan Marokko banyak berhijrah ke daratan Eropa dan Australia, sedangkan India dan Pakistan banyak yang pindah ke Inggris. Begitu juga ke Australia. Anak keturunan mereka sudah menjadi warga negara setempat, mempunyai status ekonomi yang mapan dan berperan dalam komunitas baru baik sebagai pedagang, konsultan, ahli hukum, guru, dosen, dan bahkan anggota parlemen. Kepindahan mereka semula karena semata-mata untuk kepentingan ekonomi dan pembangunan. Mereka datang untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang memang sangat diperlukan untuk pengembangan ekonomi Eropa dan Australia. Mereka bekerja di pabrik-pabrik, buruh bangunan dan berbagai industri jasa yang lain. Di samping mereka yang pindah sebagai tenaga buruh, ada juga imigrasi intelektual karena untuk melanjutkan studi, belajar menuntut ilmu pengetahuan di Barat dan kemudian tinggal menjadi penduduk di negara-negara Eropa, Amerika maupun Australia. Jumlah mereka sedikit, tetapi tidak sedikit mereka yang menjadi scholars ternama, intelektual, ahli hukum, insinyur, dokter, dosen, peneliti dan guru besar di berbagai perguruan tinggi di Barat. Mereka berasal dari berbagai negara Muslim seperti Turki, Pakistan, India, Iran, Mesir. Tunis, Marokko, Siria, Afrika Selatan, Bangladesh dan begitu seterusnya. Mereka inilah yang dalam tulisan ini disebut minoritas Muslim di Barat. Di antara nama-nama yang dapat disebut antara lain: Ibrahim M. Abu Rabi’ (Palestina), Bassam Tibbi (Canada), Khaled Abou el-Fadl (Kuwait; USA), M. Arkoun (Aljazair; Perancis), Abdullah Saeed (Australia), Abdullahi Ahmed al-Naim (Sudan; USA), Akbar S. Ahmed (Pakistan; Inggris), Fazlur Rahman (Pakistan; USA), Ismail Raji’ al-Faruqi (Palestina; USA), Sa’diyya Shaikh (Afrika Selatan), Amina Wadud (Afrika Selatan; USA), Leila Ahmad (USA), Farid Esack (Afrika Selatan), Ziba Mir-Hossein (Iran; Inggris), Ibrahim Moosa (Afrika Selatan; USA), Omit Safi (USA). Karya-karya mereka banyak yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan memberi inspirasi pengembangan metodologis studi keislaman di tanah air.

Sejak akhir paroh kedua abad ke-20, apa yang disebut dengan umat Islam sesungguhnya tidak hanya merujuk kepada mereka yang berada di wilayah negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, tetapi juga meliputi dan mencakup minoritas Muslim di India, Eropa, Amerika, Australia dan berbagai tempat atau negara yang lain. Pengalaman kesejarahan, psikologi keummatan, pergaulan sosial-budaya, tingkat kesejahteraan ekonomi, penguasaan ilmu pengetahuan, akses terhadap fasilitas kehidupan modern, persoalan hidup sehari-hari di negara ‘asing’, termasuk pendidikan dan pembinaan keluarga Muslim sangatlah berbeda dari saudara-saudara Muslim mereka yang hidup di negara-negara yang mayoritas Muslim. Jangankan syiar Islam yang biasa diselenggarakan dengan mudah di negara-negara mayoritas Muslim, mendengarkan adzan secara lepas lewat pengeras suara keluar gedung bangunan mushalla atau masjid pun dilarang oleh pemerintah setempat karena akan mengganggu ketenangan masyarakat sekitar yang non-Muslim.

Menghadapi permasalahan konkrit seperti itu, (psikologi) golongan mayoritas merasa humiliated (terhina; tertekan), tetapi bagi golongan minoritas adalah sebagai bentuk ketaatan warganegara minoritas terhadap aturan pemerintah setempat. Mereka juga tidak bisa berpikir dan bertindak seolah-olah berada pada wilayah mayoritas Muslim seperti yang mereka rasakan ketika masih berada di kampung halamannya dahulu. Sudah barang tentu menjaga identitas (identity) sebagai Muslim tidaklah semudah yang dialami oleh saudara-saudara mereka di negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim.

Bagaimana mereka menjalani kehidupan sebagai seorang Muslim? Apakah mereka harus bercita-cita harus dapat mengikuti aturan-aturan fikih yang berlaku di negara mayoritas Muslim ataukah mereka punya kebebasan berijtihad untuk menentukan masa depan mereka sendiri secara otonom sesuai dengan dinamika pergulatan sosial-budaya-agama-ekonomi-politik setempat? Apakah fikih dan fatwa-fatwa keagamaan Islam mereka harus mengikuti persis seperti fikih dan fatwa-fatwa keagamaam seperti yang dipahami dan dikeluarkan oleh saudara-saudara mereka di negara mayoritas? Ke depan, hubungan antara fikih aqalliyyah dan fikih aghlabiyyah seperti ini akan menarik untuk diamati, dipelajari, dibahas, dan diteliti, karena kedua kelompok tersebut, mayoritas dan minoritas, saling berinteraksi lewat media elektronik, internet, website, teleconference, bahkan situs-situs yang sangat mudah diakses dan media cetak yang lain.

Apakah problem sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan agama di Leiden, Amsterdam, Frankfurt, Melbourne akan disamakan begitu saja dengan problem sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan agama di Mesir, Riyadh, Karaci dan Jakarta misalnya? Perlu imajinasi geografis dan intelektual sekaligus di sini. What do all Muslims agree upon? (Apa saja to yang memang disepakati oleh semua orang Muslim di manapun mereka berada?) Kemudian, di mana the limit of tolerance (batas-batas toleransi) untuk berbeda dalam membaca dan menafsirkan ajaran agama, sosial dan politik antara wilayah fikih aqalliyyah (minoritas) dan fikih aghlabiyyah (mayoritas)? Pada level akar rumput keummatan, dan lebih-lebih dunia media, baik cetak dan lebih-lebih elektronik, cita-cita perjoangan menuju Masyarakat Utama dan Peradaban Utama memang memerlukan kehati-hatian, ketelitian, kesabaran, tidak grusa-grusu, dan pemikiran genuin-otentik, serta keterbukaan dan keluasan pandangan, jika umat Islam tidak ingin kehilangan masterplan horison kelokalan dan kesemestaan sekaligus dalam identitas keislaman mereka.

Tidak hanya itu. Yang lebih tajam dan nyata pengaruhnya dalam masyarakat mayoritas Muslim dimanapun mereka berada adalah dalam bidang kesarjanaan, penelitian, keintelektualan dan keulamaan yang dihasilkan oleh karya tulis dan karya kesarjanaan para intelektual Muslim dari kalangan minoritas Muslim di Eropa, Amerika maupun Australia. Karya-karya kesarjanaan Muslim paska kesarjanaan orientalis ini sungguh-sungguh berbeda dari karya-karya kesarjanaan, keintelektualan dan keulamaan di berbagai negara mayoritas Muslim, karena training kesarjanaan (scholarship) yang mereka lalui dan miliki memang nyata-nyata berbeda baik dari segi metode, pendekatan maupun bahasa asing yang mereka kuasai. Karya tulis kesarjanaan ini dituangkan dalam jurnal keilmuan dan diterbitkan dalam buku-buku literatur keislaman kontemporer. Buku literatur yang ditulis oleh para akademisi, peneliti, intelektual Muslim yang bekerja di berbagai Perguruan Tinggi di Barat ini tidak kecil jumlahnya. Sumbangan mereka tidak kecil dalam pengembangan keilmuan keislaman, khususnya di era kontemporer. Tulisan dan buku-buku mereka dibaca dan diterjemahkan kedalam bahasa Muslim seperti Turki, Iran, Urdu, Arab, Indonesia dan begitu seterusnya.

Banyak ketegangan muncul antara pengalaman tradisi keilmuan keislaman yang dikembangkan di belahan bumi Muslim yang dihuni mayoritas Muslim (Mesir, Tripoli, Khartum, Karaci, Riyadh, Jakarta, Kualalumpur) dan belahan bumi yang dihuni oleh para akademisi Muslim di Perguruan Tinggi di belahan bumi Barat yang dihuni oleh minoritas Muslim (Chicago, Philadelpia, Berlin, Paris, Melbourne). Para pemimpin dan tokoh Muhammadiyah dalam setiap jenjang dan peringkatnya tidak dapat melepaskan diri dari tanggungjawab intelektualnya dalam menghadapi tantangan baru ini, sebuah tantangan yang tidak dialami oleh generasi tokoh dan pimpinan Muhammadiyah era 100 tahun pertama, lebih-lebih jika dikaitkan dengan cita-cita besar hendak mewujudkan Masyarakat atau Peradaban Utama. Apakah para tokoh dan pemimpin umat (baca: pemimpin Persyarikatan Muhammadiyah) di tingkat lokal, regional, nasional, siap menerima kehadiran generasi intelektual Muslim baru dari kalangan minoritas Muslim dari berbagai negara Barat? Siap dan tidaknya menerima kehadiran mereka—dan begitu pula sebaliknya—akan mewarnai dinamika sejarah perabadan Islam abad ke 21 ini.

Kedua, Peran kesejarahan dan peradaban Barat era modern.

Globalisasi pada era sekarang ini, dengan menggunakan instrumen ilmu pengetahuan dan teknologi adalah memang warisan peradaban Barat. Jika agama ikut membonceng di belakangnya, itu adalah hal lain. Perkembangan dan pengembangan konsep teologi agama juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini. Perkembangan ilmu pengetahuan empiris lewat penelitian yang mendalam dan berkesinambungan terhadap alam semesta, sosial-kemanusiaan dan sosial-keagamaan adalah bentuk intervensi Barat, meneruskan dan melanjutkan saja apa yang telah dikerjakan oleh para ilmuan Muslim pada abad-abad sebelumnya. Tujuh abad (abad ke 7–14) peradaban Muslim telah pernah menghiasi, mengukir sejarah, untuk tidak menyebutnya menguasai dunia. Bahasa dan tulisan Arab berikut ilmu pengetahuan yang menyertainya pernah digunakan di mana-mana termasuk di wilayah nusantara. Kerajaan dan empire Islam jatuh bangun, saling silih berganti sampai berakhirnya kerajaan Turki-Usmani di awal abad ke 20.

Sejarah berputar dan sejak abad ke l5 sampai dengan abad ke 20 hampir semua wilayah Islam di bawah jajahan Barat. Metode research modern dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan diperkenalkan. Kelautan, kedirgantaraan, ketenagaan, transportasi laut, darat, udara, pertanian, perikanan, kehutanan dan begitu seterusnya sampai ke tenaga nuklir, persenjataan, eksplorasi ruang angkasa, sampai berujung ke teknologi komunikasi, komputerisasi, media elektronik. Berjalan bersamaan pengembangan dan research dalam ilmu-ilmu kemanusiaan sejak dari bahasa, filsafat, sosial, budaya, agama, seni dan begitu seterusnya.

Peradaban Muslim abad ke-21 masih berhadapan dengan peradaban Barat dalam seluruh aspeknya. Politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, perekonomian, perdagangan, perbankan, pendidikan, media, tourism, perhotelan, pengobatan, politik ketatanegaraan, keberagamaan, bahkan sampai ke tata boga dan tata busana seluruhnya selalu berinteraksi langsung maupun tidak langsung, berdialog dengan kebudayaan dan peradaban Barat. Seluruh fakta sejarah ini seolah-olah membenarkan pendapat Bassam Tibbi, seorang sarjana Muslim dari Siria yang tinggal di Jerman, ketika ia berkata bahwa ‘It is hard to reconcile … the religious proclamation, “You are the best community (umma) created by God on earth” (al-Qur’an 3: 110) with the reality in which members of this very umma rank with the underdogs in the present global system dominated by the West’ (Tibbi, 2001: 54). Sangatlah sulit sekali saat sekarang ini untuk menyesuaikan pernyataan agama al-Qur’an dalam surat Ali Imran, ayat 110 bahwa “Kamu (umat Islam) adalah sebaik-baik masyarakat (ummah) yang diciptakan oleh Allah diatas bumi” dengan realitas konkrit di lapangan pada abad ke 21 ini, di mana hampir seluruh umat Islam rata-rata kalah dalam berbagai seginya dalam bersaing dengan Peradaban yang sekarang ini didominasi oleh Barat.

Muhammadiyah didirikan 100 tahun yang lalu adalah untuk menjawab tantangan ini. “Islam yang berkemajoean” adalah idam-idaman dan cita-cita besar para pendiri organisasi ini sampai harus mentransfer dan meng-adopt cara dan sistem pengelolaan pembelajaran dan persekolahan di era penjajahan Belanda dulu. Sekarang di era kemerdekaan yang ke 64, Muhammadiyah telah memeiliki ribuan sekolah dari SD sampai SMU dan ratusan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) di berbagai daerah di tanah air. Belum lagi menyebut taman kanak-kanak. Mari kita lakukan introspeksi (muhasabah al-nafs; muhasabah al-harakah) menjelang 100 tahun usia Muhammdiyah. Sebutlah salah satu contoh, bagaimana kita menjawab pertanyaan sederhana tapi cukup sulit dijawab: apakah anak-anak dan mahasiswa keluaran sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah telah menjadi “khaira ummah” pada setiap jenjang pendidikan yang diikutinya? Mengapa keluaran sekolah atau Perguruan Tinggi yang didirikan oleh non Muhammadiyah seringkali lebih baik dan lebih unggul dari pada yang didirikan oleh Muhammadiyah? Atau memang bukan kesitu arah pendidikan Muhammadiyah?

Apa arti “khaira ummah” untuk wilayah pendidikan? Bagaimana untuk wilayah sosial, ekonomi, politik, budaya, belum lagi menyebut IPTEK? Apakah tata kelola, sistem dan metode pendidikan dan pengajaran telah dievaluasi secara mendasar? Bolehkah sistem pendidikan Muhammadiyah mencangkok sistem lain yang ternyata lebih dapat mengantarkan anak didiknya lebih unggul? Bagaimana sistem pendidikan dan pengajaran materi keislaman di lingkungan perguruan Muhammadiyah? Kata kuncinya, menurut hemat penulis, istilah “khaira ummah” dalam al-Qur’an itu bukanlah taken for granted, pasti datang dengan sendirinya, otomatis bagus karena sudah ber(i)slam atau ber(m)uhammadiyah, tanpa upaya pembaharuan-pembaharuan yang terus menerus … untuk mencapai derajat “khaira ummah”, apalagi sampai Masyarakat Utama dan lebih-lebih Peradaban Utama, perlu kritik tajam secara terus menerus, tidak berhenti melakukan eksperimentasi, trial and error, dievaluasi dan dimonitor secara saksama oleh persyarikatan. Sampai di sini, belum disinggung perlunya keringat dan kerja keras peneliti dan pekerja dalam laboratorium. Peninjauan ulang terhadap ini semua (meragukan, doubt) mengandaikan niscayanya perubahan dalam sistem organisasi pengelolaan sekolah dan perguruan tinggi di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah dan kesediaan para pengurus untuk belajar dan keberanian mentransfer dan mengadapt keberhasilan organisasi dan metode pembelajaran lain yang lebih unggul dalam bidang yang sama. Masih terngiang-ngiang terus pertanyaan Syeikh Sakip Arsalan, ”Li madza taakhkhara al-Muslimun wa taqaddama ghairuhum?” di awal abad ke-20 dan ternyata masih berlaku hingga sekarang.

Muhammadiyah harus berani terus-menerus bertanya, melakukan ”koreksi”, ”meragukan” sebagian atau semua langkah yang pernah ditempuhnya sebagai bahan untuk memperbaiki dan menyempurnakan langkah yang akan ditempuh pada masa-masa yang akan datang, khususnya di era abad kedua usianya. Inti budaya modern adalah ”melembagakan keragu-raguan” (the Institutionalization of Doubt), begitu papar Anthony Giddens dalam karyanya, The Consequences of Modernity (1990, 59).

Ketiga, Perjumpaaan gerakan Dakwah dan Tajdid dengan gerakan Dakwah dan Jihad.

Mungkin tidaklah terlalu mengada-ada dan tidak pula berlebihan jika dikatakan bahwa perjoangan dan aktivitas keagamaan umat Islam menuju Masyarakat dan atau Peradaban Utama pada abad ke 21 sekarang ini akan diwarnai persinggungan, gesekan, rivalitas dan kontestasi antara model gerakan Dakwah dan Tajdid dan model gerakan Dakwah dan Jihad. Akan terjadi perebutan wilayah dan perseteruan psikis antara kedua model gerakan dakwah ini. Keduanya sama-sama mengklaim anak kandung al-Qur’an dalam upaya untuk merealisasikan cita-cita idealisme “khaira ummah”. Rivalitas kewenangan dan perebutan wilayah kerja dakwah antar pendukung kedua model gerakan dakwah Islamiyyah ini sangat mudah di jumpai di lapangan, baik di tempat-tempat peribadatan (mushalla, masjid, langgar) dan pendidikan (sekolah, perguruan tinggi, pesantren) dan juga majelis taklim. Pernyataan di muka publik, statemen-statemen para tokoh dan pemimpinnya di media masa dan forum-forum keagamaan, media elektronik (tampilan dan konten situs-situs di website), media cetak berupa buletin, selebaran-selebaran, pamplet-pamplet dengan mudah dapat ditengarahi. Khususnya ketika mereka diminta merespon berbagai isu dan persoalan sosial-budaya, sosial- politik, sosial-ekonomi, sosial-keagamaan, hubungan internasional, hubungan antar agama dan begitu seterusnya.

Semua pihak, tidak hanya Muhammadiyah, perlu terus menerus mencermati dan mewaspadai perkembangan ini, lebih-lebih di lingkungan intern Muhammadiyah, karena dalam Muhammadiyah tegas-tegas disebutkan ada aspek “pemurnian” selain “pembaharuan”, juga ada anjuran ‘nahi mungkar’ selain anjuran ber ‘amar ma’ruf’, seperti disinggung diatas. Gerakan pemurnian, kalau tidak pandai mengemasnya akan sangat mudah beralih menjadi ‘jihad’ ideologis-kultural’ untuk menyerang realitas perkembangan sosio-historis dan realitas perkembangan sosio-kultural keummatan Islam yang sangat kompleks dan beraneka ragam, tidak hanya di tanah air tetapi juga di seluruh dunia Muslim. Sedang penekanan pada sisi ‘nahi mungkar’, dengan sedikit mengesampingkan ‘amar ma’ruf’ juga berpotensi akan mudah terbawa arus jihad dengan menggunakan kekerasan (gerakan radikalisme agama) dalam menegakkan perintah-perintah agama secara paksa (coersive) dan bukannya persuasif (persuasive).

Gelombang jihad rasanya akan memikat dan menarik generasi muda yang haus akan pengetahuan agama, yang masih labil secara kejiwaan apalagi ekonomi, penomena ketidakadilan yang mereka saksikan di berbagai tempat di negeri mereka masing-masing. Gelombang jihad akan menghiasi perjalanan peradaban Islam kontemporer abad ke-21, selagi politik luar negeri negara-negara Barat belum berubah dan dialog antar budaya dan agama tidak tulus dan macet. Gelombang jihad akan tetap menarik generasi muda jika Amerika dan sekutunya belum keluar dari Timur Tengah dan negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim lainnya. Kalau itu ukurannya, maka masih agak lama waktunya untuk meredam, apalagi menghilangkan semangat dan militanisme jihad melawan Barat dan sekutunya di dalam negeri Muslim sendiri. Ketika peradaban Islam kontemporer berhadapan secara langsung dengan peradaban Barat seperti itu, maka gerakan Islam modern maupun yang tradisional, yang menginginkan kemajuan masyarakat muslim untuk mengejar ketertinggalannya juga terkena imbasnya. Imbas itu sangat pahit, dan menimbulkan perpecahan umat jilid berikutnya.

Adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa selain adanya the clash of civilizations seperti yang tercermin dalam perang tak berkesudahan di Timur Tengah (Iraq dan Palestian-Israel) dan wilayah Asia Tengah (Afganistan) dan Selatan (Pakistan), tetapi yang jelas-jelas dihadapi peradaban Islam kontemporer ketika merespon ketiga isu di depan (Minoritas Muslim di Barat, dominasi Barat, dan klaim kebenaran Interpretasi terhadap apa yang disebut “khaira ummah”) adalah the clash within (Islamic) civilizations, baik di Mesir, Aljazair, Sudan, Saudi Arabia, Pakistan, Indonesia, Turki. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah sosial-keagamaan Islam di Indonesia tidak dapat menghindar dari perkembangan kontemporer diatas dan dapat merespon dengan arif dan tegas. Lebih-lebih, jika sibghah (corak khas atau ikon) Dakwah dan Tajdid masih melekat di tubuhnya. Namun tidak mudah mempertahankan sibghah tersebut, tanpa dibarengi pembaharuan-pembaharuan from within, pembaharuan dalam Muhammadiyah sendiri, khususnya ketika memasuki abad kedua usianya. Juga pembaharuan from without, yaitu pembaharuan politik luar negeri negara barat.

Muhammadiyah sebagai gerakan Dakwah dan Tajdid:
Tantangan agenda ke depan

Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah pada abad pertama usianya pasti berbeda dari abad kedua usianya, meskipun kontinuitasnya antara keduanya tetap ada. Untuk itu, Paradigma, Model, dan Strategi Tajdidnya juga harus disesuaikan dengan perkembangan terbaru discourse keislaman baik dalam teori maupun praktek. Muhammadiyah harus melakukan upaya pembaharuan from within, yang meliputi strategi pembaharuan gerakan pendidikan yang selama ini digelutinya, mengenal dengan baik dan mendalam metode dan pendekatan kontemporer terhadap studi Islam dan Keislaman era klasik dan lebih-lebih era kontemporer, mendekatkan dan mendialogkan Islamic Studies dan Religious Studies, bersikap inklusif terhadap perkembangan pengalaman dan keilmuan generasi mudanya, terbuka, mengenalkan dialog antar budaya dan agama di akar rumput, memahami Cross-cultural Values dan multikulturalitas, dalam bingkai fikih NKRI, dan begitu seterusnya. Tanpa menempuh langkah-langkah tersebut, gerakan pembaharuan Islam menuju ke arah terwujudnya Masyarakat dan Peradaban Utama di tanah air ini, tentu akan mengalami kesulitan bernapas dan kekurangan oksigen untuk menghirup dan merespon isu-isu sosial-keagamaan global dan isu-isu peradaban Islam kontemporer.

Untuk konteks keindonesiaan, Ikon perjoangan meraih “Islam yang berkemajoean” sepertinya tetap menarik untuk diperbincangkan dan didiskusikan sepanjang masa. Dengan begitu kontinuitas dan kesinambungan perjoangan antara generasi abad pertama dan generasi penerus abad kedua masih terpelihara, sebagaimana dicanangkan dan dipesankan oleh founding fathers Muhammadiyah terdahulu.

Wallahu a’lam bi al-sawab.

Yogyakarta, 21 November 2009


DAFTAR PUSTAKA

Abu-Rabi’, Ibrahim M. Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Modern Arab World. Albany: State University of New York Press, 1996.

Auda, Jasser. Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: The International Institute of Islamic Thought, 1429H/2008 CE.

Bennett, Clinton. Muslims and Modernity: An Introduction to the Issues and Debates. London: Continuum, 2005.

Bunt, Gary R. Islam in the Digital Age: E-Jihad, Online Fatwas and Cyber Islamic Environment. London: Pluto Press, 2003.

Carroll, B. Jill. A Dialogue of Civilizations: Gulen’s Islamic Ideals and Humanistic Discourse. New Jersey: The Light and the Gulent Institute, 2007.

El Fadl, Khaled Abou. The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremist. New York: HerperCollins, 2007.

Esack, Farid. Qur’an Liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression. Oxford: Oneworld Publications, 1997.

Giddens, Anthony. The Consequences of Modernity. Stanford: Stanford University Press, 1990.

Hunt, Robert A. & Aslandogan, Yuksel A. (Eds.). Muslim Citizens of the Globalized World: Contributions of the Gulen Movement. New Jersey: The Light Publishing, 2007.

Safi, Omit. Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism. Oxford: Oneworld Publications, 2003.

Soroush, Abdul Karim. Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama. Bandung: Mizan, 2002.
¯ Disampaikan pada acara Seminar Satu Abad Gerakan Tajdid Muhammadiyah Menuju Peradaban Utama: Paradigma, Model, dan Strategi Tajdid yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Malang, 21-22 November 2009.

Retrieved from: http://prmsendangharjo.wordpress.com/2010/04/11/paradigma-tajdid-muhammadiyah-sebagai-gerakan-islam-modernis-reformis%C2%AF/

GERAKAN PEMIKIRAN MUHAMMADIYAH: (Antara Purifikasi dan Modernisasi)

BANYAK Cendikiawan Muslim dan pengamat sosial-keagamaan yang menyatakan bahwa abad XX merupakan abad kebangkitan Islam, khususnya dari dunia Timur. Sebagaimana prediksi yang telah dikemukakan oleh Fazlur Rahman bahwa kebangkitan Islam akan muncul dari negara-negara Timur, dan lebih-lebih pada negara yang mengembangkan sistem demokratisasi. Indonesia, kata Rahman adalah “bangsa yang berwatak demokratis; karena itu, hanya penafsiran Islam yang betul-betul demokratislah yang akan berhasil di sana.”[1] Hanya dengan Iklim demokrasilah suhu kebangkitan Islam akan tumbuh dan berkembang dengan cepat. Sampai saat ini, belum ada satu negara pun yang menyamai kemajemukan Indonesia, termasuk organisasi keagamaannya.
Mulai abad XX, kebangkitan Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat spektakuler dengan ditandai munculnya organisasi Islam (Ormas Islam). Organisasi keagamaan ini lahir dari akumulasi produk pemikiran yang berbeda-beda. Gerakan keagamaan tersebut diantaranya; seperti Sarikat Islam, Al-Irsyad, Persatuan Islam, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama’.[2] Semuanya adalah gerakan keagamaan yang memiliki trade mark dan orientasi yang agak berbeda satu sama lain.
Dari sekian banyak gerakan tersebut di atas, Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi yang paling diperhitungkan dalam pentas nasional. Hal ini terbukti dengan banyaknya tokoh Muhammadiyah yang terlibat dalam panggung politik dan akademis. Tidak diragukan lagi, para tokoh pemikir kenamaan yang sekarang muncul banyak dari kalangan Muhammadiyah. Golongan terdidik ala Muhammadiyah telah memberikan andil besar terhadap kelangsungan pembangunan bangsa dan negara.

A. Setting Historis
Lahirnya gerakan keagamaan ala Muhammadiyah di atas panggung sejarah keagamaan Islam di Indonesia merupakan peristiwa sosial-budaya biasa. Yakni peristiwa sosial-budaya bernafaskan keagamaan Islam, yang merupakan “eksperimen sejarah” yang cukup spektakuler, khususnya untuk ukuran saat itu.
Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah kala itu adalah sinkritisasi dan tekanan ideologi luar yang sengaja dipaksakan masuk ke dalam negeri Indonesia. Tantangan yang tumbuh dari dalam (intern), bagi Muhammadiyah merupakan representasi dari komitmennnya dalam menderukan gerakan amar ma’ruf nahi mungkar, sedangkan tantangan dari luar (ekstern) pada diri Muhammadiyah merupakan sebuah pengesahan terhadap tajdid.
Faktor-faktor yang turut melahirkan gerakan Muhammadiyah kala itu memang sangat komplek. Sedikitnya ada dua faktor yang ikut berpengaruh dalam menjelaskan lahirnya Muhammadiyah. Pertama, faktor internal bahwa kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah respons terhadap tantangan ideologis yang telah berlangsung lama dalam masyarakat jawa. Dalam masyarakat jawa, kondisi kehidupan keagamaan umat Islam secara historis dipengaruhi oleh budaya keagamaan sebelumnya. Agama Hindu dan Budha adalah warisan budaya yang sangat kuat di masyarakat jawa. Prilaku keagamaan jawa, khususnya di daerah pedalaman masih kental dengan budaya sinkritisme, yakni pencampuradukan dari berbagai unsur nilai agama. Lebih-lebih, ada sebagian masyarakat jawa masih memistikkan sesuatu (tahayyul dan khurafat) yang dianggap memiliki kekuatan supranatual. Di samping itu, sebagain umat Islam juga sering menambah-nambahi dalam masalah ibadah atau yang disebut bid’ah, yakni praktek keagamaan yang tidak ada dasarnya yang jelas baik dari al-qur’an maupun as- sunnah. Keyakinan inilah yang membuat Muhammadiyah benar-benar tertantang untuk melakukan pemahaman keagamaan yang lurus dan benar sesuai doktrin Islam yang sesungguhnya.
Kedua, faktor eksternal bahwa kelahiran Muhammadiyah didorong oleh tersebarnya pembaharuan Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad 20.[3] Seperti kita ketahui, bahwa Islam pasca jatuhnya Bagdad pada abad 13 Umat Islam mengalami kemunduran dalam berbagai persoalan. Sehingga baru pada abad 19 umat Islam mulai ada gagasan baru yang agak menggembirakan. Meskipun abad 13, ada seorang tokoh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Jauziyah sebagai tokoh peletak dasar ide pembaharuan, tetapi hasilnya pun juga belum signifikan. Baru mulai abad 19 tokoh-tokoh pembaharu mulai melakukan pembenahan dibidang keagamaan dan pemikiran. Seperti Muhamad ibn Abd al-wahab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh yang kemudian dilanjutkan oleh murid-murid mereka. Semua gagasan dan ide yang dicetuskan para tokoh pembaharu tersebut lambat laum ikut mempengaruhi perkembangaan keagamaan dipenjuru dunia, termasuk wilayah Indonesia.
Sementara itu ada faktor lain yang juga lebih penting yang ikut memainkan peran dalam mendukung kelahiran Muhammadiyah, faktor ini tidak sering disebut oleh para sarjana, yaitu penetrasi dalam misi Kristen di negara ini serta pengaruh besar yang telah ditimbulkannya. Meskipun oleh para sarjana dianggap tidak penting, harus tetap diakui bahwa faktor ini merupakan yang terpenting dari semua faktor yang telah mendorong KH. A. Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah pada tahun 1912 M.[4]
Menurut Alwi Shihab ada dua alasan pokok yang menyebabkan para sarjana Indonesia agak menyepelekan “faktor misi Kristen” ini. Alasan pertama adalah keengganan mereka untuk membahas masalah yang dapat menimbulkan pertentangan tersembunyi antara kaum Muslim dan kristen di Indonesia. Alasan kedua, kehati-hatian mereka yang berusaha untuk tidak mengganggu kepekaan pemerintah yang berlebihan yang menyangkut berbagai isu yang berada dalam katagori sara (suku, agama ras dan antargolongan). Hal ini menjadi penting khusunya ketika isu tersebut dihubungkan dengan Kristenisasi sebab hal ini dapat digunakan untuk memanas-manasi opini publik atas dasar bahwa Islam telah dan sedang diancam oleh Kristen. Oleh pemerintah, yang memang sangat berkepentingan mencegah munculnya persoalan dan menghindarkan perselisihan di antara masyarakat beragama, kemungkinan munculnya berbagai isu sara, yang bisa memicu ketegangan di kalangan masyarakat benar-benar dihindari.
Dalam hal ini agaknya pemerintah juga memainkan peranan dalam menyembunyikan gejala bahwa Kristenisasi juga berpeluang untuk menyerang Islam. Hubungan Muslim-Kristen yang diciptakan oleh pemerintah, nampaknya hanya sebagai upaya menjaga keamanan, sehingga kalangan Kristen memperoleh keuntungan yang sangat signifikan dalam perkembangannya di Indonesia. Indikator ini bisa kita tilik bahwa perkembangan umat Kristen kian tahun kian bertambah besar, sementara umat Islam tidak terlalu signifikan dalam mengimbangi proses pertumbuhan itu. Misalnya, pada tahun 1931, umat Kristen di Indonesia hanya berkisar 2,8 persen, pada tahun 1971, meningkat menjadi 7,4 persen dan 9,6 persen pada tahun 1990. Peningkatan jumlah pemeluk Kristen ini, yang tidak bisa dijelaskan sebagai sebuah pertumbuhan yang alamiah, telah menimbulkan kritik keras terhadap pemerintah diberbagai kantong Islam, khususnya pada dekade 1970-an. Pemerintah dipandang terlalu lunak terhadap misi Kristen.

B. Pemurnian Ajaran Agama (Purifikasi)
Salah satu ciri yang cukup menonjol dalam gerakan Muhammadiyah adalah gerakan Purifikasi (pemurnian) dan Modernisasi (pembaruan) atau dalam bahasa Arab disebut ‘tajdid’, dua hal ini diibaratkan sebuah mata uang dengan dua permukaan yang sama nilainya. Namun kedua ciri tersebut secara harfiah dan formulasinya memiliki perbedaan yang cukup mendasar.
Pada mulanya, Muhammadiyah dikenal dengan gerakan purifikasi, yaitu kembali kepada semangat dan ajaran Islam yang murni dan membebaskan umat Islam dari Tahayul, Bid’ah dan Khurafat. [5] Cita-cita dan gerakan pembaruan yang dipelopori Muhammadiyah sendiri sebenarnya menghadapi konteks kehidupan keagamaan yang bercorak ganda; sinkretik dan tradisional. Di Kauman, K.H. Ahmad Dahlan berdiri ditengah-tengah dua lingkungan itu. Di satu pihak, ia menghadapi Islam-sinkretik yang diwakili oleh kebudayaan Jawa, dengan Kraton dan golongan priyayi sebagai pendukungnya; dan di pihak lain menghadapi Islam-tradisional yang tersebar dipesantren-pesantrennya.[6]
Dalam Muhammadiyah, purifikasi adalah gerakan pembaruan untuk memurnikan agama dari syirk yang pada dasarnya merupakan rasionalisasi yang berhubungan dengan ide mengenai transformasi sosial dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial, atau masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Dilihat dari segi ini sangat jelas bahwa Muhammadiyah telah memberikan suatu ideologi baru dengan suatu pembenaran teologi industrial, dan modern. Tampaknya Muhammadiyah memang mengidentifikasi diri untuk cita-cita semacam itu. Upaya Muhammadiyah untuk melakukan persiapan ke arah transformasi itu misalnya adalah dengan melepaskan beban-beban kultural yang sampai sejauh itu dianggap dapat menghambat kemajuan. Usaha pemurnian agama untuk membersihkan Islam dari praktek-praktek syirk, takhayul, bid’ah dan khurafat, merupakan bukti yang menjelaskan itu.
Muhammadiyah berusaha mendongkel budaya Islam sinkritik dan Islam Tradisional sekaligus, dengan menawarkan sikap keagamaan yang lebih puritan. Gerakan “pemurnian” (purifikasi) berarti rasionalisasi yang menghapus sumber-sumber budaya lama untuk digantikan budaya baru, atau menggantikan tradisi lama dengan etos yang baru. Muhammadiyah tampak sekali dengan sadar melakukan pelbagai upaya pembaruan demi mencapai cita-cita transformasi sosialnya itu.
Perlu digaris bawahi terlebih dahulu di sini bahwa program purifikasi (Tanfizdu al-aqidah al-Islamiyah) adalah ciri yang cukup menonjol dari Persyarikatan Muhammadiyah generasi awal, dan hingga sampai saat sekarang ini. Namun harus disadari pula bahwa program purifikasi memang lebih terfokus pada aspek aqidah (metafisik).[7] Pemberantasan TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat) merupakan respon konkrit Muhammadiyah terhadap Budaya setempat yang dianggap menyimpang dari aturan aqidah Islamiyah.
Proses Islamisasi yang dilakukan Muhammadiyah tidak henti-hentinya menderukan gerakan dakwah. Meminjam analisa Kuntowijoyo bahwa Muhammadiyah melakukan bentuk rasionalisasi Islam maupun Jawaisme. Pada waktu itu banyak sekali kepercayaan masyarakat yang mendekati syirk, bahkan syirk terang-terangan. Kebiasaan masyarakat Islam tradisional berupa meninta-minta restu pada makam-makam keramat, sihir memelihara jin, dan menggunakan berbagai bentuk jimat tidak sesuai dengan gagasan kemurnian Islam. Kepercayaan masyarakat Jawa waktu itu berupa mbaurekso tempat-tempat keramat berupa gunung, sungai, mata air, pohon, batu, dan gua. Begitu juga kepercayaan pada lelembut penjaga desa, kuburan, rumah, sawah, dan tempat-tempat lain. Orang jawa juga percaya pada bermacam primbon, laku misalnya, mutih (berpantang garam), dan mendhem (dikubur). Demikian pula bermacam-macam ajian, petung (hari baik-buruk), jampi-jampi, dan perdukunan. Semuanya itu adalah bentuk antroposentisme yang ateis dan irasional. Dengan semua yang gaib kepada termenologi al-quran, yaitu makhluk yang bernama jin, orang akan terbebas dari perilaku yang tahayyul. Pengakuan bahwa Tuhan adalah Maha pelindung membebaskan orang dari konsep mantra yang mekanistis. Dan kerena Tuhan Maha Pelindung hanya dapat diseru dengan shalat, do’a, dan zikir, akibatnya ialah adanya sistem pengetahuan teosentris. Sementara itu Islam menekankan ikhtiar yangrasional, maka yang terjadi adalah rasionalisasi.
Selanjutnya, Muhammadiyah juga melakukan demistifikasi. Bahwa sesuatu yang berbau mistik harus dijauhkan dari sikap umat Islam keseharian dengan cara mengubah sesuatu yang berasal dari sufisme menjadi akhlak. Sebab konsep akhlak menjadikan agama tidak kontemplatif. Sufisme rasional menyebabkan ketergantungan, sebab seorang guru (mursyid) adalah perantara (wasilah) bagi murid-muridnya. Begitu juga Muhammadiyah mengajarkan etos kerja, sebagai sebuah upaya konkrit yang dapat dirasakan hasilnya. Upaya inilah yang disebut oleh Klifford Geertz sebagai garakan tranformatif, yakni perubahan dari kondisi masyarakat yang agraris (deso) menuju masyarakat modern, plural atau kota. Dari pendapan ekonomi rendah menuju pendapatan ekonomi yang berkecukupan. Karena itu, Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan modernis, atau dalam kata lain, Muhammadiyah sebagai gejala perkotaaan.
Gerakan pemurnian agama oleh Muhammadiyah nampaknya diikuti dengan beban-beban kultural. Keutuhan masyarakat dan pemerataan pendapatan penduduk desa yang selama ini terselengara upacara tahlil, barzanji, atau kenduri dalam masyarakat Islam tradisional mulai terancam oleh gerakan puritanisasi itu. Begitu juga pemberantasan syirk yang berupa keyakinan-keyakinan masyarakat desa seperti konsep mengenai ‘’sing mbau rekso” juga mulai mengguncang tertib masyarakat desa karena keyakinan pada kekuatan-kekuatan supernatural semacam itu sangat berkaitan dengan konsep-konsep mengenai ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan desa.[8]
Lebih lanjut, Kuntowijoyo menjelaskan bahwa upaya pemurnian yang dilakukan Muhammadiyah telah membawa resiko dan biaya sendiri. Misalnya, gejala individualisme. Hilangnya bentuk budaya yang mengikat masyarakat menjadi unit yang utuh seperti tampak dalam kesatuankesatuan masyarakat desa yang mempunyai sistem pemerataan ekonomi, pemukukak solidaritas, dan kerja sama, telah melonggarkan ikatan sosial masyarakat. Tentu pelonggoran ikatan desa bukan hanya akibat rasionalisasi dari gerakan Muhammadiyah saja, meskipun Muhammadiyah justru memberikan sanksi ideologis berupa pembenaran agama terhadap pelonggaran ikatan itu. Individualisme yang sepatutnya menjadi ciri masyarakat kota masuk pula ke desa-desa, kadang-kadang tanpa ganti rugi yang memadahi hingga menimbulkan keretakan desa; individualisme semacam itu juga tampak dalam pola tingkah laku alumni sekolah Muhammadiyah, yaitu tidak adanya ikatan antara guru–murid, sekolah alumni, dan alumni-alumni. Memasuki sekolah Muhammadiyah, seperti juga memasuki sekolah lain, lebih merupakan hubungan berdasarkan kontrak daripada hubungan berdasarkan nilai atau tradisi.
Pola pendidikan pesantren, hubungan antara murid-guru, murid-pesantren, dan murid-murid, sangat erat. Lebih-lebih lagi jika diingat bahwa dalam lingkungan budaya Islam tradisional, ikatan yang erat itu juga mempnyai akar budaya yang kuat. Dalam konteks ini, maka gerakan purifikasi Muhammadiyah ternyata mengakibatkan hilangnya tradisi budaya. Lalu pertanyaan sekarang adalah apakah Muhammadiyah masih melakukan gerakan purifikasi? Ataukah justru terpurifikasi oleh arus global yang mengelilinginya?
Gerakan purifikasi Muhammadiyah sampai saat ini masih melakukan penguatan dan penyadaran terhadap pola kehidupan manusia. Gerakan yang tidak kalah pentingnya adalah penajaman tauhid. Karena formulasi tauhid adalah terletak pada realitas sosial. Apapun bentuknya, tauhid menjadi titik sentral dalam melandasi dan mendasari aktivitas. Tauhid harus diterjemahkan ke dalam realitas historis-empiris. Ajaran agama harus diberi tafsir baru yang lebih konstektual dan elaboratif sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Tauhid harusnya dapat menjawab semua problematika kehidupan modernitas, dan merupakan senjata pamungkas yang mampu memberikan alternatif baru yang lebih anggun dan segar.
Tujuan tauhid adalah memanusiakan manusia. Karena itu, dehumanisasi merupakan tantangan tauhid yang harus dikembalikan kepada tujuan tauhid. Ilmu sosial profetik berusaha memberikan jalan untuk mengubah berdasarkan cita-cita profetik etik. Jadi, tujuannya adalah memberikan perubahan terhadap masyarakatnya. Perubahan itu didasarkan pada cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi historis sebagaimana tertera dalam surat Ali Imran ayat 110, Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah.
Kontowijoyo memberikan tiga muatan dalam ayat tersebut di atas sebagai karakteristik ilmu sosial profetik, yakni kandungan nilai humanisasi, liberasi dan transendensi. Tujunnya supaya diarahkan untuk merekayasa masyarakat menuju cita-cita sosial-etiknya di masa depan.[9]
Masih menurut Kuntowijoyo, bahwa humanisasi adalah memanusiakan manusia. Menurutnya, era sekarang ini banyak mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial ini menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Apalagi di tengah mesin-mesin politik dan mesin-mesin pasar. Sementara ilmu teknologi juga berkecenderungan reduksionistik yang melihat manusia secara parsial. Tujuan liberatif adalah liberalisasi bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Kita menyatu rasa dengan mereka yang miskin, yang terperangkap dalam kesadaran teknokratis, dan mereka yang tergususr oleh kekuatan ekonomi raksasa. Kita ingin bersama-sama membebaskan diri dari belenggu yang kita bangun sendiri. Adapun tujuan transendensi adalah menambah dimensi transendental dalam kebudayaan. Kita sudah banyak menyerah arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden. Kita percaya sesuatu harus dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan.
Gerakan di atas jelas nyata-nyata menjadi bidang garap Muhammadiyah, lebih-lebih dalam mengahadapi tantangan era global. Arus budaya yang dihadapi Muhammadiyah tempo dulu dengan sekarang jauh lebih berbeda. Sehingga tantangan yang harus dihadapi sekarang adalah memperkuat basis keagamaan yang didukung oleh nilai-nilai sosial-religius.
Salah satu tantangan global adalah tingginya tingkat kompetitif (persaingan) disemua lini kehidupan. Untuk itu Muhammadiyah perlu memperkokoh basis Iptek dan Imtaknya. Sebagaimana sejak awal Muhammadiyah sangat getol dengan dunia pendidikan. Letak semangat purifikasinya adalah meluruskan Iptek yang sesuai dengan cita-cita dan misi Muhammadiyah khususnya, dan umat manusia pada umumnya. Kerja keras dan etos keilmuan warga persyarikatan yang menyatu dalam etos keagamaan umat sangat diperlukan. Pencapaian kemampuan Iptek yang mumpuni membutuhkan sikap mental dan pandangan hidup yang menggarisbawahi kenyataan bahwa aktivitas keilmuan bukannya berada di luar kesadaran keagamaan.[10]

C. Modernisasi (Tajdid)
Model gerakan Muhammadiyah yang sangat menggigit dan concern dengan cita-cita awalnya adalah pembaruan (modernisasi atau reformasi). Modernisasi (tajdid) adalah gerakan pembaruan pemikiran Muhammadiyah untuk mencari pemecahan atas berbagai persoalan yang mereka hadapi. Yang merujuk pada Al- Qur’an dan As- Sunnah sebagai titik tolak atau landasan yang sekaligus juga memberi pengarahan, ke arah pemikiran itu harus dikembangkan.[11]
Secara etimologi, tajdid berarti pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi penciptaan sesuatu yang baru, dan lain-lain yang berkaitan dengan makna itu. Maka jika dihubungkan dengan pemikiran tajdid dalam Islam, tajdid adalah usaha dan upaya intelektual Islami untuk menyegarkan dan memperbaruhi pengertian dan penghayatan terhadap agamanya berhadapan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat. Kerja tajdid adalah ijtihad yang sangat strategis dalam membumikan konteks waktu dan ruang.[12]
Gerakan tajdid dalam Muhammadiyah di dasarkan pada tiga faktor, yaitu pertama, pemahaman atau penafsiran terhadap suatu doktrin trasendental tidak pernah bernilai mutlak benar semutlak benarnya doktrin itu sendiri. Dalam Islam, masalah ini berkenaan kepercayaan kepada konsep Nabi terakhir pada diri Rasulullah. Menurut konsep ini, otomatis tentang wahyu telah berakhir pada diri Rasulullah. Dengan perkataan lain, tidak ada otoritas yang sama bobot dan statusnya dalam soal memahami setiap ajaran yang berasal dari wahyu dengan otoritas Muhammad sebagai Rasul terakhir. Konsekwensi dari pandangan ini ialah bahwa otoritas siapapun di bidang penafsiran terhadap Al-Qur’an dengan bantuan sunnah dan sejarah difahami secara putus terhadap masalah yang dipersoalkan.
Kedua, Islam bertujuan untuk menciptakan suatu tata sosio-politik di atas landasan etik dan moral yang kuat dalam rangka mengaktualisasikan prinsip rahmatan lil alamin dalam ruang dan waktu.
Ketiga, tajdid dalam pemikiran dan pelaksanaan Islam pernah ditunjukkan oleh para sahabat, terutama Umar Ibn Khattab yang telah merubah kebijaksanaan Nabi tentang persoalan tanah di Iraq dan Mesir yang dikuasai setelah perang Prajurit Islam menang perang.[13]
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid diharapkan mampu menyesuaikan dengan keadaan zaman yang selalu berubah. Tajdid lebih banyak menitik beratkan pada pemikiran secara konstektual, baik itu bidang hukum, maupun bidang lainnya. Karena itu, Muhammadiyah tidak akan sampai kekeringan wacana yang senantiasa setiap waktu berubah. Tajdid dipersiapkan untuk menghadapi atau mengantisipasi terjadinya perubahan-perubahan yang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang selain berdampak positif juga berdampak negatif. Rekayasa genetika misalnya, telah menyedot perhatian serius dari kalangan tokoh Muhammadiyah untuk memberikan suatu batasan-batasan atau pemecahan yang dapat dipandang menguntungkan bagi kehidupan manusia dengan merujuk pada maqasid al syari’ah
Dalam Muhammadiyah, ada lembaga khusus yang sengaja menangani masalah-masalah perkembangan hukum. Lembaga itu adalah Majlis Tarjih. Lembaga tarjih menangani persoalan konrtemporer yang selalu berkembang dan sangat menuntut adanya jawaban yang harus digariskan. Persoalan ini tidak hanya berbau fiqh tetapi juga masalah-masalah yang lebih berdimensi sosial kemasyarakatan.
Tuntutan masyarakat agraris jauh berbeda dengan tuntutan masyarakat industri, lebih-lebih lagi pada masyarakat industri tingkat lanjut (postindustrial society. Problem masyarakat industri sangat berbeda dari masyarakat agraris. Pola kehidupan seperti ini akhirnya menuntut Muhammadiyah untuk menambah Tarjih dengan Pengembangan Pemikiran Islam.
Semula yang hanya mengurusi masalah-masalah fiqh sekarang berubah menjadi lembaga yang menangani masalah sosial-keagamaan. Isu-isu sosial-budaya, dialog agama, gender, perburuhan, dan sebagainya adalah bidang garap Muhammadiyah sekarang. Pengembangan pemikiran Muhammadiyah semakin meluas jangkauannya. Sehingga yang dikembangkan oleh Muhammadiyah adalah memadukan antara dimensi “normativitas” wahyu dengan “historisitas” pemahaman wahyu. Jadi wilayah al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah, dan Tajdid atau Ijtihad[14] berjalan sealur dan seirama.
Muhammadiyah dengan tajdidnya akan senantiasa akan relevan terhadap perubahan yang akan bergulir. Tajdid bagi Muhammadiyah adalah perangkat yang dipersipkan untuk mengantisipasi kemajuan ilmu pengetahuian dan teknologi. Tajdid sebagai media atau sarana yang benar-benar diharapkan mampu menyelesaikan dan meremajakan problema meskipun hal itu sama sekali baru. Dalam hal ini, Muhammadiyah tidak akan kehilangan elan vitalnya dari permukaan, jika problem yang dihadapi dapat terjawab secara tepat. Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid berarti mengadaptasikan persoalan-persoalan keagamaan dan sosial pada wilayah historis-empirs.
Dinamisasi yang ada pada tubuh Muhammadiyah adalah mempertautkan antara teks “normatifitas” dengan teks “historisitas”. Dua wilayah ini dalam garapan Muhammadiyah senantiasa berjalan bersama-sama. Misalnya, K.H. Ahmad Dahlan dalam mengajarkan Surat Al-Ma’un kepada santri-santrinya menunjukkan bukti nyata bahwa Muhammadiyah tidak hanya berputar-putar pada wilayah teologis, tetapi Muhammadiyah berusaha concern terhadap problem sosial yang harus memperoleh perhatian serius. Sehingga teologi Muhammadiyah menjadi teologi sosial yang dapat dilihat kasat mata. Oleh karena itu, Muhammadiyah kemudian mendirikan PKU (Rumah Sakit), Lembaga Pendidikan, Panti Asuhan, dan bidang-bidang sosial lainnya.


D. Metodologi Pemikiran Muhammadiyah
Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah menyatakan dirinya sebagai gerakan pembaharu dalam model pemikiran Islam. Berbeda dengan organisasi keagamaan lain, Muhammadiyah nampaknya sangat kritis terhadap persoalan-persolan kaagamaan dan sekaligus persoalan sosial. Sehingga dalam dataran praksisnya Muhammadiyah lebih terkesan sebagai organisasi yang anti kemapanan, organisasi yang senantiasa hidup dalam ruang dan waktu yang selalu berubah.
Dari sekian banyak model pemikiran, Muhammadiyah tentu sealur dengan model pemikiran modernisme dan neo-modernisme. Oleh karena itu, Muhammadiyah dalam hal pemikiran lebih mengutamakan rasionalitas, daripada pemikiran normatif an sich. Sehingga ciri yang menonjol pada diri Muhammadiyah adalah sikap “kritis” (critical though) yang sesuai dengan kebutuhan ruang dan waktu. Sikap kritis ini sebanarnya sama halnya aliran modern (modernisme) dalam wacana pemikiran Islam. Adapun neo-modernisme dalam kaitannya dengan Muhammadiyah, keduanya sama-sama mengedepankan nilai-nilai spiritualitas pada satu pihak, dan unggul dalam intelektualitas di pihak lain. Karena modernisme saja tidaklah cukup menjadi bahan referensi untuk menghadapi era global yang melaju dengan cepat. Dua sisi ini menjadi trade mark yang selalu menjadi jargon dalam gerakan Muhammadiyah .

E. Penutup
Dari dua paparan di atas, dapat dibedakan bahwa antara purifikasi dan tajdid terdapat perbedaan yakni pada tataran formulasi atau terapinya. Kalau purifikasi fokusnya lebih kepada dekonstruksi budaya sinkretik yang tercampur dengan ajaran Islam, sedangkan tajdid adalah pembaruan dalam pemikiran Islam untuk menyelaraskan dengan perkembangan dan tuntutan ruang dan waktu. Purifikasi lebih menitik beratkan kepada “pemurnian” atau “pelurusan” sedangkan tajdid menitik beratkan pada “konstektualisasi” atau “pribumisasi” doktrin Islam.

Daftar Pustaka

Abdullah, Amin, Pembaharuan Pemikiran Islam Model Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, No 08/TH, ke 83. April 1998.
------------, Dinamika Islam Kultural, Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, Mizan, Bandung, 2000.
------------, Falsafah Kalam, di Era post Modernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Mizan, Bandung, 1996.
Arifin, Syamsul, dkk., Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, Sippress, Yogyakarta, 1996.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Intrepretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1998.
Kamal, Mustafa dan Ahmad Adaby, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam (dalam Perspektif Historis dan Ideologis), Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Yogyakarta, 2000.
Rais, M. Amien, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995.
Rais, M. Amin, (dkk), dalam Nurhadi (ed), Dinamika Pemikiran Islam dan Muhammadiyah, Lembaga Pustaka dan Dokumentasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yogyakarta, 1996.
Shihab, Alwi, Islam Ingklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Mizan, Bandung, 1997.
------------, Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Mizan, Bandung, 1998
Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik; Refleksi Teologi Untuk Aksi dalam Keberagamaan dan Pendidikan, Sippres, Yogyakarta, 1994.




[1] Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Mizan, Bandung, 1996, hal. 16. Penjelasan lebih lanjut, bisa dibaca dalam kata pengantarnya Jalaluddin Rahmad pada buku tersebut.
[2] Mustafa Kamal dan Ahmad Adaby, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam (dalam Perspektif Historis dan Ideologis), Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Yogyakarta, 2000, hal. 55-58.
[3] Shihab, Alwi, Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Mizan, Bandung, 1998, hal. 125.
[4] Ibid., hal. 126.
[5] Tobroni, dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik,; Refleksi Teologi untuk Aksi Dalam Keberagamaan dan Pendidikan, Sippres, Yogyakarta, 1994, hal. 175.
[6] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Intrepretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1998, hal. 268.
[7] Amin Abdullah, Pembaharuan Pemikiran Islam Model Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, No 08/TH, ke 83. April 1998.
[8] Kuntowijoyo, (1998), Loc Cit., hal. 268.
[9] Ibid, hal. 289.
[10] M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, Mizan, Bandung, 2000, hal. 147.
[11] Amien Rais, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995, hal vii. Lebih lanjut dapat dibaca dalam pengantar buku Dinamika Pemikiran Islam dan Muhammadiyah, diterbitkan oleh Pustaka dan Dokumentasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, (editor; Nurhadi M. Musawir), 1996.
[12] Ahmad Syafi’i Ma’arif, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995, hal xi.

[13] Ibid, hal. xiii
[14] Amin Abdullah, (2000), Op Cit, hal. 150.


*) http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/2009/09/gerakan-pemikiran-muhammadiyah-antara.htmlMujtahid, Dosen UIN Maliki Alumni Universitas Muhammadiyah Malang