Sabtu, 28 Januari 2012

Putar Film Anti-Islam, Raymond Kelly Dipaksa Tanggalkan Jabatan



US – Kaum Muslim Amerika melalui Dewan Hubungan Islam-Amerika (CAIR) mendesak pengunduran diri Komisaris Polisi New York (NYPD), Raymond Kelly, setelah ia memutar sebuah video anti-Islam dalam pelatihan polisi. Video itu menuduh kaum Muslim sedang melancarkan “perang suci” terhadap Barat.

“Sebagai pemimpin departemen polisi terbesar di negara ini, tindakan Komisaris Kelly dan Wakil Komisaris Browne itu melanggar hukum yang berdampak terhadap kaum Muslim di seluruh Amerika,” kata Direktur Eksekutif CAIR, Nihad Awad. “Reputasi NYPD memburuk.”

Departemen Kepolisian New York terbukti memutar video yang berisi tuduhan bahwa kaum Muslim meluncurkan “perang suci” di dunia Barat, sebagai bahan pelatihan bagi para polisi. Film berjudul The Third Jihad: Radical Islam’s Vision for America (Jihad Ketiga: Visi Radikal Islam untuk Amerika) itu mengatakan, “agenda sebenarnya dari banyak kepemimpinan Muslim di Amerika” adalah untuk “menyusup dan mendominasi Amerika.”

Dalam film tersebut disebutkan ada tiga jihad: satu pada masa Nabi Muhammad Saw, kedua pada Abad Pertengahan, dan ketiga yang berlangsung secara tersembunyi di Barat sekarang ini.

Film ini dimulai dengan iringan musik saat sebuah gambar menunjukkan orang-orang Islam yang dituduh sebagai teroris menembaki sejumlah orang Kristen, meledakkan mobil, membunuh anak-anak, dan seseorang yang membawa bendera Islam di atas Gedung Putih. Film berdurasi 72 menit ini juga menayangkan wawancara dengan Raymond Kelly.

Walikota New York, Michael Bloomberg, juga turut mengecam NYPD karena menggunakan film anti-Islam ini. “Seseorang bisa memberikan penilaian buruk tentang Islam (karena menonton film ini),” kata Bloomberg.

Kelly sendiri sudah meminta maaf. Namun, para pemimpin Muslim AS mengatakan, sang komisaris polisi telah kehilangan kepercayaan dari penduduk New York.

Terungkapnya kasus video anti-Islam ini menambah kemarahan kaum Muslim terhadap NYPD. Sebelumlnya, terungkap NYPD menggunakan agen rahasia untuk memata-matai komunitas Muslim.

Di New York terdapat sekitar 800.000 Muslim, sekitar 10 persen dari seluruh penduduk kota, dan sekitar 100 masjid di seluruh New York. Jumlah Muslim di seluruh Amerika saat ini ditaksir sekitar 6-8 juta jiwa.

LIBERAL SEBUAH KESESATAN DARI MASA KE MASA


Setiap kita meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Maha Pengatur alam semesta. Tidak boleh ada keraguan tentang hal tersebut. Akan tetapi dalam kenyataan hidup ternyata masih kita dapati orang-orang yang menuhankan akalnya sehingga dalam kesehariannya selalu timbul pertanyaan-pertanyaan aneh dan nyeleneh seperti kenapa, bagaimana dan mengapa. Inilah akibat minimnya pengetahuan yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rosul-Nya dan bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Hujurot [49]:1).

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

“Saya tinggalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat setelah berpegang dengan keduanya yaitu Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Sunnahku.” (HR. al-Hakim 1/172, lihat Shohih al-Jami’ no. 2937 dan ash-Shohihah no. 1761).

Ketika masa semakin jauh dari zaman kenabian dan semakin banyak muncul fitnah, datang sebuah pemikiran atau paham bahwa akal harus didahulukan daripada wahyu (naqli) ketika keduanya bertentangan menurut pemahaman penganutnya. Paham mendahulukan akal dari pada naqli yang berarti pula mengkultuskan akal ini, jika kita teliti asal-usulnya, maka ia akan berujung pada Iblis la’natullah ‘alaihi. Dialah yang pertama kali menggunakan akalnya untuk menolak perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan dia bersama malaikat sujud kepada Nabi Adam ‘Alaihis salam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam ‘Alaihis salam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: “Bersujudlah kalian kepada Adam ‘Alaihis salam”; maka merekapun bersujud kecuali Iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam ‘Alaihis salam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab: “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”.(QS. al-A’raf [6]: 11-12).

Ibnul Qoyyim Rahimahullah berkata:

“Perbuatan menentang wahyu dengan akal adalah warisan Syeikh Abu Murroh alias iblis. Dialah yang pertama kali menentang wahyu dengan akal dan mendahulukan akal dari pada wahyu.” (Syarah al-Aqidah al-Thohawiyyah hal. 207).

Manhaj (metodologi) ini kemudian diwarisi oleh para pengikut iblis dari kalangan musuh para Rosul. Di antaranya adalah kaum Nabi Nuh ‘Alaihis salam yang melakukan penentangan terhadap dakwah beliau. Mereka berkata sebagaimana dikisahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Dan berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: ‘Kami tidak melihat kamu melainkan sebagai manusia biasa seperti kami. Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang yang hina dina di antara kami yang mudah percaya begitu saja. Kami tidak melihat kamu memiliki kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.’” (QS. Hud [11]: 27).

Yakni, orang-orang yang menentang Nabi Nuh ‘Alaihis salam berkata bahwa mereka (para pengikut Nabi Nuh ‘Alaihis salam) mengikuti beliau tanpa berpikir benar-benar (Tafsir as-Sa’di, hal. 380). Orang-orang kafir itu beralasan, mereka tidak mengikuti Nabi Nuh ‘Alaihis salam karena menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang rasionya maju dan berpikir panjang, sedang pengikut para Rasul berakal pendek. Hal yang sama terjadi pula pada zaman Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Tokoh paham ini yang muncul di masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam adalah Dzul Khuwaishiroh. Dialah yang mengatakan kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam :

“Bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala wahai Muhammad dan berbuat adil-lah (dalam hal pembagian).” (HR. Bukhori no. 1219).

Orang ini tahu akan keharusan berbuat adil tapi ia tidak tahu cara adil menurut syariat. Ia menyangkal cara pembagian Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam untuk orang-orang yang beliau maksudkan agar lunak hati mereka dengan pandangan akalnya, ia menganggap bahwa pembagian Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam itu tidak adil walaupun Nabi membaginya dengan petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam pun bersabda :

“Dzat yang di atas langit telah mempercayaiku, sedangkan kalian tidak percaya kepadaku?” (HR. Bukhori no. 1219).

Sepeninggal Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam masih ada orang yang mewarisi pemikiran itu bahkan dikembangkan menjadi lebih sistematis. Mereka tulis dalam karya-karya mereka lalu dijadikan sebagai rujukan dalam banyak permasalahan. Maka jadilah akal sebagai hakim dalam berbagai masalah. Apa yang diputuskan akal, itulah yang benar. Dan apa yang ditolaknya maka itu tentu salah. Salah satu “ahli waris” dari paham ini adalah kelompok Mu’tazilah. Menurut Mu’tazilah, manusia dengan semata akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan.

Al-Qodhi Abdul Jabbar (wafat tahun 415 H), salah satu tokoh terkemuka paham ini mengatakan ketika menerangkan urutan dalil:

“Yang pertama adalah dalil akal karena dengan akal bisa terbedakan antara yang baik dan yang buruk, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berbicara kecuali dengan orang-orang yang berakal…” (Fadhlul I’tizal hal. 139, dinukil dari Mauqif al-Madrosah al-’Aqliyyah min as-Sunnah an-Nabawiyyah, 1/97).

Perkataan orang-orang Mu’tazilah ini jelas bertentangan dengan ayat-ayat dan hadits yang telah disebut di muka. Karena itu, alasan seperti ini tidak bisa diterima (karena salah), apapun alasannya. Lebih-lebih karena dalilnya juga cuma dari akal, di mana akal ini satu sama lain bisa berbeda pandangan (dalam memahami sesuatu). Lantas pandangan siapa yang mau dijadikan standar?.

Bahkan apa yang dia katakan itu “…karena dengannya bisa terbedakan antara yang baik dan yang buruk…” adalah pernyataan yang salah menurut dalil naqli dan akal yang sehat. Tidak secara mutlak demikian.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitab (al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. asy-Syuro [42]: 52).

Jadi Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri sebelum diberi wahyu tidak mengetahui perincian syari’at, tidak tahu mana yang baik dan yang buruk secara detail apalagi selain beliau.

Bagi yang berakal sehat, dia akan tahu, misalnya, bahwa sholat adalah sesuatu yang baik setelah diberi tahu syari’at. Tahu mencium Hajar Aswad itu baik, tahu melempar jumroh itu baik, tahu jeleknya daging babi sebelum ditemukan adanya cacing pita di dalammnya, dan banyak pengetahuan lainnya semua adalah dari syariat. Dengan demikian syariatlah yang menerangkan baik atau jeleknya sesuatu. Memang terkadang akal dapat menilai baik buruknya sesuatu namun hanya pada perkara yang sangat terbatas, seperti baiknya kejujuran dan jeleknya kebohongan. Dalam permasalahan lain, terutama dalam perkara aqidah dan ibadah, akal banyak tidak tahu bahkan butuh bimbingan wahyu untuk mengetahuinya.

Kita langsung melompat pada zaman akhir-akhir ini di mana muncul pula para pemikir semacam Muhammad Abduh. Orang ini berkata:

“Telah sepakat pemeluk agama Islam kecuali sedikit yang tidak terpandang bahwa jika bertentangan antara akal dan dalil naqli maka yang diambil adalah apa yang ditunjukkan oleh akal.” (al-Islam wan Nashroniyyah hal. 59 dinukil dari al-‘Aqlaniyyun hal. 61-62).

Ia kesankan pendapatnya adalah pendapat jumhur Umat, sedangkan pendapat lain (yang justru mencocoki kebenaran) merupakan pendapat minoritas yang tidak perlu ditoleh. Yang benar adalah sebaliknya. Justru pendapat seluruh Ahlus Sunnah dari dulu sampai saat ini dan yang akan datang, bahwa akal itu harus mengikuti dalil al-Qur’an dan as-Sunnah. Sedang mereka (orang-orang Mu’tazilah dan pengikutnya) adalah golongan minoritas yang tidak perlu dilihat orangnya dan pendapatnya.

Warisan iblis ini sampai sekarang masih ada dan sungguh benar perkataan orang Arab: “Likulli qaumin warits” (setiap kelompok/sekte itu ada yang mewarisi) dan sejelek-jelek warisan adalah warisan iblis, sehingga muncul berbagai pertanyaan di benak ini, yang mengingatkan kita pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu. Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. adz-Dza-riyat [51]: 53).

Pewaris ternama dalam penuhanan akal kinipun mulai menjamur. Diantaranya adalah mereka yang sok moderat padahal berotak bejat. Mereka adalah JIL, Jaringan Iblis Laknatulloh alias Jaringan Islam Liberal. Tokoh-tokoh mereka yang dengan seenak hati mempermainkan hukum syar’i yang mana hukum islam harus selaras dengan otak mereka yang tidak waras.

Aliran sesat yang marak lahir dalam beragam bentuk, mereka bela dengan alasan otoritas keagamaan. Mereka juga memiliki penafsiran sendiri terhadap al-Qur’an yang berdasarkan akal mereka karena menurut otak mereka yang tidak beres, setiap individu memiliki relativisme dalam memahami al-Qur’an.

Inilah buah buruk jika al-Qur’an dan al-Hadits tidak dipahami menurut pemahaman salaf as-sholeh dan ulama yang mumpuni dalam bidangnya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan al-Qur’an dan penjelasannya dengan mengutus malaikat yang utama dan dengan Rasul yang mulia, bayangkan saja kalau Islam ini berasaskan akal, setiap orang tentunya memiliki tata cara ibadah masing-masing, setiap daerahpun bebas berkreasi dalam peribadatan. Dan inilah yang akan menjadi bibit penyimpangan.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjukkan kita jalan yang lurus dan mengistiqomahkan kita semua di jalan tersebut

KISI - KISI SOAL KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN
  1. Kemukakanlah 3 Tujuan Pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang di rumuskan mengacu pada tujuan umum pendidikan. Dalam peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar Nasional Pendidikan Pasal 26 ?
  2. Bagaimana Menurut Anda karakteristik Kurikulum yang baik untuk masyarakat indonesia ?
  3. Jelaskan apa yang dimaksud mentalitas sang Juara dalam pembelajaran Matematika ?
  4. Jelaskan Makalah yang anda Presentasikan didepan kelas anda ? dan apa manfaatnya bagi anda ?
  5. Dalam Pematerian yang anda presentasikan tentang strategi jitu sukses belajar, apa saja yang cokok untuk pembelajaran matematika di indonesia ?
KISI SOAL UAS TEORI BILANGAN 2012
  1. Jelaskan apa yang anda ketahui tentang sejarah, konsep dan lambang bilangan dalam dunia matematika ?
  2. Jika ada bangun persegi A dan B, kedua bangun ini di buat petak-petak persegi yang ukuranya sama seperti pada gambar di bawah ini.
  3. Berapkah banyaknya petak dari bangun persegi panjang dan B bersama –sama ? lakukan dengan dua cara sifat distributif terhadap penjumlahan.?
  4. Apa yang anda ketahui tentang bilangan ordinal, berikan contohnya ?
  5. Berikan contohnya bahwa kaidah rumus ini termasuk sifat distributif perkalian terhadap penjumlahan. Untuk semua bilangan cacah a, b dan c berlaku a x (bxc) =(a xb) + (axc) atau a (b + c ) = ab + ac atau (b+c) a = ba + ca ?
  6. Jelaskan Kembali kaidah – kaidah bilangan yang anda presentasikan sesuai kelompoknya ?

KISI - KISI SOAL UAS 2012
DASAR KEPENDIDIKAN ISLAM (IDI)
  1. Menurut Anda Konsep Dasar Kependidikan Islam di indonesia apakah sudah memenuhi kriteria Islam itu sendiri ? Jelaskan
  2. Kepribadian seperti apa yang harus dimiliki oleh Seorang Pendidik dalam dunia pengajaran Islam ?
  3. Menjalankan tugas kependidikan yang bersifat menggerakan dan membawa perubahan itu tidaklah ringan karena menyangkut amanat. Amanat itu bukan sekedar sering dikatakan, tetapi dibuktikan dengan tindakan nyata yang bersifat gradual. Apa yang anda lakukan jika amanat pendidikan di khianati oleh pemerintah itu sendiri ?
  4. Untuk menangkal krisis keteladan nasional apa peran anda dalam membangun keteladanan kependidikan islam ?
  5. Menurut anda dasar kependidikan islam di indonesia haruskah di terapkan ?

Jumat, 20 Januari 2012

Akhlak Mulia Kepada Sang Khaliq dan Makhluq

Duhai saudariku muslimah-semoga Allah merahmatiku dan juga kalian semua-, istilah akhlak mulia bukanlah hal asing bagi kita. Hal itu karena akhlak mulia merupakan cita-cita yang diharapkan terwujud di setiap pribadi manusia. Tak ubahnya dengan angan-angan yang senantiasa terbayang dan diimpi-impikan setiap insan, akhlak mulia akan senantiasa terkenang dan tak usang dimakan peradaban. Ia akan senantiasa dinantikan sebagai penghias karakter seluruh generasi di segenap masa. Ia pun didoktrinkan kepada anak-anak agar menjadi kebiasaan di saat dewasa hingga usia senja. Oleh karena itulah, terasa demikian penting bagi kita untuk mengkajinya meskipun berulang-ulang.

.:: Mengubah Cara Pandang yang Salah.

Duhai saudariku muslimah, kebanyakan orang beranggapan bahwasannya akhlak mulia itu identik dengan interaksi sesama manusia dalam lingkungannya. Akibatnya, ada yang berpemikiran bahwa inti akhlak mulia dalam agama islam itu adalah interaksi bergaul atau mu’amalah dengan sesama manusia secara baik, dengan tidak melakukan tindakan yang menyebabkan kerugian bagi orang lain.

Mereka pun berpandangan bahwasannya kejahatan terbesar adalah tindakan yang merugikan orang lain. Adapun tindak kesyirikan, kekafiran, bid’ah, menyembelih hewan untuk tumbal, menyediakan kembang dan kemenyan untuk sesaji, membaca zodiac dan ramalan bintang dan mempercayainya, menyia-nyiakan shalat dan ibadah lainnya, dianggap oleh mereka sebagai perkara pribadi yang tak perlu dipermasalahkan dan tak sepantasnya mendapat teguran, karena menyangkut hak asasi manusia yang menuntut untuk dihargai privasinya. Mereka menilai bahwa teguran hanyalah untuk pelaku tindak kriminal, koruptor dan orang yang mengambil hak orang lain atau orang yang menyakiti tetangga.

Padahal, akhlak mulia merupakan aset berharga yang seharusnya diterapkan pula dalam hal hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Bahkan, hendaknya mereka sadar bahwa dampak kesyirikan yang diremehkan sebagai bentuk akhlak buruk kepada Allah Sang Pencipta adalah tidak adanya ampunan Allah untuk mereka, kecuali jika mereka bertaubat.
Sadarilah, bahwa tidak mendapat ampunan Allah berarti kita akan dimasukkan ke dalam neraka yang penuh derita dan duka yang kekal selamanya. Sebagaimana firman-Nya, yang artinya:

“sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisaa: 116).

Sebaliknya, tak jarang pula manusia yang beranggapan bahwa akhlak Islam adalah sekedar menunaikan hak Allah Sang Pencipta tanpa perlu menunaikan hak sesama manusia. Padahal menunaikan hak sesama merupakan bagian dari menunaikan hak Allah Sang Pencipta. Allah lah tempat kita memohon pertolongan dari kerancuan berpikir semacam ini.

Meskipun demikian keadaannya, sebenarnya tak kita pungkiri pula adanya bentuk kepedulian terhadap penerapan akhlak mulia yang mencakup kedua aspek tersebut, yang telah dapat kita rasakan dengan munculnya istilah hablum minannaas dan hablum minallaah.

Istilah ini dapat kita temukan ketika di kajian-kajian yang tersebar di negeri kita ini. Mengenai maknanya secara bahasa, kita serahkan kepada ahlinya dan saat ini kita lebih menekankan kepada maksudnya yaitu istilah hablum minannaas, artinya yang terkait dengan sesama tetangga dan sesama manusia. Adapun hablum minallah maksudnya adalah untuk hubungan manusia dengan Sang Pencipta.

Dinasehatkan pula bahwasannya penerapan kedua hal tersebut hendaknya berimbang di dalam kehidupan kita. Namun sayangnya, istilah hanya tinggal istilah saja tanpa kesan mendalam di dalam dada. Hal itu disebabkan hubungan tersebut hanya dianggap sekedar mengingat nama dan tegur sapa jika terkait dengan sesama manusia dan sekedar dzikir, shalat, puasa, zakat, haji jika terkait dengan Sang Pencipta. Berawal dari sinilah kita bertolak menuju cara pandang yang benar bahwa hubungan dengan sesama manusia (hablum minannaas) memerlukan etika demikian pula hubungan manusia dengan Sang Pencipta (hablum minallaah) juga memerlukan etika yang baik dan benar.

Etika yang baik dan benar dalam kedua hubungan tersebut perlu diterapkan dalam kehidupan kita dalam wujud akhlak mulia. Akhlak mulia dalam hubungan sesama manusia inilah akhlak mulia kepada makhluq dan akhlak mulia dalam hubungan dengan Allaah selaku Sang Pencipta makhluq dinamakan akhlak mulia kepada khaliq.

.:: Akhlak Mulia adalah Cerminan Iman di Dada.

Duhai saudariku muslimah, bagaimana pula seseorang memisahkan antara iman dan akhlak sedangkan terdapat hadits Rasulullaah Shallallaah ‘alaih wa sallam yang artinya:

“Kaum mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya diantara mereka.” (HR. At Tirmidzi).

Tentunya pemisahan itu adalah hal yang tak mungkin dan menyulitkan, sedangkan dalam pelajaran yang bisa didapatkan di madrasah-madrasah saja terdapat materi aqidah akhlak dalam satu paket buku rujukan. Hal itu seakan memperkuat bahwa aqidah yang merupakan bentuk iman yang terdapat di dalam dada seseorang adalah sesuatu yang berkaitan erat dengan akhlaknya. Dengan demikian, hendaknya kita bersemangat dan berusaha menghiasi diri dengan akhlak mulia dalam dua aspek tersebut. Hal itu disebabkan,

“Tidaklah beriman salah seorang diantara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya, sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbaad hafizhahullaah menjelaskan bahwa tidak sempurna keimanan seorang muslim hingga mengamalkan isi hadits tersebut, yakni mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana ia suka jika kebaikan tersebut ada pada dirinya. Kebaikan tersebut adalah meliputi perkara dunia dan akhirat serta dalam pergaulan. Hal itu mungkin membutuhkan kerja keras, akan tetapi yakinlah bahwa dengan kesungguhan dan kemauan serta niat yang ikhlas untuk menggapai kebaikan dan ridha-Nya, insya Allah akhlak mulia bukanlah angan-angan semata dan akan dibukakan jalan keluarnya.

Ingatlah selalu motivasi ayat ini :

“Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh-pen-) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. Al-Ankabut: 69)

Barangkali adapula yang merasa berat dan bergumam: “bagaimana mungkin kedua aspek akhlak mulia bisa menghiasi diriku sedangkan masa laluku demikian suram, kebiasaan burukku demikian sulit kutinggalkan, karena demikianlah aku dididik dari semenjak aku dalam buaian, usiaku telah lanjut dan rambutku pun telah memutih, sering sakit-sakitan dan kesibukanku demikian banyak serta sedikit waktu luangku untuk mengolah kepribadian…” kemudian adapula yang tetap bermaksiat dan enggan melakukan latihan karena beranggapan akhlak buruk itu tak dapat diubah sebagaimana bentuk badan tak dapat diubah. Hendaknya pendapat semacam ini ditanggapi dengan pernyataan bahwa andaikan akhlak itu menolak perubaan, tentu nasihat dan peringatan tidaklah ada artinya.

Bagaimana engkau mengingkari perubaan akhlak sedangkan kita sama-sama melihat anjing liar bisa dijinakkan. Meskipun tidak dipungkiri bahwa sebagian akhlak ada yang mudah diubah dan ada yang sulit tetapi bukan mustahil diubah. Pengubahan akhlak buruk menjadi mulia bukan berarti mematikan akhlak tersebut sama sekali. Akan tetapi pengubahan tersebut adalah dalam rangka membawa akhlak menuju jalan tengah. Yaitu jalan yang sifatnya tidak tidak mengabaikan dan tidak pula berlebihan. Sebagaimana amarah, jika berlebihan akan menjadi tercela dan harus diubah. Namun, bukan berarti amarah tersebut dihilangkan karena diantara sifat orang yang bertaqwa adalah dia pernah marah, namun dia tahan marahnya. Allah berfirman, yang artinya:

“Dan orang-orang yang menahan amarahnya.” (QS. Ali Imran: 134)

dalam ayat tersebut Allah tidak menggunakan kata-kata “dan orang-orang yang membekukan amarahnya.”
Oleh karena itu, hentikanlah bisikan-bisikan syaitan yang membisikan kemustahilan dalam perubaan karakter buruk, akan tetapi “Berusahalah untuk melakukan yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan menjadi lemah (merasa tidak mampu-pen-)..” (terj. HR. Muslim).

.:: Inilah Sejatinya akhlak Mulia.

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa akhlak mulia mencakup dua aspek, yaitu: akhlak mulia kepada khaliq (sang pencipta) dan akhlak mulia kepada makhluq (sesama manusia).

Pembahasan mengenai akhlak mulia kepada makhluq sebenarnya cukup luas, hanya saja untuk kali ini kita membatasi pada manusia sebagai makhluq sosial.

Terkait akhlak mulia kepada khaliq, hendaknya tercakup didalamnya tiga perkara berikut:

1. Membenarkan berita-berita dari Allah, baik berita tersebut terdapat dalam Al Qur’an ataupun disampaikan melalui lisan rasul-Nya yang mulia dalam hadits-haditsnya. Meskipun terkadang berita-berita dalam Al Qur’an dan hadits-hadits shahih itu tak sejalan dengan keterbatasan akal kita, hendaknya kita kesampingkan akal kita yang terbatas dan membenarkan berita tersebut dengan sepenuh keimanan tanpa adanya keraguan. Karena Allah Subhanahu wa taála telah jelas berfirman :

“Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah?” (QS. An Nisaa: 87)

Konsekuensi dari pembenaran tersebut adalah hendaknya berjuang mempertahankan kebenaran berita tersebut dan tidak roboh oleh argumen-argumen para pemuja akal yang seringkali datang menebarkan syubhat yang meracuni pikiran.

2. Melaksanakan hukum-hukum-Nya, meskipun terasa berat realitanya, ketika kita harus melawan hawa nafsu, akan tetapi hendaknya kita berakhlak mulia kepada Allah dengan menjalankan hukum-Nya dengan lapang dada dan penuh suka cita dan bukan mengharap penilaian manusia. Misalnya, ketika kita menjalani puasa wajib menahan lapar dan dahaga bukanlah hal ringan bagi hawa nafsu kita. Namun, akhlak mulia kepada Allah adalah dengan menjalani hal tersebut dengan lapang dada dan ketundukan serta kepuasan jiwa.

3. Sabar dan ridha kepada takdir-Nya, kendatipun terkadang pahit dan tak menyenangkan, hendaknya seorang insan berakhlak mulia kepada Allah dengan kesabaran menjalani takdir tersebut karena dibalik hal itu tentunya Allah menyimpan hikmah yang besar dan tujuan yang terpuji.

.:: Adapun akhlak mulia kepada makhluq, hendaknya tercakup di dalamnya tiga hal pula:

1. Tidak menyakiti orang lain, terkait jiwa, harta dan kehormatannya. Dengan demikian tak sepantasnya memukulnya tanpa alasan apalagi membunuhnya, tak selayaknya mencuri hartanya dan tak sepatutnya mengolok-olok dan melukai perasaannya dengan panggilan buruk ataupun menggunjingnya. Perhatikanlah sabda Rasulullaah shallallaah ‘alayh wa sallam yang artinya:

“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian dan kehormatan-kehormatan kalian haram atas kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

kemudian sabdanya lagi yang artinya:

“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari).

2. Berderma dengan memberikan bantuan berupa materi maupun non materi (bisa berupa ilmu, motivasi, saran dan lain-lain)

3. Bermuka manis. Hal ini hendaknya tak dianggap remeh karena
“Janganlah engkau menganggap enteng perbuatan baik sedikit pun, meskipun (sekedar-pen-) engkau berjumpa dengan saudaramu dengan wajah berseri-seri.” (HR. Muslim).

Syaikh Al ‘Utsaimin berkata: “Bermuka manis adalah menampakkan wajah berseri-seri ketika berjumpa dengan orang lain, lawannya adalah bermuka masam. “ kemudian beliau membawakan kisah Ibnu ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu yang ditanya tentang kebaikan maka Ibnu ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu menjawab, “wajah yang berseri-seri dan tutur kata yang halus.” Syaikh kemudian menyebutkan syair milik seorang penyair yang artinya :

“Wahai anakku sesungguhnya kebaikan itu sesuatu yang mudah Wajah yang berseri-seri dan tutur kata yang ramah”.

Meskipun demikian, bermuka manis ini tak kemudian tanpa arahan. Hal itu karena terkadang kita perlu bermuka masam untuk menghindari bahaya tertentu. Misalnya, ketika kita bertemu dengan seorang yang olah bicaranya pandai dan berpengaruh tetapi dalam perkara yang buruk maka hendaknya kita tunjukkan muka masam kita sebagai tanda ketidaksukaan kita terhadap dirinya. Hal itu disebabkan jika kita bermuka manis padanya dikhawatirkan kita akan terbawa pengaruhnya dan sulit melepaskan diri dari pengaruhnya yang buruk.

Dengan demikian, kita perlu mengingat nasehat nan berfaidah dari Imam Ibnul Qayyim Rahimahullaah dalam kitabnya Ighatsah Al-Lahafan Min Mashayidi Asy Syaithan:
“Termasuk dari macam-macam perangkap syaitan dan tipu dayanya bahwa syaitan mengajak seorang hamba Allah kepada berbagai macam bentuk dosa dan kenistaan dengan sebab akhlak baik si hamba tersebut dan kemurahan hatinya … ? Oleh karena itu, dalam bab bermuka manis ini hendaknya kita menempatkan sesuai pada tempatnya.

Duhai saudariku muslimah, demikianlah kiranya yang bisa diuraikan. Semoga bermanfaat di dunia hingga di akhirat yang kekal.

Syaikh As sa’dy dalam kitabnya, Bahjah Qulubil Abrar menyebutkan pula bahwa akhlak mulia kepada makhluq adalah badzalun nadaa (suka membantu orang lain), ihtimaalul adzaa (bersabar dengan gangguan orang lain) dan kafful adzaa (tidak mengganggu orang lain). Kemudian beliau menyebutkan ayat Al Qur’an yang artinya:

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)

Dalam ayat lain Allah Subhanahu Wataála Berfirman :

“Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)

Kemudian beliau berkata bahwa barangsiapa yang berakhlak mulia kepada khaliq dan pula kepada makhluq, sungguh orang tersebut telah meraih kebaikan dan keberuntungan. Wallaahu a’laam.

Duhai saudariku muslimah, dengan iman yang kuat, tekad yang membaja dan niat yang tulus, ilmu yang bermanfaat, amal shalih, sabar dan do’a, insya Allah akhlak mulia bisa menjadi milik kita. Setelah itu, hendaknya kita meniatkan usaha kita menggapai akhlak mulia tersebut hanya mengharap pahala dan menggapai ridha-Nya kemudian mengikuti cara-cara yang dituntunkan oleh Rasulullaah shallaallaah ‘alaihi wa sallam karena sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimaullaah dalam kitabnya Madaarijus Saalikiin bahwasaannya,

“Pensucian jiwa lebih berat dan lebih sulit dibandingkan pengobatan badan, barangsiapa mensucikan jiwanya dengan latihan, usaha keras dan menyendiri tanpa ada contoh dari para Rasul maka ia seperti orang sakit yang menyembuhkan dirinya dengan pendapatnya semata.”

Hal itu tentunya bisa mengakibatkan overdosis atau kurang dosisnya sehingga tujuan pengobatan pun tak tercapai. Allahul musta’aan.

Diantara senjata seorang muslim dalam perbaiakn akhlak adalah dengan mencari teman yang baik dan do’a. Contoh do’a yang Rasulullaah shallallaah ‘alayh wa sallam ajarkan terkait akhlak adalah:

اللَّهُمَّ كَمَا حَسَّنْتَ خَلْقِي فَحَسِّنْ خُلُقِي

“Wahai Allaah sebagaimana Engkau telah membaguskan tubuhku, maka baguskanlah akhlak ku.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Ibn Hibban).

اللَّهُمَّ إنِّي أعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأخْلاَقِ ، وَالأعْمَالِ، والأهْواءِ

“Wahai Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kemungkaran-kemungkaran akhlak, amal perbuatan dan hawa nafsu.” (HR. At Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albaniy).

Akhirnya, hanya kepada Allah-lah kita hendaknya memohon pertolongan. Dan hanya kepada-Nya-lah kembalinya segala pujian yang karena nikmat-Nya sematalah menjadi sempurna segala kebaikan.

.:: Wallahu Taála Álam ::.

.:: Tujuh Faedah Qona’ah ::.


1. Hati akan dipenuhi dengan keimanan kepada Allah

Seorang yang qana’ah akan yakin terhadap ketentuan yang ditetapkan Allah ta’ala sehingga diapun ridha terhadap rezeki yang telah ditakdirkan dan dibagikan kepadanya. Hal ini erat kaitannya dengan keimanan kepada takdir Allah. Seorang yang qana’ah beriman bahwa Allah ta’ala telah menjamin dan membagi seluruh rezeki para hamba-Nya, bahkan ketika sang hamba dalam kondisi tidak memiliki apapun. Sehingga, dia tidak akan berkeluh-kesah mengadukan Rabb-nya kepada makhluk yang hina seperti dirinya.

Ibnu Mas’ud radhilallahu ‘anhu pernah mengatakan,

إِنَّ أَرْجَى مَا أَكُونُ لِلرِّزْقِ إِذَا قَالُوا لَيْسَ فِي الْبَيْتِ دَقِيقٌ

“Momen yang paling aku harapkan untuk memperoleh rezeki adalah ketika mereka mengatakan, “Tidak ada lagi tepung yang tersisa untuk membuat makanan di rumah” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam].

إِنَّ أَحْسَنَ مَا أَكُونُ ظَنًّا حِينَ يَقُولُ الْخَادِمُ: لَيْسَ فِي الْبَيْتِ قَفِيزٌ مِنْ قَمْحٍ وَلَا دِرْهَمٌ

“Situasi dimana saya mempertebal husnuzhanku adalah ketika pembantu mengatakan, “Di rumah tidak ada lagi gandum maupun dirham.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (34871); Ad Dainuri dalam Al Majalisah (2744); Abu Nu'aim dalam Al Hilyah (2/97)].

Imam Ahmad mengatakan,

أَسَرُّ أَيَّامِي إِلَيَّ يَوْمٌ أُصْبِحُ وَلَيْسَ عِنْدِي شَيْءٌ

“Hari yang paling bahagia menurutku adalah ketika saya memasuki waktu Subuh dan saya tidak memiliki apapun.” [Shifatush Shafwah 3/345].

2. Memperoleh kehidupan yang baik

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” [An-Nahl: 97].

Kehidupan yang baik tidaklah identik dengan kekayaan yang melimpah ruah. Oleh karenanya, sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kehidupan yang baik dalam ayat di atas adalah Allah memberikannya rezeki berupa rasa qana’ah di dunia ini, sebagian ahli tafsir yang lain menyatakan bahwa kehidupan yang baik adalah Allah menganugerahi rezeki yang halal dan baik kepada hamba [Tafsir ath-Thabari 17/290; Maktabah asy-Syamilah].

Dapat kita lihat di dunia ini, tidak jarang, terkadang diri kita mengorbankan agama hanya untuk memperoleh bagian yang teramat sedikit dari dunia. Tidak jarang bahkan kita menerjang sesuatu yang diharamkan hanya untuk memperoleh dunia. Ini menunjukkan betapa lemahnya rasa qana’ah yang ada pada diri kita dan betapa kuatnya rasa cinta kita kepada dunia.

Tafsir kehidupan yang baik dengan anugerah berupa rezeki yang halal dan baik semasa di dunia menunjukkan bahwa hal itu merupakan nikmat yang harus kita usahakan. Harta yang melimpah ruah sebenarnya bukanlah suatu nikmat jika diperoleh dengan cara yang tidak diridhai oleh Allah. Tapi sayangnya, sebagian besar manusia berkeyakinan harta yang sampai ketangannya meski diperoleh dengan cara yang haram itulah rezeki yang halal. Ingat, kekayaan yang dimiliki akan dimintai pertanggungjawaban dari dua sisi, yaitu bagaimana cara memperolehnya dan bagaimana harta itu dihabiskan. Seorang yang dianugerahi kekayaan melimpah ruah tentu pertanggungjawaban yang akan dituntut dari dirinya di akhirat kelak lebih besar.

3. Mampu merealisasikan syukur kepada Allah

Seorang yang qana’ah tentu akan bersyukur kepada-Nya atas rezeki yang diperoleh. Sebaliknya barangsiapa yang memandang sedikit rezeki yang diperolehnya, justru akan sedikit rasa syukurnya, bahkan terkadang dirinya berkeluh-kesah. Nabi pun mewanti-wanti kepada Abu Hurairah,

يَا أَبَا هُرَيْرَةَ كُنْ وَرِعًا، تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ، وَكُنْ قَنِعًا، تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ

“Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’ niscaya dirimu akan menjadi hamba yang paling taat. Jadilah orang yang qana’ah, niscaya dirimu akan menjadi hamba yang paling bersyukur” [HR. Ibnu Majah: 4217].

Seorang yang berkeluh-kesah atas rezeki yang diperolehnya, sesungguhnya tengah berkeluh-kesah atas pembagian yang telah ditetapkan Rabb-nya. Barangsiapa yang mengadukan minimnya rezeki kepada sesama makhluk, sesungguhnya dirinya tengah memprotes Allah kepada makhluk. Seseorang pernah mengadu kepada sekelompok orang perihal kesempitan rezeki yang dialaminya, maka salah seorang diantara mereka berkata, “Sesungguhnya engkau ini tengah mengadukan Zat yang menyayangimu kepada orang yang tidak menyayangimu” [Uyun al-Akhbar karya Ibnu Qutaibah 3/206].

4. Memperoleh keberuntungan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa seorang yang qana’ah akan mendapatkan keberuntungan.

Fudhalah bin Ubaid radhiallalahu ‘anhu pernah mendengar nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

طُوبَى لِمَنْ هُدِيَ إِلَى الإِسْلَامِ، وَكَانَ عَيْشُهُ كَفَافًا وَقَنَعَ

“Keberuntungan bagi seorang yang diberi hidayah untuk memeluk Islam, kehidupannya cukup dan dia merasa qana’ah dengan apa yang ada” [HR. Ahmad 6/19; Tirmidzi 2249].

Abdullah bin Amr mengatakan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

“Sungguh beruntung orang yang memeluk Islam, diberi rezki yang cukup dan Allah menganugerahi sifat qana’ah atas apa yang telah diberikan-Nya” [HR. Muslim: 1054; Tirmidzi: 2348].

5. Terjaga dari berbagai dosa

Seorang yang qana’ah akan terhindar dari berbagai akhlak buruk yang dapat mengikis habis pahala kebaikannya seperti hasad, namimah, dusta dan akhlak buruk lainnya. Faktor terbesar yang mendorong manusia melakukan berbagai akhlak buruk tersebut adalah tidak merasa cukup dengan rezeki yang Allah berikan, tamak akan dunia dan kecewa jika bagian dunia yang diperoleh hanya sedikit. Semua itu berpulang pada minimnya rasa qana’ah.

Jika seseorang memiliki sifat qana’ah, bagaimana bisa dia melakukan semua akhlak buruk di atas? Bagaimana bisa dalam hatinya timbul kedengkian, padahal dia telah ridha terhadap apa yang telah ditakdirkan Allah?

Abdullah bin Mas’ud Radhiallalhu ‘anhu mengatakan,

الْيَقِينُ أَنْ لَا تُرْضِيَ النَّاسَ بِسُخْطِ اللَّهِ، وَلَا تَحْسُدَ أَحَدًا عَلَى رِزْقِ اللَّهِ، وَلَا تَلُمْ أَحَدًا عَلَى مَا لَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ، فَإِنَّ الرِّزْقَ لَا يَسُوقُهُ حِرْصُ حَرِيصٍ، وَلَا يَرُدُّهُ كَرَاهَةُ كَارِهٍ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى – بِقِسْطِهِ وَعِلْمِهِ وَحُكْمِهِ – جَعَلَ الرَّوْحَ وَالْفَرَحَ فِي الْيَقِينِ وَالرِّضَا، وَجَعَلَ الْهَمَّ وَالْحُزْنَ فِي الشَّكِّ وَالسُّخْطِ

“Al Yaqin adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan kemurkaan Allah, engkau tidak dengki kepada seorangpun atas rezeki yang ditetapkan Allah, dan tidak mencela seseorang atas sesuatu yang tidak diberikan Allah kepadamu. Sesungguhnya rezeki tidak akan diperoleh dengan ketamakan seseorang dan tidak akan tertolak karena kebencian seseorang. Sesungguhnya Allah ta’ala –dengan keadilan, ilmu, dan hikmah-Nya- menjadikan ketenangan dan kelapangan ada di dalam rasa yakin dan ridha kepada-Nya sserta menjadikan kegelisahan dan kesedihan ada di dalam keragu-raguan (tidak yakin atas takdir Allah) dan kebencian (atas apa yang telah ditakdirkan Allah)” [Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (118) dan Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman (209)].

Sebagian ahli hikmah mengatakan, “Saya menjumpai yang mengalami kesedihan berkepanjangan adalah mereka yang hasad sedangkan yang memperoleh ketenangan hidup adalah mereka yang qana’ah” [Al Qana’ah karya Ibnu as-Sunni hlm. 58].

6. Kekayaan sejati terletak pada sifat qana’ah

Qana’ah adalah kekayaan sejati. Oleh karenanya, Allah menganugerahi sifat ini kepada nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman,

وَوَجَدَكَ عَائِلًا فأغنى

“Dan Dia menjumpaimu dalam keadaan tidak memiliki sesuatu apapun, kemudian Dia member kekayaan (kecukupan) kepadamu” [Adh-Dhuha: 8].

Ada ulama yang mengartikan bahwa kekayaan dalam ayat tersebut adalah kekayaan hati, karena ayat ini termasuk ayat Makkiyah (diturunkan sebelum nabi hijrah ke Madinah). Dan pada saat itu, sudah dimaklumi bahwa nabi memiliki harta yang minim [Fath al-Baari 11/273].

Hal ini selaras dengan hadits-hadits nabi yang menjelaskan bahwa kekayaan sejati itu letaknya di hati, yaitu sikap qana’ah atas apa yang diberikan-Nya, bukan terletak pada kuantitas harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الغِنَى عَنْ كَثْرَةِ العَرَضِ، وَلَكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya kemewahan dunia, akan tetapi kekayaan hakiki adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati)” [HR. Bukhari: 6446; Muslim: 1051].

Abu Dzar radhiallalhu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Wahai Abu Dzar apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itu adalah kekakayaan sebenarnya?” Saya menjawab, “Iya, wahai rasulullah.” Beliau kembali bertanya, “Dan apakah engkau beranggapan bahwa kefakiran itu adalah dengan sedikitnya harta?” Diriku menjawab, “Benar, wahai rasulullah.” Beliau pun menyatakan, “Sesungguhnya kekayaan itu adalah dengan kekayaan hati dan kefakiran itu adalah dengan kefakiran hati” [HR. An-Nasaai dalam al-Kubra: 11785; Ibnu Hibban: 685].

Apa yang dinyatakan di atas dapat kita temui dalam realita kehidupan sehari-hari. Betapa banyak mereka yang diberi kenikmatan duniawi yang melimpah ruah, dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan diri dan keturunannya selama berpuluh-puluh tahun, namun tetap tidak merasa cukup sehingga ketamakan telah merasuk ke dalam urat nadi mereka. Dalam kondisi demikian, bagaimana lagi dia bisa perhatian terhadap kualitas keagamaan yang dimiliki, bukankah waktunya dicurahkan untuk memperoleh tambahan dunia?

Sebaliknya, betapa banyak mereka yang tidak memiliki apa-apa dianugerahi sifat qana’ah sehingga merasa seolah-olah dirinyalah orang terkaya di dunia, tidak merendahkan diri di hadapan sesama makhluk atau menempuh jalan-jalan yang haram demi memperbanyak kuantitas harta yang ada.

Rahasianya terletak di hati sebagaimana yang telah dijelaskan. Oleh karena pentingnya kekayaan hati ini, Umar radhilallahu ‘anhu pernah berpesan dalam salah satu khutbahnya,

تَعْلَمُونَ أَنَّ الطَّمَعَ فَقْرٌ، وَأَنَّ الْإِيَاسَ غِنًى، وَإِنَّهُ مَنْ أَيِسَ مِمَّا عِنْدَ النَّاسِ اسْتَغْنَى عَنْهُمْ

“Tahukah kalian sesungguhnya ketamakan itulah kefakiran dan sesungguhnya tidak berangan-angan panjang merupakan kekayaan. Barangsiapa yang tidak berangan-angan memiliki apa yang ada di tangan manusia, niscaya dirinya tidak butuh kepada mereka” [HR. Ibnu al-Mubarak dalam az-Zuhd: 631].

Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu pernah berwasiat kepada putranya, “Wahai putraku, jika dirimu hendak mencari kekayaan, carilah dia dengan qana’ah, karena qana’ah merupakan harta yang tidak akan lekang” [Uyun al-Akhbar : 3/207].

Abu Hazim az-Zahid pernah ditanya,

مَا مَالُكَ؟

“Apa hartamu”,

beliau menjawab,

لِي مَالَانِ لَا أَخْشَى مَعَهُمَا الْفَقْرَ: الثِّقَةُ بِاللَّهِ، وَالْيَأْسُ مِمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ

“Saya memiliki dua harta dan dengan keduanya saya tidak takut miskin. Keduanya adalah ats-tsiqqatu billah (yakin kepada Allah atas rezeki yang dibagikan) dan tidak mengharapkan harta yang dimiliki oleh orang lain [Diriwayatkan Ad Dainuri dalam Al Mujalasah (963); Abu Nu'aim dalam Al Hilyah 3/231-232].

Sebagian ahli hikmah pernah ditanya, “Apakah kekayaan itu?” Dia menjawab, “Minimnya angan-anganmu dan engkau ridha terhadap rezeki yang mencukupimu” [Ihya ‘Ulum ad-Diin 3/212].

7. Memperoleh kemuliaan

Kemuliaan terletak pada sifat qana’ah sedangkan kehinaan terletak pada ketamakan. Mengapa demikian, karena seorang yang dianugerahi sifat qana’ah tidak menggantungkan hidupnya pada manusia, sehingga dirinya pun dipandang mulia. Adapun orang yang tamak justru akan menghinakan dirinya di hadapan manusia demi dunia yang hendak diperolehnya. Jibril ‘alaihissalam pernah berkata,

يَا مُحَمَّدُ شَرَفُ الْمُؤْمِنِ قِيَامُ اللَّيْلِ وَعِزُّهُ اسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ النَّاسِ

“Wahai Muhammad, kehormatan seorang mukmin terletak pada shalat malam dan kemuliaannya terletak pada ketidakbergantungannya pada manusia” [HR. Hakim: 7921].

Al Hasan berkata,

لَا تَزَالُ كَرِيمًا عَلَى النَّاسِ – أَوْ لَا يَزَالُ النَّاسُ يُكْرِمُونَكَ مَا لَمْ تُعَاطِ مَا فِي أَيْدِيهِمْ، فَإِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ اسْتَخَفُّوا بِكَ، وَكَرِهُوا حَدِيثَكَ وَأَبْغَضُوكَ

“Engkau akan senantiasa mulia di hadapan manusia dan manusia akan senantiasa memuliakanmu selama dirimu tidak tamak terhadap harta yang mereka miliki. Jika engkau melakukannya, niscaya mereka akan meremehkanmu, membenci perkataanmu dan memusuhimu” [Al-Hilyah: 3/20].

Al Hafizh Ibnu Rajab mengatakan,

وَقَدْ تَكَاثَرَتِ الْأَحَادِيثُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْأَمْرِ بِالِاسْتِعْفَافِ عَنْ مَسْأَلَةِ النَّاسِ وَالِاسْتِغْنَاءِ عَنْهُمْ، فَمَنْ سَأَلَ النَّاسَ مَا بِأَيْدِيهِمْ، كَرِهُوهُ وَأَبْغَضُوهُ؛ لِأَنَّ الْمَالَ مَحْبُوبٌ لِنُفُوسِ بَنِي آدَمَ، فَمَنْ طَلَبَ مِنْهُمْ مَا يُحِبُّونَهُ، كَرِهُوهُ لِذَلِكَ

“Begitu banyak hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk bersikap ‘iifah (menjaga kehormatan) untuk tidak meminta-minta dan tidak bergantung kepada manusia. Setiap orang yang meminta harta orang lain, niscaya mereka akan tidak suka dan membencinya, karena harta merupakan suatu hal yang amat dicintai oleh jiwa anak Adam. Oleh karenanya, seorang yang meminta orang lain untuk memberikan apa yang disukainya, niscaya mereka akan membencinya” [Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam 2/205].

Kepemimpinan dalam agama yang identik dengan kemuliaan pun dapat diperoleh jika seorang ‘alim tidak menggantungkan diri kepada manusia, sehingga mereka tidak direpotkan dengan berbagai kebutuhan hidup yang dituntutnya. Seyogyanya manusia membutuhkan sang ‘alim karena ilmu, fatwa dan nasehatnya. Mereka bukannya butuh ketamakan dari sang ‘alim. Seorang Arab badui pernah bertanya kepada penduduk Bashrah,

مَنْ سَيِّدُ أَهْلِ هَذِهِ الْقَرْيَةِ؟ قَالُوا: الْحَسَنُ، قَالَ: بِمَا سَادَهُمْ؟ قَالُوا: احْتَاجَ النَّاسُ إِلَى عِلْمِهِ، وَاسْتَغْنَى هُوَ عَنْ دُنْيَاهُمْ

“Siapa tokoh agama di kota ini?” Penduduk Bashrah menjawab, “Al Hasan.” Arab badui bertanya kembali, “Dengan apa dia memimpin mereka?” Mereka menjawab, “Manusia butuh kepada ilmunya, sedangkan dia tidak butuh dunia yang mereka miliki” [Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam 2/206]. (Redaksi-HASMI).

.:: Wallahu Ta’ala ‘Alam ::.

Sumber: Al Qana’ah, Mafhumuha, Manafi’uha, ath-Thariqu ilaiha karya Ibrahim bin Muhammad al-Haqil disertai beberapa penambahan.

.:: Cobalah Untuk Zuhud ::.



“Zuhudlah terhadap dunia, niscaya kamu dicintai Allah. Zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya kamu akan dicintai oleh mereka.” (HR. Ibnu Majah. Ibnu Hajar berkata dalam Bulughul Maram, isnadnya hasan).

Pengertian zuhud adalah berpalingnya keinginan terhadap sesuatu kepada sesuatu yang lebih baik darinya.

Zuhud terhadap dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan bukan pula dengan membuang harta. Tetapi zuhud terdahap dunia adalah engkau lebih yakin dan percaya kepada apa yang di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Juga engkau bersikap sama, baik ketika ditimpa musibah maupun tidak, serta dalam pandanganmu, orang lain adalah sama, baik yang memujimu atau yang mencelamu karena kebenaran.

Tingkatan Zuhud

Pertama,

Seseorang yang zuhud terdahap dunia, tetapi ia sebenarnya menginginkannya. Hatinya condong kepadanya, jiwanya berpaling kepadanya, namun ia berusaha untuk mencegahnya. Ini adalah mutazahhid (orang yang berusaha zuhud).

Kedua,

Seseorang meninggalkan dunia – dalam rangka taat kepada Allah Ta’ala – karena ia melihatnya sebagai sesuatu yang hina dina, jika dibandingkan dengan apa yang hendak digapainya. Orang ini sadar betul bahwa ia berzuhud, walaupun ia juga memperhitungkannya. Keadaan pada tingkatan ini seperti meninggalkan sekeping dirham untuk mendapatkan dua keping dirham.

Ketiga,

Seseorang yang zuhud terhadap dunia dalam rangka taat kepada Allah dan dia berzuhud dalam kezuhudannya. Artinya ia melihat dirinya tidak meninggalkan sesuatupun. Keadaannya seperti orang yang membuang sampah, lalu mengambil mutiara. Perumpamaan lain adalah seperti seseorang yang ingin memasuki istana raja, tetapi dihadang oleh seekor anjing di depan pintu gerbang. Lalu ia melemparkan sepotong roti untuk mengelabui anjing tadi. Dan ia pun masuk menemui sang raja.

Begitulah, setan adalah anjing yang menggonggong di depan pintu gerbang menuju Allah Ta’ala, menghalangi manusia untuk memasukinya. Padahal pintu itu terbuka, hijabpnya pun tersingkap. Dunia ini ibarat sepotong roti. Siapa yang melemparkannya agar berhasil menggapai kemuliaan Sang Raja, bagaimana mungkin masih memperhitungkannya?

.:: Wallahu Ta’ala ‘Alam ::.


Diringkas dari buku Tazkiyatun Nafs, Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnu Qayyim Al-Jauiyyah, Imam al-Ghazali, Putaka Arafah dengan sedeikit perubahah.

Kiat Mendidik Anak Agar Sholeh dan Sholehah

“Menulis di atas kertas yang sudah penuh dengan noda dan coretan tentunya akan sangat sulit daripada menulis di atas kertas putih yang masih polos. Kita akan dapat menulis, menggambar, dan memberinya warna dengan mudah, sesuai dengan keinginan kita.”

Dalam sebuah riwayat telah dikatakan bahwa ada tiga macam amal yang tidak akan pernah terputus pahalanya, yaitu shodaqoh jariyah, anak yang sholih, dan ilmu yang bermanfaat.

Merujuk pada kandungan hadits tersebut, coba anda bayangkan sejenak, bagaimanakah jadinya hari-hari anda, hidup anda, masa tua anda, bahkan nasib anda setelah meninggalkan dunia ini, jika memiliki seorang anak yang bermoral bejat, durhaka kepada Allah dan orang tua. Na’udzubillah! Tentunya hari-hari dalam kehidupan keluarga anda akan jauh dari keharmonisan. Mungkin setiap hari anda akan berteriak-teriak, marah-marah, makan hati karena melihat tingkah laku anak anda yang suka berjudi, berkelahi, minum-minuman keras, pecandu narkoba, dan segala tingkah laku yang menyimpang dari syariat islam.

Dan Insya Allah akan lain keadaan yang anda rasakan, jika memiliki seorang anak yang sholih atau sholihah. misalnya Yang laki-laki hobi ke masjid untuk sholat berjama’ah, yang perempuan rajin mengaji dan membantu orang tua, keduanya mengerti akan tugas-tugasnya sebagai seorang pelajar, rajin mendo’a kan kedua orang tuanya, dan tidak pernah menyakiti hati kedua orang tuanya baik dengan sikap maupun tutur katanya. Kalau sudah begitu…siapa yang tidak mendambakan memiliki anak yang sholih atau sholihah?

Dalam hal ini ada sebuah peribahasa yang mengatakan “Menuntut ilmu di masa muda bagai mengukir di atas batu, menuntut ilmu di masa tua bagai mengukir di atas air”.

Bila kita mengharapakan seorang anak yang sholih atau sholihah, hendaknya semua itu dapat kita perjuangkan sejak dini. Beri ilmu pengetahuan dan pemahaman tentang agama islam kepada anak sejak dini. Karena, pada usia dini seorang anak laksana kertas putih yang belum bernoda setitikpun, sehingga akan mudah bagi kita untuk menulisinya dengan kalimat-kalimat islami dan Robbani di atasnya. Lain halnya jika kita baru mulai memberikan pendidikan di usianya yang sudah mulai dewasa, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk berhasil, namun tentunya hal tersebut akan jauh lebih sulit dan hasilnyapun jauh lebih sedikit atau bahkan nihil. Hal ini terjadi karena pada usia yang telah dewasa, kertas putih tadi biasanya sudah penuh dengan titik-titik, garis-garis, bahkan kata dan kalimat yang beraneka bentuk, makna dan warna. Menulis di atas kertas yang sudah penuh dengan noda dan coretan tentunya akan sangat sulit daripada menulis di atas kertas putih yang masih polos. Kita akan dapat menulis, menggambar, dan memberinya warna dengan mudah, sesuai dengan keinginan kita.

Untuk itu, langkah terbaik agar menjadikan seorang anak menjadi sholih atau sholihah hendaknya dilakukan sejak dini. Saat memorinya belum terkontaminasi dengan pengaruh-pengaruh negatif. Anda dapat mulai membiasakan beberapa hal berikut kepada diri dan anak anda sejak dini:

Pertama, Bangunkan shubuh sejak balita

Bangun pada waktu shubuh adalah sebuah aktivitas yang sangat berat bagi orang-orang yang tidak biasa untuk melakukannya. Untuk itu, membiasakan membangunkan anak pada waktu shubuh sejak balita adalah langkah terbaik untuk menjadikannya sebagai sebuah kebiasaan.

Kedua, Berikan lingkungang pergaulan dan pendidikan yang islami

Sebab Lingkungan dan pergaulan adalah salah satu faktor penting dalam pembentukan karakter seorang anak. Maka, dalam hal ini anda dapat memulainya dengan mengirimkan anak anda ke TPA atau Taman Pendidikan Al-Qur’an atau mengikuti kursus-kursus islam di Masjid dan sebagainya.

Ketiga, Jangan egois!

Sebagai Orang tua, kita adalah teladan yang pertama bagi anak, maka jadilah teladan yang terbaik bagi anak anda. Jangan bersikap egois. Jangan hanya memerintahkan anak anda untuk mengaji atau pergi sholat berjama’ah, sedangkan anda tidak melakukannya. Karena hal tersebut akan menimbulkan pembangkangan kepada anak, minimal secara kejiwaan.

Keempat, Perkenalkan batasan aurat sejak dini

Umumnya, cara berpakaian kita saat ini adalah kebiasaan yang sudah kita bawa sejak kecil. Seorang anak terutama wanita, dibiasakan menggunakan pakaian yang ketat, dibiasakan berpakaian tanpa jilbab, maka hal tersebut akan terbawa hingga remaja dan dewasa. Kebiasaan ini akan sangat sulit sekali untuk merubahnya. Dengan alasan gerah, panas, nggak nyaman, ribet, nggak gaul, nggak PD, dan dengan seribu alasan lainnya mereka akan menolak penggunaan pakaian yang menutup aurat.

Jika kita memperkenalkan batasan aurat kepada anak kita dan membiasakannya untuk menggunakan pakaian yang menutup aurat sejak dini, insya Allah keadaannya akan berbalik. Ia akan merasa berdosa, malu, nggak nyaman, bersalah, dan menolak untuk beralih ke pakaian-pakaian yang tidak menutup aurat. Ia akan berpikir seribu kali, bahkan tidak terpikir sekalipun dan sedikitpun untuk melakukannya.

Kelima, Selalu membawa perlengkapan sholat

Maksudnya, ajarkan kepada anak untuk selalu membawa perlengkapan sholat kemanapun mereka pergi sekiranya akan melewati masuknya waktu sholat.

Keenam, Jauhkan anak dari mendengarkan musik dan menyaksikan acara di Televisi

Maksudnya, jauhkanlah anak dari mendengarkan musik atau lagu seperti lagu-lagu picisan, rock, barat, dan lain-lain. Maksimalkan membaca Al-Qur’an, mendengarkan kaset murottal, mendengarkan kaset ceramah.

Hendaknya, orang tua juga menghindarkan anaknya dari televisi, alihkan mereka pada tontonan yang lebih mendidik melalui kaset kaset CD atau MP3 dan DVD yang mengajarkan keislaman dan ilmu pengetahuan umum.

Ketujuh, Ajarkan nilai-nilai islam secara langsung

Ajarkan nilai-nilai islam yang anda kuasai secara langsung kepada anak anda sejak dini. Sampaikan dengan bahasa-bahasa yang menarik, misalnya melalui sebuah cerita.

Ke delapan, Bacakan hadits Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ayat Al-Qur’an

Bacakan hadits Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ayat Al-Qur’an, sesuai dengan kadar kemampuan si anak. Hubungkan hadits dan ayat Al-Qur’an ketika kita memberikan nasihat atau teguran mengenai perilakunya sehari-hari.

Ke sembilan, Jadilah sahabat setia baginya

Perkecil sikap menggurui kepada anak, bersikaplah sebagai seorang sahabat dekatnya. Jadilah tempat curhat yang nyaman, sehingga permasalahan anak tidak akan disampaikan kepada orang yang salah, yang akhirnya akan memberikan solusi yang salah pula.

Kesepuluh, Ciptakan nuansa kehangatan

Nuansa hangat dan harmonis dalam keluarga akan memberikan kenyamanan bagi seluruh anggotanya, termasuk anak. Hal ini akan memperkecil masuknya pengaruh buruk dari luar kepada anak. Ia tidak akan mencari tempat diluar sana yang ia anggap lebih nyaman dari pada di rumahnya sendiri.

Dan Yang terakhir, Sampaikan dengan bijak, sabar, dan tanpa bosan

Ingat! Yang sedang anda bentuk adalah makhluk bernyawa, bukan makhluk yang tidak bernyawa. Maka sampaikan semuanya dengan penuh kesabaran, kebijaksanaan, dan jangan pernah merasa bosan untuk mengulangnya. Jangan menggunakan kekerasan, dan hindari emosi yang akan membuat anak sakit hati. (HASMI).

.:: Wallahu Ta’ala ‘Alam ::.